Data Buku
Judul:
Sang Keris
Pengarang:
Panji Sukma
Penerbit:
Gramedia, Jakarta
Cetakan:
I, Februari 2020
Ukuran:
13,5 × 20 cm
Tebal:
x + 110 hlm.
ISBN:
978-602-06-3856-0
SANG KERIS,
pada 2019, terpilih sebagai pemenang kedua Sayembara Novel Dewan Kesenian
Jakarta. Ia ditulis oleh Panji Sukma, mahasiswa doktoral Program Studi Kajian
Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Melalui riset serius, tampaknya.
Cerita
terbagi dalam 16 bab. Panjang dan pendek. Beralur nonlinier. Terbilang rumit.
Maka, pembaca harus fokus betul. Agar tak perlu membolak-balik pagina demi
mengulang baca.
“Naskah bertokoh sebilah keris, Kanjeng Kyai
Karonsih, sebagai pengelana waktu yang berpindah-pindah tangan melintasi
sejarah Indonesia. Sejak kelahiran mistikalnya di kahyangan dalam kosmologi
Jawa, turun menitis ke masa kerajaan Jawa kuno Hindu-Buddha, kemudian ke era
pengujung kejayaan Majapahit, masuknya Islam, masa kemerdekaan, hingga zaman
modern. Dari yang mitologis bergerak ke yang historis.”
Begitu
rangkuman ceritanya. Ia tersua dalam pertanggungjawaban juri sayembara.
Sebenarnya,
ada pula bab yang bukan keris tokohnya. Misalnya, Perempuan Prancis dan Surya
Sengkala. Keduanya bertokoh manusia. Eli, seorang peneliti naskah kuno dari
Prancis, istri dalang dari Surakarta. Dia seperti tokoh selainnya yang justru
menjadi pengikat cerita. Namun, secara umum, benar kata juri, sebilah keris
adalah tokoh utama.
Keris
itu Panji Sukma kisahkan dalam sudut pandang orang kedua. Meskipun, dua-tiga
kali, ia bereksperimen menggabungkannya dengan pengisahan bersudut pandang
orang ketiga. Justru dengan sudut pandang orang kedua itu, Panji Sukma berhasil
menghidupkan Sang Keris.
Sebut
saja di halaman kedua. “Bahkan kau pernah
menjadi saksi saat tuanmu bersenggama dengan salah satu putri rajanya. Dari
buritan ranjang kau menatap penuh debar puncak klimaks yang taruhannya karier
dan nyawa.”
Hanya
saksi? Tidak. Diceritakan kemudian, “Kejadian
itu tidak akan ada seandainya kau tak menuruti keinginan tuanmu. Saat itu
tuanmu meminjam kesaktianmu dan kau berikan.” (Hlm. 3)
Keris
juga memiliki gengsi. Maka, kadang ia tak sudi dicabut dari warangka meski
keadaan begitu genting. Pada ketika yang lain, ia bahkan memilih berkhianat
demi sebuah ambisi pribadi. Berpindah tangan. Berganti tuan. Terus meningkahi zaman.
Ulah dan tuahnya menjadi sebab banyak peristiwa mengada. Perebutan harta,
tahta, juga wanita.
Tersurat
dalam ramalan, pusaka dimiliki oleh ratu adil. Tokoh yang ditunggu-tunggu
sebagian orang. Menghiasi hampir tiap pemilihan pemimpin politik.
Ada
dua orang digelari ratu adil yang tak terkisahkan dalam novel. Diponegoro dan
Tjokroaminoto. Diponegoro jelas punya banyak pusaka. Salah satunya menjadi bahan
perdebatan setelah dikembalikan oleh pemerintah Belanda beberapa waktu lalu.
Panji
Sukma memilih mengisahkan Bung Karno. Anak didik dan menantu Tjokroaminoto. Itu pun hanya 2¼
halaman. Ia hanya mengambil satu peristiwa kecil yang memungkinkan cerita Sang
Keris dapat diselipkan.
Strategi
ini sering dipakai oleh Panji Sukma. Dengannya, memang ia dapat memangkas
jumlah halaman. Tak setebal Senopati
Pamungkas atau Rara Mendut.
Namun,
pembaca ngos-ngosan. Pembaca dengan pengetahuan sejarah melimpah akan merasa
bahwa banyak peristiwa penting terpenggal. Sedangkan, pembaca dengan
pengetahuan sejarah pas-pasan akan merasa kebingungan. Kira-kira begitu.●fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar