Senin, 17 Februari 2020

Ketika Milenial Membincang Jajanan [Resensi Buku “Memoar Jajanan Masa Kecil”]




Data Buku
Judul: Memoar Jajanan Masa Kecil
Penyunting: Setyaningsih
Penerbit: Dio Media, Sukoharjo
Cetakan: I, Mei 2018
Ukuran: 12 × 19 cm
Tebal: 122 hlm.
ISBN: 978-602-6645-79-1



BULAN terakhir tahun lalu. Tanggal satu. Artikel bertajuk Ziarah ke Masa Terindah terbit di KOMPAS. Ia memberitakan The 90’s Festival yang meriah. Tentu saja di Jakarta.

Di sana, sejak 2015, festival sejenis diadakan tiap tahun. Selalu padat penonton. Padahal, harga tiket masuknya tak dapat dibilang murah.

Pada 2019 misalnya, tiket dijual mulai Rp747.500 hingga Rp6.224.000. Jika rerata harga beras konsumsi rakyat adalah Rp10 ribu per kilogram, tiket termurah festival itu hampir mencapai 75 kilogram beras. Berdasarkan Kajian Konsumsi Bahan Pokok Tahun 2017 yang dirilis oleh BPS, itu setara dengan 8 bulan konsumsi beras per kapita!

Tak sebanding memang. Apalagi bila merujuk pada pendapat orang-orang pintar dari kelas menengah itu. Memperbandingkan sesuatu mestilah apple to apple. Komparasi proporsional, kira-kira.

Namun, coba bayangkan. Saat sebagian kelas menengah-atas itu asyik bergoyang, sebagian kaum miskin justru pusing dan doyong. Kebutuhan dasar mereka, pangan dalam hal ini, tak terpenuhi.

Ya, pangan. Beras bantuan untuk rakyat miskin diganti dengan pasokan beras tak layak makan. Kalau negara mau, banyak masalah implementatif yang dapat diselesaikan. Namun, kesannya, malah dibiarkan. Nestapa kaum papa berapi-api dibincangkan (hanya) menjelang coblosan.

Pangan, dalam ingatan generasi ’90-an tak hanya soal nestapa. Ia juga berarti nostalgia. Pangan itu berjenis jajanan. Cerita tentangnya tersua dalam Memoar Jajanan Masa Kecil. Apakah rakyat sulit membeli beras berselera menyantap jajanan?

Tiga belas penulisnya tak ada yang mengaku berlatar keluarga miskin. Paling-paling, mereka mengaku berasal dari keluarga sederhana. Itu Indah Wahyu Utami dan Lindashary. Meski sederhana, uang saku mereka toh setara dengan lainnya. Rp500 pada 1992-an. Itu sekira Rp5.600 pada 2018.

Tijem lain lagi. Dia mendaku anak desa. Pembaca mafhum, terlahir di desa tak berarti terlahir miskin. Jajanan kaum papa tak punya tempat dalam buku.

Cerita dalam buku juga lebih banyak ditulis oleh orang Jawa. Enam puluh persen lebih. Orang dari luar Jawa, Rezki Sularsi misalnya, tak membicarakan jajanan yang sama dengan penulis dari Jawa. Jajanan perempuan dari Pekanbaru itu “erat dengan nuansa tradisional yang gampang ditemui di pasar”. (hlm. 48)

Dari buku, pembaca menemukan ketimpangan. Anak sezaman di lain tempat tak mengonsumsi jajanan yang sama. Pembangunan tak merata?

Itu isu lama. Ketika negara dipimpin oleh orang yang justru digelari Bapak Pembangunan. Kini, katanya, pemerintah sibuk menyongsong Revolusi Industri 4.0. Era yang serbacepat. Secepat hilangnya eksistensi banyak profesi. Termasuk penjual jajanan tertentu.

Zaman berubah. Selalu ada harga yang mesti dibayar untuk itu. Kira-kira begitu.●fgs



Tidak ada komentar:

Posting Komentar