Jumat, 23 Agustus 2019

Sepilihan Cerpen Kompas Penanda 2018 [Resensi “Cerpen Pilihan Kompas 2018”]




Data Buku
Judul: Doa yang Terapung:
Cerpen Pilihan Kompas 2018
Editor: Herlambang Jaluardi
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2019
Ukuran: 14 × 21 cm
Tebal: xviii + 214 hlm.
ISBN: 978-602-412-760-2



“KARYA sastra tak lain adalah sebentuk manifestasi kegelisahan atas realitas.” Begitu kalimat pembuka M. Hilmi Faiq dalam pengantar juri untuk Cerpen Pilihan Kompas 2018: Doa yang Terapung. “Dengan demikian, tidak ada karya sastra yang lahir dari ruang hampa,” lanjutnya.

Jauh sebelum Faiq, banyak kritikus sastra telah sampai pada simpulan serupa. Teeuw, di antaranya.

Sebagai produk referensial, maka sastra—termasuk cerpen—adalah penanda. Melaluinya, orang dapat melacak jejak peradaban.

Kita beruntung. Setiap tahun, kecuali pada 1998, Kompas punya tradisi membukukan cerpen-cerpen pilihan para juri. Pemulanya adalah Kado Istimewa: Cerpen Pilihan Kompas 1992. Mungkin, sebab menyadari nilai pentingnya, Kompas menerbitkan Dua Kelamin bagi Midin: Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980 dan Riwayat Negeri yang Haru: Cerpen Kompas Terpilih 1981-1990.

Pada 2018, Kompas masih melanjutkan tradisi memilih dan menerbitkan cerpen dalam bentuk buku. Berdasarkan catatan juri, sepanjang 2018, tema yang ditulis oleh cerpenis cukup beragam. Mulai dari keluarga, kekerasan seksual, lingkungan, sampai sosial politik. Saya kira, hal yang sama juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Yang menarik, seperempat lebih dari 23 cerpen terpilih menyinggung kekerasan pada 1965, 1980-an, dan 1998. Tentu, kekerasan pada 1965 lebih dominan. Sebut saja Ziarah Kepayang (Martin Aleida), GoKill (Seno Gumira Ajidarma), Lorong Gelap (Budi Darma), Sepasang Matryoshka (Vika Wisnu), Bapak (Ahimsa Marga), dan Ayat Kopi (Joko Pinurbo).

Dalam Ziarah Kepayang misalnya, Martin Aleida menyebutkan keluh-kesah tokohnya ketika terjadi pengejaran besar-besaran terhadap orang-orang kiri pada akhir 1965. Demi keamanan, “Kakak dan Abangku ... membawa buku-bukuku ke seberang sungai. Dan menanamnya,” tulisnya, “padahal, tak ada palu-arit di buku itu.” (hlm. 35)

Menanam buku. Itu sama halnya dengan membakar, merazia, atau menyita buku. Ia menghalangi orang untuk memahami sesuatu. Menanam buku berarti mengubur pengetahuan.

Seperti akhir bulan lalu (27/7). Diberitakan oleh Tirto.id, dua pegiat Komunitas Vespa Literasi ditangkap oleh Polsek Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur. Pasalnya, di lapak baca gratis yang mereka gelar di Alun-alun Kraksaan terdapat empat buku yang dianggap bermasalah, yaitu: Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara, Menempuh Djalan Rakjat, Sukarno, Marxisme & Leninisme: Akar Pemikiran Kiri & Revolusi Indonesia, dan DN Aidit Sebuah Biografi Ringkas.

Sebenarnya, pada 2010, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa pelarangan buku mesti melalui proses peradilan. Namun, perazia memilih menutup mata dan telinga. Putusan itu dianggap sebagai angin lalu.

Melalui tulisan Ben K.C. Laksana dan Rara Sekar Larasati, Hegemoni Pengetahuan dan Ketakutan pada Yang Liyan, orang dapat memahami fenomena itu dalam konteks hegemoni negara terhadap produksi dan reproduksi pengetahuan.

Dalam tulisan itu disebutkan bahwa pembatasan narasi alternatif komunisme dan G30S selain versi resmi negara adalah upaya negara menghegemoni pengetahuan dan memori kolektif masyarakat. Melaluinya, bangkit ketakutan kolektif. Inilah yang menjadi kekuatan disipliner rezim untuk secara konstan merepresi masyarakat dalam mencari tahu narasi alternatif.

Akibatnya, meskipun setelah Orde Baru tumbang banyak sejarah alternatif telah ditulis, tetapi masyarakat telanjur ketakutan. Mereka memilih untuk tak mengetahui, tak mencari, dan tak mempertanyakan secara kritis. Nalar mandek.

Siapa yang merugi? Rakyat! Lagi dan lagi. Sebab pikiran dikuburkan, hoaks bertebaran. Rakyat terbakar hasutan.

Seperti kisah Mashdar Zainal dalam cerpen Laki-laki yang Kawin dengan Babi. (hlm. 71-78) Orang-orang dapat menjadi pembunuh karena mereka malas menggunakan logika. Malas memeriksa akurasi berita. Sembari meneriakkan nama Tuhan pula! Kira-kira begitu.●fgs





Tidak ada komentar:

Posting Komentar