Senin, 18 Mei 2020

Ketika Bre Menceritakan Bre [Resensi Novel “Majapahit Milenia” - Bre Redana]



Data Buku

Judul: Majapahit Milenia

Pengarang: Bre Redana

Penerbit: KPG, Jakarta

Cetakan: I, Juli 2019

Ukuran: 13,5 × 20 cm

Tebal: xvi + 208 hlm.

ISBN: 978-602-481-176-1

 

 

MENARIK! Tiap bab dalam novel ini diawali petunjuk jenis struktur sajak Jawa kuno terpakai. Maskumambang, Mijil, Kinanthi, Sinom, Asmaradhana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, atau Pucung.

Melaluinya, pembaca tahu suasana tiap bab. Hanya itu. Ini novel. Bukan sajak atau puisi. Pembaca tak boleh berharap menemu terapan kaidah guru wilangan, guru gatra, dan guru lagu. Pembaca juga tak mungkin mendarasnya dengan cara menembang seperti dalam macapatan.

Namun, pengarang berkeras. “Kalau toh Anda tidak mendengar melodinya,” tulisnya, “saya sebagai penulis menuliskannya dengan mempertimbangkan—atau bahkan serasa mendengar—melodi mengalun entah dari mana.”

Kuping pembaca diduga tak lagi kenal tembang macapat. Ia lebih gandrung, istilah Bung Karno, musik ngak-ngik-ngok.

Novel dibuka dengan Dhandhanggula. Ia tembang berwatak luwes, merasuk hati, dan mengungkap syukur. Terdiri atas 10 gatra. Paling panjang di antara sekar alit. Metrum yang paling banyak dipilih Bre Redana dalam berkisah. Sepuluh bab dari 48 bab. Dhandhanggula dalam novel malah sering jadi bab pendek.

Ah, sudahlah. Pembaca boleh mengabaikannya. 

Ini kisah tentang jatuhnya Majapahit berikut imajinasi berbangsa dari kerajaan itu yang terus hidup dari masa ke masa. Cerita berawal dari Banca dan Naya, abdi Brawijaya pungkasan, menitis ke pengunjung candi. Ia tukang cerita.

Dua abdi mengingatkan pembaca pada Sabda Palon dan Naya Genggong. Nama keduanya tertulis dalam Serat Dharmogandul.

Dipengaruhi Banca dan Naya, tukang cerita membabar cerita. Sekali-sekali, ia memasukkan tafsirnya sendiri.

Justru dengan itu Bre Redana berupaya menyampaikan pesan tentang post-truth. Pasca-kasunyatan, istilah yang ia pakai. Katanya, “Kebenaran tinggal kenangan. Semua orang berbohong.” Sayangnya, masih menurutnya, “Banyak orang, karena dungu, menerima dan merayakannya. Kasunyatan lingsir. Kebenaran menyisih.” (Hlm. 2)

Membaca dungu pembaca lekas ingat kepada Rocky Gerung. Ia kerap melontarkan dungu. Pembaca ingin tahu, apakah menafsiri sembarang peristiwa semau sendiri bisa disebut dungu?

Di novel, Bre Redana berkali-kali menunjukkan bahwa cerita dapat dibuat dan ditafsir orang seenak jidat dan selebar mulut. Kini, sekuat jempol memijat gawai juga! Misalnya, saat Si Tukang Cerita menafsir Banca dan Naya sebagai penyuka sesama jenis. “Jangan-jangan kalian ini homo...,” katanya. (Hlm. 19)

Si Tukang Cerita asal omong tanpa mengecek keberadaan homoseksual pada zaman Majapahit. Memang benar, pada zaman itu sudah ada praktik begitu. Namun, itu dilarang. Tak tanggung-tanggung, jika ketahuan, pelakunya dapat dihukum mati. Mungkinkah abdi setia raja adalah homoseksual? Dalam novel, kedua abdi dikisahkan menolak tafsir tersebut.

Tukang Cerita juga biasa menambah-nambah cerita yang bahkan tak sesuai dengan fakta. Misalnya, saat ia menggambarkan sosok yang sering tampak di hutan Cemara Sewu. Cantik. Berambut panjang. Telanjang bulat. Berkulit putih. Segera ia tambahkan sendiri, “Ada tahi lalat di pundak.” (Hlm. 37)

Itu tak ada dalam “kenyataan” masyarakat sekitar. “Mungkin itu pacar dia,” kata Banca. Mungkin. Pembaca lebih jauh berpikir. Framing berita, bahasa politik penguasa, kata-kata telemarketing, bahkan gosip yang beredar di arisan boleh jadi tak ada yang betul.

Praktis, di halaman 58 ke belakang, pembaca disuguhi cerita tentang Mas Karebre sejak lahir hingga menjadi Sultan Pajang. Tentu saja, sepotong-sepotong. Si Tukang Cerita memilih cerita semaunya.

Beberapa cerita juga berbeda dengan tulisan di buku-buku. Pembaca dipaksa maklum. Ini novel. Bukan buku sejarah.

Mas Karebre. Kata Si Tukang Cerita, begitu Ki Ageng Tingkir menamainya. Ia tak ambil peduli meski buku-buku, memori kolektif, sampai sinetron kolosal, memberi sebutan lain.

Ia membikin cerita, Ki Ageng Tingkir menamakan demikian karena Karebre lahir ketika wayang beber sedang digelar oleh Ki Jati. “Kalau begitu, mengapa bukan Kabeber?” sebagian pembaca tentu bertanya.

Melalui Ki Ageng Tingkir, tukang cerita menyediakan jawabnya. “Iramanya kurang cocok.” Itu pertama. Selain itu, “Anak ini keturunan Brawijaya. Harus terkandung jiwa Majapahit pada namanya.” (Hlm. 62)

Ada benarnya. Tukang cerita tak detail berkisah. Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga adalah salah satu anak pasangan Pembayun dan Jaka Sengara alias Syarief Muhammad Kebungsuan atau Adipati Andayaningrat. Tukang cerita menyebutnya Adipati Jayaningrat. Pembayun adalah putri Brawijaya. Saudara perempuan Raden Patah. Arabnya, Raden al-Fattah.

Jadi, Karebre memang punya darah Majapahit. Dari nenek garis silsilah bapaknya.

Tragis. Jaka Sengara dihukum mati oleh Raden Patah. Kakak ipar sendiri. Putra As-Sayyid Asy-Syaikh Jumadil Kubro al-Husaini itu dianggap membangkang. Kelak, salah satu anaknya, Kebo Kenanga juga mengalami nasib sama. Menghadapi hukuman mati.

Nah, pembaca tetiba percaya bahwa namanya memang Karebre. Padahal...

Begini saja. Mari bandingkan. Katakanlah, kita ambil buku Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa karya Abdul Munir Mulkhan. Buku itu juga memuat kisah kelahiran Mas Karebre. Dengan beberapa perbedaan.

Namanya Mas Karebet. Begitu Ki Ageng Tingkir menamainya. Sebab, Karebet lahir ketika wayang beber yang sedang digelar oleh Ki Ageng Tingkir tertiup angin dan berbunyi “krrebbett”.

Selesai membaca novel, pembaca tahu politik silsilah. Penguasa Demak menyebut diri keturunan Majapahit. Juga penguasa Pajang dan kemudian Mataram Islam. Pada masa republik, menurut catatan Tirto, taktik politik silsilah masih kerap dijadikan salah satu cara untuk melegitimasi tokoh-tokoh nasional dalam pertarungan politik.

Selain taktik politik silsilah, pembaca juga semakin yakin, politik kekuasaan yang penuh muslihat sering kali dibungkus dengan dongeng. Dengan mitos. Sebab, kata Tukang Cerita, “Kekuasaan bukan hanya memerlukan kekuatan, tapi ingatan.” (Hlm. 205) Dongeng memungkinkan untuk itu.

Itulah soalnya. Memori, selain kelebihannya, nyatanya memiliki keterbatasan. Memori kadang menjadikan yang nyata dan tidak nyata kabur batasnya. Fakta dan fiksi tumpang tindih. Lalu, apa yang dapat dipercaya?

Pembaca menuntut kiat menemu sebaris jawab di novel. “Jiwa-jiwa mandiri meragukan apa saja tak terkecuali surga-neraka,” kata Banca. (Hlm. 24)

Jalan begitu dinilai terlampau sulit. “Ini zaman pekok bareng,” kata Naya. Kira-kira begitu.●fgs

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar