Data Buku
Judul:
Doa yang Terapung:
Cerpen Pilihan
Kompas 2018
Editor:
Herlambang Jaluardi
Penerbit:
Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan:
I, Juli 2019
Ukuran:
14 × 21 cm
Tebal:
xviii + 214 hlm.
ISBN:
978-602-412-760-2
“KARYA
sastra tak lain adalah sebentuk manifestasi kegelisahan atas realitas.” Begitu
kalimat pembuka M. Hilmi Faiq dalam pengantar juri untuk Cerpen Pilihan Kompas 2018: Doa yang Terapung. “Dengan demikian,
tidak ada karya sastra yang lahir dari ruang hampa,” lanjutnya.
Jauh
sebelum Faiq, banyak kritikus sastra telah sampai pada simpulan serupa. Teeuw,
di antaranya.
Sebagai
produk referensial, maka sastra—termasuk cerpen—adalah penanda. Melaluinya,
orang dapat melacak jejak peradaban.
Kita
beruntung. Setiap tahun, kecuali pada 1998, Kompas
punya tradisi membukukan cerpen-cerpen pilihan para juri. Pemulanya adalah Kado Istimewa: Cerpen Pilihan Kompas 1992. Mungkin, sebab menyadari nilai
pentingnya, Kompas menerbitkan Dua Kelamin bagi Midin: Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980 dan Riwayat Negeri yang Haru: Cerpen Kompas Terpilih 1981-1990.
Pada
2018, Kompas masih melanjutkan
tradisi memilih dan menerbitkan cerpen dalam bentuk buku. Berdasarkan catatan
juri, sepanjang 2018, tema yang ditulis oleh cerpenis cukup beragam. Mulai dari
keluarga, kekerasan seksual, lingkungan, sampai sosial politik. Saya kira, hal
yang sama juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Yang
menarik, seperempat lebih dari 23 cerpen terpilih menyinggung kekerasan pada 1965,
1980-an, dan 1998. Tentu, kekerasan pada 1965 lebih dominan. Sebut saja Ziarah Kepayang (Martin Aleida), GoKill (Seno Gumira Ajidarma), Lorong Gelap (Budi Darma), Sepasang Matryoshka (Vika Wisnu), Bapak (Ahimsa Marga), dan Ayat Kopi (Joko Pinurbo).
Dalam
Ziarah Kepayang misalnya, Martin
Aleida menyebutkan keluh-kesah tokohnya ketika terjadi pengejaran besar-besaran
terhadap orang-orang kiri pada akhir 1965. Demi keamanan, “Kakak dan Abangku ... membawa buku-bukuku ke seberang sungai. Dan
menanamnya,” tulisnya, “padahal, tak
ada palu-arit di buku itu.” (hlm. 35)
Menanam
buku. Itu sama halnya dengan membakar, merazia, atau menyita buku. Ia
menghalangi orang untuk memahami sesuatu. Menanam buku berarti mengubur pengetahuan.
Seperti
akhir bulan lalu (27/7). Diberitakan oleh Tirto.id,
dua pegiat Komunitas Vespa Literasi ditangkap oleh Polsek Kraksaan,
Probolinggo, Jawa Timur. Pasalnya, di lapak baca gratis yang mereka gelar di
Alun-alun Kraksaan terdapat empat buku yang dianggap bermasalah, yaitu: Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara, Menempuh Djalan Rakjat, Sukarno, Marxisme & Leninisme: Akar
Pemikiran Kiri & Revolusi Indonesia, dan DN Aidit Sebuah Biografi Ringkas.
Sebenarnya,
pada 2010, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa pelarangan buku mesti
melalui proses peradilan. Namun, perazia memilih menutup mata dan telinga.
Putusan itu dianggap sebagai angin lalu.
Melalui
tulisan Ben K.C. Laksana dan Rara Sekar Larasati, Hegemoni Pengetahuan dan Ketakutan pada Yang Liyan, orang dapat
memahami fenomena itu dalam konteks hegemoni negara terhadap produksi dan
reproduksi pengetahuan.
Dalam
tulisan itu disebutkan bahwa pembatasan narasi alternatif komunisme dan G30S selain
versi resmi negara adalah upaya negara menghegemoni pengetahuan dan memori
kolektif masyarakat. Melaluinya, bangkit ketakutan kolektif. Inilah yang
menjadi kekuatan disipliner rezim untuk secara konstan merepresi masyarakat
dalam mencari tahu narasi alternatif.
Akibatnya,
meskipun setelah Orde Baru tumbang banyak sejarah alternatif telah ditulis, tetapi
masyarakat telanjur ketakutan. Mereka memilih untuk tak mengetahui, tak mencari,
dan tak mempertanyakan secara kritis. Nalar mandek.
Siapa
yang merugi? Rakyat! Lagi dan lagi. Sebab pikiran dikuburkan, hoaks bertebaran.
Rakyat terbakar hasutan.
Seperti
kisah Mashdar Zainal dalam cerpen Laki-laki
yang Kawin dengan Babi. (hlm. 71-78) Orang-orang dapat menjadi pembunuh
karena mereka malas menggunakan logika. Malas memeriksa akurasi berita. Sembari
meneriakkan nama Tuhan pula! Kira-kira begitu.●fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar