Senin, 27 Mei 2019

Transit [Resensi “Transit (Urban Stories)” – Seno Gumira Ajidarma]




Data Buku
Judul: Transit (Urban Stories)
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: I, 2019
Ukuran: 13,5 × 20 cm
Tebal: vii + 141 hlm.
ISBN: 978-602-0622-52-1




KETIDAKTAHUAN itu menakutkan. Sama seperti kegelapan. Sayangnya, ia ada di mana-mana. Juga di kota.

Transit (Urban Stories), kumpulan 17 cerita pendek Seno Gumira Ajidarma (SGA), menggambarkan itu. Kota boleh jadi dianggap sebagai simbol kemajuan. Keakanan. Keterangbenderangan. Nyatanya, ia punya sederet persoalan.

SGA oleh Fuller dalam Sastra dan Politik disebut sebagai pendongeng dengan dominasi ekspresi posmodernisme. Di antaranya, ia mendongeng melalui mikronarasi, karakter dengan identitas ganda, metafiksi, dan penerimaan terhadap budaya populer.

Dalam Transit misalnya, penerimaan terhadap budaya populer sekaligus kebimbangan nilai tergambarkan melalui kisah perzinaan lelaki beristri dengan perempuan lain. Perempuan yang selalu mengirim pesan “Let’s have a quickie!” kepadanya. Perempuan yang benar-benar melakukannya tanpa bertanya kemudian, “Kapan kita kawin?

Bebas. Yang penting, mau sama mau. Prinsip itu tak boleh dilanggar. Demikian gaya hidup modern?

Lelaki itu menikmati. Sekali. Lalu, ia takut sendiri. Ia tak dapat membayangkan dirinya tepergok duduk di atas kloset dengan celana melorot dan seorang perempuan setengah telanjang di pangkuannya. Ia tak bisa membiarkan dirinya terombang-ambing kegelapan keakanan.

Orang mengota seperti mengalami zaman serbabimbang. Ia ditingkahi ketertukaran antara berita sungguh-sungguh dan berita bohong. Belum lagi soal pembingkaian berita.

Itu dikisahkan oleh SGA dalam beberapa cerpen. Setan Becak, misalnya. Melalui cerpen itu, pembaca dibuat sadar ihwal keterbatasan teks dan ketidakmampuan penulis atau penutur mengisahkan peristiwa secara akurat. Bahwa teks dapat tak terkendali.

Sayangnya, ketidaktahuan menjadikan banyak orang dimanfaatkan oleh pihak tertentu. Kekerasan pada 1965, 1983, dan 1998, contohnya. Pun aksi bom bunuh diri. SGA mengisahkannya dalam GoKill dan Budak Cinta.

Menarik dibahas, orang (atau negara?)—Orde Baru menyebutnya sebagai oknum—yang menjadi operator menikmati saat-saat mencangkokkan ide jahat. Mereka tak peduli objek mereka menjadi korban. Mereka menjadikannya permainan dan senda gurau. Seperti kisah bertajuk Setan Banteng.

Dalam aras itu, oknum “kalah” oleh perempuan pelacur di Bong Suwung, Stasiun Tugu. Dikisahkan oleh SGA, seorang anak, sebelas tahun umurnya, ingin bercinta.

“Kamu juga mau ya?” tanya pelacur yang ditemuinya, “kawan-kawan precilmu semuanya juga mau.”

Pelacur itu tak mau dibayar untuk bercinta. Dia hanya memberi sepuluh batang korek api. Masing-masing boleh dibakar dan diarahkan ke pangkal pahanya.

Sepuluh korek terbakar dan segera padam tertiup angin. Anak itu tak sempat melihat apa-apa.

“Dik, kamu bawa saja kembali uangmu!” kata perempuan itu. Matanya basah.

Sementara, mata oknum sulit basah. Sangat mungkin, mereka hanya bisa berteriak dan tertawa. Kira-kira begitu.●fgs




Tidak ada komentar:

Posting Komentar