Data Buku
Judul:
Tata Krama (Busanané Bangsa Susila)
Penulis:
Imam Supardi
Penerbit:
Badan Penerbit Panjebar Semangat, Surabaya
Cetakan:
VII, Februari 1959
Ukuran:
14 × 19,4 cm
Tebal:
35 hlm.
SEORANG
anggota DPR mendadak viral. Saat berdebat dengan mantan menteri yang sudah
sepuh, kerap ia memotong pembicaraan, berkata kasar, dan menunjukkan gestur
merendahkan. Warganet menilainya tak sopan.
Sejak
1950-an, banyak terbit buku tentang tata krama. Di antaranya, Tata Krama (Busanané Bangsa Susila) (1954),
Etiket Sopan Santun Pergaulan
Sehari-Hari (1961), Tata-Krama Nasional Indonesia (1963), Etiket Sopan Santun Pergaulan Menurut Tatakrama Nasional (1982), Tata Krama Pergaulan (1984), dan Tata Krama Berbusana dan Bergaul (1991).
Buku Tata Krama (Busanané Bangsa Susila) itu
tipis. Tiga puluh lima halaman. Berbahasa Jawa. Mestinya banyak yang membacanya.
Sehingga, tiap tahun dicetak ulang. Saya tidak tahu nasib buku tata krama
selainnya.
Sejak
awal, penulis buku Tata Krama (Busanané
Bangsa Susila) membayangkan bahwa pembacanya “klebu golongané wong kang
seneng marang tata-krama”. Orang-orang yang menghargai tata krama. Mereka tahu
tata krama di antaranya dari bacaan. Orang-orang tak tahu adat tak punya tempat.
Mereka emoh membaca.
Namun,
definisi tata krama tak ditemukan dalam buku itu. Penulisnya menganggap
pembacanya paham. Ia hanya menulis, “tindak tanduk kang becik”. (hlm. 3) Segala
perbuatan yang baik.
Meski
begitu, buku itu menjabarkan faedahnya. “Disenengi ing-ngakèh. Dihurmati déning
liyan.” (hlm. 3) “Ngedohaké panjendu. Njingkiri anané pasulajan utawa salah
tampa.” (hlm. 5) Disenangi oleh kebanyakan. Dihormati oleh liyan. Mengurangi
potensi konflik tak berkesudahan.
Mulia,
bukan?
Beberapa
hal diuraikan oleh penulisnya. Misalnya, tata krama dalam perbincangan.
Perdebatan. Tertulis, “Enggoné nglahiraké penemu adja karo kandha: ‘Ah, iku
goroh’ utawa ‘kuwi penemu sing klèru, iku luput’”. Ketika menyampaikan
pendapat, hendaknya orang tak kasar dan merendahkan. Orang disarankan agar “migunakaké
tetembungan lija sing samar”. Memilih diksi yang lebih halus. (hlm. 9)
Ada
lagi. Tata-Krama Nalikane Mara-Dajoh.
Tata krama dalam bertamu.
“Mara-dajoh
iku betjiké kudu among wajah. Adja mara-dajoh ing wajahé wong njambutgawé, ing
wajahé dahar utawa wajahé ngaso (saré).” (hlm. 9) Bertamu itu ada waktunya.
Jangan bertamu saat tuan rumah sedang bekerja dan ketika masuk waktu makan atau
istirahat.
Dulu,
hal ini juga berlaku dalam komunikasi melalui telepon. Orang bertelepon
dipersamakan dengan bersemuka.
Peradaban
berkembang. Pesat. Produknya, media sosial misalnya, membuat orang merasa
senantiasa terhubung. Berbalas pesan dimaklumkan seketika. Teknologi meningkahi
ruang dan waktu. Juga mengatasi etiket?
Sebagian
merasa adab mulai terpinggirkan. Mereka berpikir negara perlu mengatur dan
kembali menjejalkannya kepada anak sekolah. Mungkin berupa bacaan. Mungkin
sekadar hafalan. Kira-kira begitu.●fgs
Sayang sekali bung bukunya sudah tidak di cetak ulang🥲
BalasHapusYa, betul, Bung. Ada banyak buku tak dicetak ulang meski perlu dan laku. Terima kasih sudah mampir, membaca, dan berkomentar. Salam kenal.
Hapus