Data Buku
Judul:
Dr Upadi
Penulis:
Sujiwo Tejo
Penerbit:
Tejo Laras Madya, Tangerang
Cetakan:
I, Februari 2018
Ukuran:
13 × 20,5 cm
Tebal:
xvi + 284 hlm.
ISBN: 978-602-5121-20-3
SUJIWO TEJO kali ini berkisah
tentang Drupadi, salah satu tokoh perempuan dalam pewayangan yang tak pernah
selesai ditafsir. Dia kerap menjadi inspirasi yang memicu seseorang berkarya. Sebelum
Dr Upadi, ada beberapa novel yang
juga mengangkat kisahnya. Drupadi
karya Seno Gumira Ajidarma, misalnya.
Saya kira, Sujiwo Tejo sengaja tak
berangkat dari sesuatu yang terang bahasanya dan benderang maknanya. Sejak
awal, ia bahkan memulai kisah dengan mengenalkan yang bukan Drupadi. Yang
liyan. Ia kisahkan, di antaranya, Drupadi menyadari sepenuhnya bahwa dia bukan
perempuan yang lama sekali ketika berdandan. Dia juga bukan tipe perempuan yang
menghamba pada kodrat rekaan, seperti pandai memasak, berhias diri, dan
berkemas. (hlm. 17, 63)
Agaknya, melalui narasi itu, Sujiwo
Tejo hendak menunjukkan kekuatan karakter Drupadi. Bahwa Drupadi bukanlah
perempuan yang terkungkung patriarki dan diperbudak oleh kapitalisme. Di sisi
lain, melalui pemahaman atas segala yang bukan Drupadi, Sujiwo Tejo mengajak
pembacanya untuk menemukan Drupadi yang sejati.
Sujiwo Tejo menjadikan Drupadi
sebagai tokoh ulang-alik antara pewayangan dan “kenyataan”. Sebagai siasat
harus diakui bahwa itu jitu. Dengannya, ia dapat membelokkan bahkan membenturkan
pembaca ke interpretasi lain atas tokoh dan kisah klasik.
Drupadi yang lain dinarasikan oleh
Sujiwo Tejo sebagai Drupadi yang lulusan Universitas Harvard. (hlm. 117)
Drupadi yang tak suka matematika dan lemah dalam mengukur dengan menerapkan
mistar. (hlm. 38)
Membaca hal itu, pembaca mungkin merasa
biasa saja. Sebab, itu masih cocok dengan stereotip perempuan yang lebih banyak
menggunakan perasaan daripada akalnya. Namun, Sujiwo Tejo tiba-tiba membuat
perbandingan. Ternyata lelaki sama saja. Mereka hanya gemar mengobrol tentang
perempuan, seks, dan apa pun. “Asal bukan obrolan tentang matematika.” (hlm. 149)
Humor itu segera tertangkap oleh
pembaca yang menyadari bahwa hidup nyatanya hanya sesak oleh prasangka.
Termasuk tentang perempuan.
Pada dasarnya, lelaki tak pernah
selesai mencari dan mengenali perempuan. Mereka bagai meniti dan mendaki
anak-anak tangga. Namun, ketika menginsafi bahwa tangga itu demikian tinggi, sayangnya
mereka mulai membenci. Lelaki “tak suka tangga yang terus-menerus tumbuh lebih
tinggi dari ubun-ubunnya.” (hlm. 109)
Lelaki merasa lebih unggul dengan
nalarnya. Pengetahuannya. Ubun-ubunnya. Mereka tak mau perempuan
mengunggulinya. Ubun-ubun mungkin juga simbolisasi yang lain. Kedewasaan.
Bagi Drupadi, nalar mestinya pertimbangan
kedua. Nalar memiliki batasan. Maka, Drupadi berkata, “Aku sudah kapok
bernalar-nalar dahulu bernaluri-naluri kemudian. Aku dikadali.” (hlm. 128)
Drupadi dalam novel ini adalah
pribadi yang lentur. Sering dia dideskripsikan sebagai perempuan yang menolak
suratan. Dia memilih mempertahankan harga diri. Dia juga yang membuat Pandawa
memerangi Kurawa dengan mengingatkan mereka pada dendam yang harus terlunaskan.
Padahal, awalnya, Yudistira sudah berniat memaafkan.
Pada ketika yang lain, secara ambigu,
Drupadi menyebut lakonnya sebagai takdir yang tak dapat dia tolak. Contohnya, saat
dia dijadikan hadiah sayembara oleh ayahnya. Itu boleh saja ditafsir oleh
pembaca sebagai arogansi relasi kuasa. Sayangnya, Drupadi tak berkutik. Dia tak
menunjukkan perlawanan. Maka, Drupadi tak memiliki eksistensinya.
Demikian juga saat akhirnya Drupadi
harus berpoliandri. Dia menikah dengan Pandawa akibat ketaktahuan dan perintah
Kunti untuk membagi hasil sayembara dengan adil. Drupadi hanya membatin,
“Bagilah diriku dengan adil? Aku sanggup memalsukan orgasmeku. Lima kali pun
sanggup. Tapi dapatkah kupalsukan diriku menjadi lima untuk menikah dengan
setiap mereka?” (hlm. 185-186)
Menariknya, cerita tak berhenti di
situ. Sujiwo Tejo lagi-lagi membalikkan relasi antara Drupadi dan
Pandawa—perempuan dan lelaki—justru melalui eksplorasi seksualitas. Drupadi
dinarasikan bukan sebagai objek pemuas nafsu belaka. Dia subjek.
Umumnya, perempuan diposisikan
sebagai objek. Ekspresi seksual mereka ditabukan. Setidaknya di ruang publik.
Sebab, tak sedikit juga lelaki yang diam-diam menikmati kenakalan perempuan di
atas ranjang mereka.
Sebenarnya, narasi kesetaraan
seksual bukanlah hal baru. Serat Centhini
(1814-1823) merekam kisah-kisah itu. Disebutkan misalnya, "Ni randha andhêdhêkati, dènpakak-pakakkên
wokan, ingusêlakên ngaleleh, kur dumuk-dumuk kuwålå, kéwuhan tan kêlawan, Ni
Kacer ngrangkul néng pungkur, susu nyungungé gepokan.” Ni Janda merapat,
mendekatkan kelaminnya, menggosokkannya. Karena tak jua bersambut, Ni Kacer
memeluk punggungnya, lalu merangsangnya dengan kuncup dadanya. Lihat, betapa
kita yang dulu lebih terbuka dan setara.
Dalam sebuah dialog, Drupadi membandingkan
kepuasan seks dengan kepuasan tindak yang lain, di antaranya perang. (hlm. 140)
Orgasme dia sejajarkan dengan kepuasan menumpas Kurawa. (hlm. 144)
Drupadi juga mengaku bahwa sesungguhnya
dia tak pernah orgasme dengan Pandawa. Dia membayangkan bahwa dia hanya
mencapai kepuasan ketika berhubungan dengan yang sejati: dalang. (hlm. 177, 270)
Pembaca boleh menafsir bahwa dalang yang dimaksud adalah Tuhan.
Pada aras ini, Sujiwo Tejo berhasil
menuturkan tema kesetaraan gender dan seksualitas secara sastrawi. Kaya
metafora. Seks dikembalikan martabatnya ke dimensi ketuhanan.
Sayangnya, Sujiwo Tejo tak
mengisahkan Drupadi dalam alur cerita tertentu. Kisahnya berlompatan. Ia juga
tak mengeksplorasi lebih dalam hal-hal yang mestinya dapat memperkuat corak
keberpihakannya terhadap perempuan. Misalnya, pergolakan batin Drupadi ketika
menjalani pembuangan bersama Pandawa, mengandung dan melahirkan anak Pandawa
selama pembuangan, dan pengalaman lain yang khas perempuan.
Mungkin benar, lelaki hanya dapat
mencoba mengerti, berempati, dan berpihak kepada perempuan sesuai dengan alam
pikirnya sendiri. Selalu ada jeda, karena pada dasarnya lelaki tak pernah
mengalami sendiri hal-hal yang dialami perempuan.
Akhirnya, membaca Drupadi berarti semacam mencari kesejatian
dengan penuh riang. Untuk sampai ke sana, selain keberanian, tentu butuh
kedewasaan. Maka, wajar di sampul belakang tertera bahwa novel ini diperuntukkan
kelompok usia dewasa.•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar