Rabu, 19 Juni 2019

Dialog Umar Kayam dalam "Dialog" [Resensi Buku “Dialog” – Umar Kayam]




Data Buku
Judul: Dialog
Penulis: Umar Kayam
Penerbit: Metafor, Jakarta
Cetakan: I, 2005
Ukuran: 14 × 20,8 cm
Tebal: xvi + 344 hlm.
ISBN: 979-3019-25-5



BARANGKALI membaca Dialog dapat menginspirasi kita untuk melihat dan melakoni hidup secara semadyanya. Ora mêthênthêng. Ndak ngegas terus. Kadang, orang memang dituntut maklum.

Dialog adalah kumpulan 38 esai yang ditulis oleh Umar Kayam pada 1968-1999. Semula, esai-esai itu diterbitkan oleh Kompas, KAMI, Matra, Sinar Harapan, Media Indonesia, dan Surabaya Post.

Mikael Johani, penyuntingnya, menyusun esai-sai itu secara tematis. Bukan kronologis.

Taksi AC Jakarta terpilih sebagai esai pembuka. Dalam esai itu, Umar Kayam bercerita tentang pengalamannya naik taksi di ibukota. Ada gegar budaya di sana. Taksi berpengondisi udara boleh jadi penanda kemajuan peradaban masa itu. Namun, ia tak serta-merta diikuti oleh keselarasan perilaku manusianya. Ya sopirnya, ya penumpangnya.

Ada sopir yang segera masuk angin. Ia mengoles minyak gosok ke sekujur tubuh dan terus bersendawa. Ada sopir yang tetap asyik klêpas-klêpus merokok. Ada penumpang yang membuang sampah sembarangan. Macam-macam.

Hari ini, 30 tahun lebih setelah diterbitkan oleh Kompas, esai itu masih relevan. Memang, moda transportasi telah banyak berubah. Tak hanya taksi, kini, bus kelas ekonomi pun banyak yang berpengondisi udara. Taksi dalam pengertian masa Umar Kayam telah tergeser oleh taksi daring yang dapat dipesan melalui telepon pintar. Namun, kelakuan orang tetap tak jauh berbeda. Soal pintar, sebagian orang juga tak sepintar teleponnya.

Itu tadi, gegar budaya. Kata Umar Kayam, “Itu tandanya kita masih kaget ketemu dengan atribut-atribut modernisasi.” (hlm. 142)

Secara cermat, Umar Kayam memotret dan mengulas contoh lain dalam kehidupan sehari-hari yang sering luput dari amatan. Mulai soal penggunaan kloset duduk, jam karet, sampai soal korupsi dan nepotisme.

Nah, perihal kloset duduk. Itu lazim sebagai bagian dari bangunan modern meski nyatanya tak semua orang biasa menggunakannya. Sebagian masih saja berjongkok di atas kloset duduk. Bayangkan, ada jejak kaki di dudukan kloset!

Atasnya, Umar Kayam berkomentar bahwa atribut modernitas tak dapat otomatis menghapus kenyataan bawah sadar. Orang-orang yang jongkok itu diduga masih hidup dalam alam tradisi sawah dan kali. Akibatnya, mereka lebih senang jongkok daripada duduk di atas kloset. Harap maklum.

Tentang jam karet, kata Umar Kayam, “Mereka yang bersikap sangat toleran terhadap konsep waktu yang mulur mungkret, mungkin sekali masih bernaung di bawah pengaruh konsep waktu leluhur masyarakat agraris tradisional.” Pelbagai siklus, musim, dan ritual peralihan masa mereka bayangkan sebagai lingkaran-lingkaran yang mengalir, luwes, dan tentu saja enak temponya. Bukan dalam garis linear yang patah-patah, jelas batasnya, dan sejajar dengan uang sebagaimana dipahami oleh masyarakat peradaban industri modern. (hlm. 11-13)

Untuk itu, orang mesti memilah dan memilih. Ada kalanya orang sebaiknya bersikap fleksibel terhadap waktu. Ada waktunya pula orang mesti tegar tepat terhadap waktu.

Pada era kiwari, kita dapat menambah deret contoh gegar budaya. Misalnya, anak gadis yang hilang bersama kawan pria yang baru saja dia kenal di Facebook, menganggap tontonan sebagai tuntunan, sharing (berita di media sosial) tanpa saring, dan seterusnya.

Demikianlah. Benang merah esai-esai Umar Kayam dalam Dialog adalah transformasi budaya dari feodal-agraris menjadi modern. Hal ini sama dengan beberapa karya fiksinya. Sebut saja Para Priyayi, Jalan Menikung, dan Seribu Kunang-Kunang di Manhattan.

Selalu ada pergulatan multikultural dalam karyanya: antara Jawa dan Amerika, Barat dan Timur, Islam dan Non-Islam, feodal-agraris dan modern, dan seterusnya. Analisis A.N. Luthfi dalam Manusia Ulang-Alik, “Barangkali ia terpengaruh oleh J.D. Salinger, Ernest Hemingway, William Faulkner, atau John Steinbeck.”

Memang, tiap latar budaya mestinya punya karakteristik tersendiri. Oleh sebab itu, transformasi kultural memerlukan dialog antarbudaya. Umar Kayam membuka ruang dialog itu melalui tulisan-tulisannya.

Sebenarnya, ada selainnya yang kita dapat berharap kepadanya untuk mendialogkan hal itu secara terstruktur, sistematis, dan masif. Pendidikan. Di negara ini, pendidikan didesain untuk diberikan kepada sebanyak mungkin orang agar dapat menumpuk sebanyak mungkin pengetahuan. Termasuk budaya.

Sayangnya, seperti tulis Umar Kayam, “Ada semacam jarak yang kelewat jauh antara realita sekolah dan realita luar sekolah.” (hlm. 169) Gap!

Di luar sekolah, di dunia nyata, perkembangan lain terjadi hampir bertolak belakang keadaannya dengan pelajaran di sekolah. Melalui pelbagai media, informasi setengah baru dan sama sekali baru disampaikan dan ditularkan. Ada yang benar. Ada yang hoaks belaka. Semua diterima oleh siswa tanpa mampu memilah, memilih, membayangkan, dan menghayati relevansinya dengan pengetahuan yang didapatkan di sekolah. Akhirnya, pada skala lebih luas, siswa juga tak mampu melihat hubungan antarinformasi yang membentuk realitas yang ia hadapi.

Kita belum bicara hal lain yang lebih radikal. Misalnya, apakah pengetahuan yang kita dapatkan dari sekolah mendekatkan kita kepada kebenaran? Atau, apakah kebenaran yang kita dapatkan mengantarkan kita kepada kebahagiaan? Kira-kira begitu.●fgs




Tidak ada komentar:

Posting Komentar