Senin, 24 Desember 2018

Mencari Kesejatian dengan Riang [Resensi “Dr Upadi” – Sujiwo Tejo]





Data Buku
Judul: Dr Upadi
Penulis: Sujiwo Tejo
Penerbit: Tejo Laras Madya, Tangerang
Cetakan: I, Februari 2018
Ukuran: 13 × 20,5 cm
Tebal: xvi + 284 hlm.
ISBN: 978-602-5121-20-3



SUJIWO TEJO kali ini berkisah tentang Drupadi, salah satu tokoh perempuan dalam pewayangan yang tak pernah selesai ditafsir. Dia kerap menjadi inspirasi yang memicu seseorang berkarya. Sebelum Dr Upadi, ada beberapa novel yang juga mengangkat kisahnya. Drupadi karya Seno Gumira Ajidarma, misalnya.

Saya kira, Sujiwo Tejo sengaja tak berangkat dari sesuatu yang terang bahasanya dan benderang maknanya. Sejak awal, ia bahkan memulai kisah dengan mengenalkan yang bukan Drupadi. Yang liyan. Ia kisahkan, di antaranya, Drupadi menyadari sepenuhnya bahwa dia bukan perempuan yang lama sekali ketika berdandan. Dia juga bukan tipe perempuan yang menghamba pada kodrat rekaan, seperti pandai memasak, berhias diri, dan berkemas. (hlm. 17, 63)

Agaknya, melalui narasi itu, Sujiwo Tejo hendak menunjukkan kekuatan karakter Drupadi. Bahwa Drupadi bukanlah perempuan yang terkungkung patriarki dan diperbudak oleh kapitalisme. Di sisi lain, melalui pemahaman atas segala yang bukan Drupadi, Sujiwo Tejo mengajak pembacanya untuk menemukan Drupadi yang sejati.

Sujiwo Tejo menjadikan Drupadi sebagai tokoh ulang-alik antara pewayangan dan “kenyataan”. Sebagai siasat harus diakui bahwa itu jitu. Dengannya, ia dapat membelokkan bahkan membenturkan pembaca ke interpretasi lain atas tokoh dan kisah klasik.

Drupadi yang lain dinarasikan oleh Sujiwo Tejo sebagai Drupadi yang lulusan Universitas Harvard. (hlm. 117) Drupadi yang tak suka matematika dan lemah dalam mengukur dengan menerapkan mistar. (hlm. 38)

Membaca hal itu, pembaca mungkin merasa biasa saja. Sebab, itu masih cocok dengan stereotip perempuan yang lebih banyak menggunakan perasaan daripada akalnya. Namun, Sujiwo Tejo tiba-tiba membuat perbandingan. Ternyata lelaki sama saja. Mereka hanya gemar mengobrol tentang perempuan, seks, dan apa pun. “Asal bukan obrolan tentang matematika.” (hlm. 149)

Humor itu segera tertangkap oleh pembaca yang menyadari bahwa hidup nyatanya hanya sesak oleh prasangka. Termasuk tentang perempuan.

Pada dasarnya, lelaki tak pernah selesai mencari dan mengenali perempuan. Mereka bagai meniti dan mendaki anak-anak tangga. Namun, ketika menginsafi bahwa tangga itu demikian tinggi, sayangnya mereka mulai membenci. Lelaki “tak suka tangga yang terus-menerus tumbuh lebih tinggi dari ubun-ubunnya.” (hlm. 109)

Lelaki merasa lebih unggul dengan nalarnya. Pengetahuannya. Ubun-ubunnya. Mereka tak mau perempuan mengunggulinya. Ubun-ubun mungkin juga simbolisasi yang lain. Kedewasaan.

Bagi Drupadi, nalar mestinya pertimbangan kedua. Nalar memiliki batasan. Maka, Drupadi berkata, “Aku sudah kapok bernalar-nalar dahulu bernaluri-naluri kemudian. Aku dikadali.” (hlm. 128)

Drupadi dalam novel ini adalah pribadi yang lentur. Sering dia dideskripsikan sebagai perempuan yang menolak suratan. Dia memilih mempertahankan harga diri. Dia juga yang membuat Pandawa memerangi Kurawa dengan mengingatkan mereka pada dendam yang harus terlunaskan. Padahal, awalnya, Yudistira sudah berniat memaafkan.

Pada ketika yang lain, secara ambigu, Drupadi menyebut lakonnya sebagai takdir yang tak dapat dia tolak. Contohnya, saat dia dijadikan hadiah sayembara oleh ayahnya. Itu boleh saja ditafsir oleh pembaca sebagai arogansi relasi kuasa. Sayangnya, Drupadi tak berkutik. Dia tak menunjukkan perlawanan. Maka, Drupadi tak memiliki eksistensinya.

Demikian juga saat akhirnya Drupadi harus berpoliandri. Dia menikah dengan Pandawa akibat ketaktahuan dan perintah Kunti untuk membagi hasil sayembara dengan adil. Drupadi hanya membatin, “Bagilah diriku dengan adil? Aku sanggup memalsukan orgasmeku. Lima kali pun sanggup. Tapi dapatkah kupalsukan diriku menjadi lima untuk menikah dengan setiap mereka?” (hlm. 185-186)

Menariknya, cerita tak berhenti di situ. Sujiwo Tejo lagi-lagi membalikkan relasi antara Drupadi dan Pandawa—perempuan dan lelaki—justru melalui eksplorasi seksualitas. Drupadi dinarasikan bukan sebagai objek pemuas nafsu belaka. Dia subjek.

Umumnya, perempuan diposisikan sebagai objek. Ekspresi seksual mereka ditabukan. Setidaknya di ruang publik. Sebab, tak sedikit juga lelaki yang diam-diam menikmati kenakalan perempuan di atas ranjang mereka.

Sebenarnya, narasi kesetaraan seksual bukanlah hal baru. Serat Centhini (1814-1823) merekam kisah-kisah itu. Disebutkan misalnya, "Ni randha andhêdhêkati, dènpakak-pakakkên wokan, ingusêlakên ngaleleh, kur dumuk-dumuk kuwålå, kéwuhan tan kêlawan, Ni Kacer ngrangkul néng pungkur, susu nyungungé gepokan.” Ni Janda merapat, mendekatkan kelaminnya, menggosokkannya. Karena tak jua bersambut, Ni Kacer memeluk punggungnya, lalu merangsangnya dengan kuncup dadanya. Lihat, betapa kita yang dulu lebih terbuka dan setara.

Dalam sebuah dialog, Drupadi membandingkan kepuasan seks dengan kepuasan tindak yang lain, di antaranya perang. (hlm. 140) Orgasme dia sejajarkan dengan kepuasan menumpas Kurawa. (hlm. 144)

Drupadi juga mengaku bahwa sesungguhnya dia tak pernah orgasme dengan Pandawa. Dia membayangkan bahwa dia hanya mencapai kepuasan ketika berhubungan dengan yang sejati: dalang. (hlm. 177, 270) Pembaca boleh menafsir bahwa dalang yang dimaksud adalah Tuhan.

Pada aras ini, Sujiwo Tejo berhasil menuturkan tema kesetaraan gender dan seksualitas secara sastrawi. Kaya metafora. Seks dikembalikan martabatnya ke dimensi ketuhanan.

Sayangnya, Sujiwo Tejo tak mengisahkan Drupadi dalam alur cerita tertentu. Kisahnya berlompatan. Ia juga tak mengeksplorasi lebih dalam hal-hal yang mestinya dapat memperkuat corak keberpihakannya terhadap perempuan. Misalnya, pergolakan batin Drupadi ketika menjalani pembuangan bersama Pandawa, mengandung dan melahirkan anak Pandawa selama pembuangan, dan pengalaman lain yang khas perempuan.

Mungkin benar, lelaki hanya dapat mencoba mengerti, berempati, dan berpihak kepada perempuan sesuai dengan alam pikirnya sendiri. Selalu ada jeda, karena pada dasarnya lelaki tak pernah mengalami sendiri hal-hal yang dialami perempuan.

Akhirnya, membaca Drupadi berarti semacam mencari kesejatian dengan penuh riang. Untuk sampai ke sana, selain keberanian, tentu butuh kedewasaan. Maka, wajar di sampul belakang tertera bahwa novel ini diperuntukkan kelompok usia dewasa.•fgs




Resensi ini dimuat pertama kali di Karepe.com pada 19 November 2018







Tidak ada komentar:

Posting Komentar