Data Buku
Judul:
Dialog
Penulis:
Umar Kayam
Penerbit:
Metafor, Jakarta
Cetakan:
I, 2005
Ukuran:
14 × 20,8 cm
Tebal:
xvi + 344 hlm.
ISBN:
979-3019-25-5
BARANGKALI
membaca Dialog dapat menginspirasi kita
untuk melihat dan melakoni hidup secara semadyanya. Ora mêthênthêng. Ndak ngegas terus.
Kadang, orang memang dituntut maklum.
Dialog
adalah kumpulan 38 esai yang ditulis oleh Umar Kayam pada 1968-1999. Semula,
esai-esai itu diterbitkan oleh Kompas,
KAMI, Matra, Sinar Harapan, Media Indonesia, dan Surabaya Post.
Mikael
Johani, penyuntingnya, menyusun esai-sai itu secara tematis. Bukan kronologis.
Taksi AC Jakarta
terpilih sebagai esai pembuka. Dalam esai itu, Umar Kayam bercerita tentang
pengalamannya naik taksi di ibukota. Ada gegar budaya di sana. Taksi
berpengondisi udara boleh jadi penanda kemajuan peradaban masa itu. Namun, ia
tak serta-merta diikuti oleh keselarasan perilaku manusianya. Ya sopirnya, ya
penumpangnya.
Ada
sopir yang segera masuk angin. Ia mengoles minyak gosok ke sekujur tubuh dan
terus bersendawa. Ada sopir yang tetap asyik klêpas-klêpus merokok. Ada penumpang yang membuang sampah
sembarangan. Macam-macam.
Hari
ini, 30 tahun lebih setelah diterbitkan oleh Kompas, esai itu masih relevan. Memang, moda transportasi telah
banyak berubah. Tak hanya taksi, kini, bus kelas ekonomi pun banyak yang
berpengondisi udara. Taksi dalam pengertian masa Umar Kayam telah tergeser oleh
taksi daring yang dapat dipesan melalui telepon pintar. Namun, kelakuan orang tetap
tak jauh berbeda. Soal pintar, sebagian orang juga tak sepintar teleponnya.
Itu
tadi, gegar budaya. Kata Umar Kayam, “Itu tandanya kita masih kaget ketemu
dengan atribut-atribut modernisasi.” (hlm. 142)
Secara
cermat, Umar Kayam memotret dan mengulas contoh lain dalam kehidupan
sehari-hari yang sering luput dari amatan. Mulai soal penggunaan kloset duduk, jam
karet, sampai soal korupsi dan nepotisme.
Nah,
perihal kloset duduk. Itu lazim sebagai bagian dari bangunan modern meski
nyatanya tak semua orang biasa menggunakannya. Sebagian masih saja berjongkok
di atas kloset duduk. Bayangkan, ada jejak kaki di dudukan kloset!
Atasnya,
Umar Kayam berkomentar bahwa atribut modernitas tak dapat otomatis menghapus
kenyataan bawah sadar. Orang-orang yang jongkok itu diduga masih hidup dalam
alam tradisi sawah dan kali. Akibatnya, mereka lebih senang jongkok daripada
duduk di atas kloset. Harap maklum.
Tentang
jam karet, kata Umar Kayam, “Mereka yang bersikap sangat toleran terhadap
konsep waktu yang mulur mungkret,
mungkin sekali masih bernaung di bawah pengaruh konsep waktu leluhur masyarakat
agraris tradisional.” Pelbagai siklus, musim, dan ritual peralihan masa mereka bayangkan
sebagai lingkaran-lingkaran yang mengalir, luwes, dan tentu saja enak temponya.
Bukan dalam garis linear yang patah-patah, jelas batasnya, dan sejajar dengan
uang sebagaimana dipahami oleh masyarakat peradaban industri modern. (hlm.
11-13)
Untuk
itu, orang mesti memilah dan memilih. Ada kalanya orang sebaiknya bersikap
fleksibel terhadap waktu. Ada waktunya pula orang mesti tegar tepat terhadap
waktu.
Pada
era kiwari, kita dapat menambah deret contoh gegar budaya. Misalnya, anak gadis
yang hilang bersama kawan pria yang baru saja dia kenal di Facebook, menganggap tontonan sebagai tuntunan, sharing (berita di media sosial) tanpa saring,
dan seterusnya.
Demikianlah.
Benang merah esai-esai Umar Kayam dalam Dialog
adalah transformasi budaya dari feodal-agraris menjadi modern. Hal ini sama
dengan beberapa karya fiksinya. Sebut saja Para
Priyayi, Jalan Menikung, dan Seribu Kunang-Kunang di Manhattan.
Selalu
ada pergulatan multikultural dalam karyanya: antara Jawa dan Amerika, Barat dan
Timur, Islam dan Non-Islam, feodal-agraris dan modern, dan seterusnya. Analisis
A.N. Luthfi dalam Manusia Ulang-Alik,
“Barangkali ia terpengaruh oleh J.D. Salinger, Ernest Hemingway, William
Faulkner, atau John Steinbeck.”
Memang,
tiap latar budaya mestinya punya karakteristik tersendiri. Oleh sebab itu, transformasi
kultural memerlukan dialog antarbudaya. Umar Kayam membuka ruang dialog itu
melalui tulisan-tulisannya.
Sebenarnya,
ada selainnya yang kita dapat berharap kepadanya untuk mendialogkan hal itu secara
terstruktur, sistematis, dan masif. Pendidikan. Di negara ini, pendidikan
didesain untuk diberikan kepada sebanyak mungkin orang agar dapat menumpuk
sebanyak mungkin pengetahuan. Termasuk budaya.
Sayangnya,
seperti tulis Umar Kayam, “Ada semacam jarak yang kelewat jauh antara realita
sekolah dan realita luar sekolah.” (hlm. 169) Gap!
Di
luar sekolah, di dunia nyata, perkembangan lain terjadi hampir bertolak
belakang keadaannya dengan pelajaran di sekolah. Melalui pelbagai media,
informasi setengah baru dan sama sekali baru disampaikan dan ditularkan. Ada
yang benar. Ada yang hoaks belaka. Semua diterima oleh siswa tanpa mampu
memilah, memilih, membayangkan, dan menghayati relevansinya dengan pengetahuan
yang didapatkan di sekolah. Akhirnya, pada skala lebih luas, siswa juga tak
mampu melihat hubungan antarinformasi yang membentuk realitas yang ia hadapi.
Kita
belum bicara hal lain yang lebih radikal. Misalnya, apakah pengetahuan yang
kita dapatkan dari sekolah mendekatkan kita kepada kebenaran? Atau, apakah
kebenaran yang kita dapatkan mengantarkan kita kepada kebahagiaan? Kira-kira begitu.●fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar