Data Buku
Judul:
Suta Naya Dhadhap Waru:
Manusia Jawa dan
Tumbuhan
Penulis:
Imam Budhi Santosa
Penerbit:
Interlude, Yogyakarta
Cetakan:
I, 2017
Ukuran:
14 × 21 cm
Tebal:
xxx + 478 hlm.
ISBN:
978-602-6250-42-1
HARI
TANI NASIONAL, tujuh belas petani Kendeng melakukan aksi di seberang istana
negara. Mereka berkeras menolak pembangunan pabrik semen di wilayah mereka.
Diberitakan oleh Tirto.id, Gun Retno,
perwakilan para petani itu, menyampaikan, “Kami sedulur kalau menang tidak
minta tanah, gunung, atau sertifikat. Kami ingin agar lingkungan ini sehat.
Angin tetap sejuk, udara bersih, dan sawah bisa ditanami.”
Aksi
pada 24 September 2018 itu bukan yang pertama. Sebelumnya, 12 April 2016 dan 13
Maret 2017 misalnya, mereka juga melakukan aksi. Menyemen kaki. Kompas.com mencatat, pada 2017, hari
kelima aksi, petani yang ikut menyemen kaki mencapai 50 orang. Mereka meyakini
bahwa aksi tersebut merupakan kewajiban petani untuk terus menjaga keseimbangan alam.
Soal
Kendeng itu terlintas saat saya membaca buku Iman Budhi Santosa, Suta Naya Dhadhap Waru. Ia menulis, “Sebagai masyarakat agraris sesungguhnya
mayoritas orang Jawa memiliki keperdulian (sic!) tinggi terhadap alam
lingkungan.” (Hlm. 14)
Iman
sampai pada simpulan itu setelah mencermati ribuan nama tumbuhan hasil
penelitian K. Heyne dalam buku bertajuk Tumbuhan
Berguna Indonesia I-IV. Ia mencocokkannya dengan nama-nama desa dan
kelurahan di Jawa.
Jawa
yang ia maksud bukan Pulau Jawa. Ia hanya mengkhususkan Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Yogyakarta. Pulau Madura adalah kekecualian meski ia masuk dalam
wilayah administratif Provinsi Jawa Timur.
Saya
kira, tak dapat pula serta-merta kita simpulkan bahwa Jawa yang ia maksud
adalah budaya Jawa. Sebab, tak semua wilayah amatannya berlatar budaya Jawa. Di
Jawa Timur misalnya, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang dan
Jember tak dapat secara gegabah kita sebut berlatar budaya Jawa.
Pada
masa kolonial, wilayah itu—ditambah dengan Blambangan—disebut Java Oosthoek.
Beberapa akademisi, di antaranya Ayu Sutarto, “menyebut” wilayah itu sebagai Pandalungan.
Ada pula yang menyebutnya sebagai wilayah Tapal Kuda.
Pada
Abad XIX, ada gelombang migrasi orang-orang Madura (dan etnis lain) ke
wilayah-wilayah itu ketika Belanda membuka perusahaan perkebunan partikelir (onderneming). Komposisi penduduk
berubah. Di Jember misalnya, pada 1870-an, jumlah orang Madura hampir dua kali
lipat jumlah orang Jawa.
Dalam
setiap migrasi, lumrah orang mempertahankan kesadaran dan solidaritas
etno-komunal asalnya. Demikian pula orang-orang Madura masa itu. Jejaknya masih
ada. Tak sedikit desa di wilayah itu dihuni oleh orang-orang berbahasa Madura.
Mungkin
Iman mengasumsikan orang-orang Madura yang bermigrasi ke Jawa melakukan semacam
hibriditas budaya. Boleh jadi, itu strategi agar sintas di tengah keberbedaan. Yang
pasti, bahasa termasuk salah satu unsur yang mengalami proses kultural itu. Pilihan
nama desa pun terdampak.
Bagi
orang Jawa, nama tak dipilih secara manasuka. Juga nama desa. Ia, seperti kata Danesi
dan Perron, memiliki kaitan erat dengan identitas. Ia juga memiliki sifat
indeksikal, simbolis, dan kadang-kadang ikonis. Dengan demikian penamaan desa
adalah cerminan bahasa, sejarah, nilai budaya, dan pikiran masyarakat yang bersangkutan.
Iman
setuju dengan hal itu. “Pemberian nama desa di Jawa menggunakan nama tumbuhan
jelas merupakan pilihan, bukan kebetulan,” katanya. Orang Jawa memuliakan
tumbuhan. Ia mencontohkan, adanya tradisi menanam sebuah pohon sebagai penanda
kelahiran anak. (hlm. 39-40)
Purnomo
dalam Tanaman Kultural dalam Perspektif Adat Jawa menulis hal senada. Selain untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti
bahan makanan, obat, kosmetik, dan bangunan, tanaman bagi orang Jawa juga
digunakan untuk sarana religius. Tanaman menjadi simbol pandangan, cita-cita,
harapan, doa, dan sebagainya.
Orang
Jawa berpandangan bahwa orang harus memayu
hayuning bawana. Boleh kita maknai: turut menjaga kelestarian alam!
Dalam
Suta Naya Dhadhap Waru, Iman
mencatat, sekurang-kurangnya 324 nama tumbuhan dalam bahasa Jawa digunakan
untuk nama desa. Ada 3.395 desa atau kelurahan di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Yogyakarta. (Hlm. 458)
Banyak
juga. Padahal, beberapa nama desa terlewatkan. Misalnya, Desa Gayam di Gurah,
Kediri. Ia tak tercatat dalam kelompok pohon gayam (Inocarpus fegiferus). (hlm. 135-136) Sebetulnya, nama itu juga
digunakan di Madura. Desa Gayam, Kecamatan Gayam, Kabupaten Sumenep.
Jika
penelusuran nama wilayah diperkecil sampai nama dusun atau kampung, tentu
jumlahnya akan lebih banyak lagi. Di Desa Gayam, Gurah, Kediri saja, ada dusun bernama
Gayam Barat dan Gayam Timur.
Masih
tentang gayam. Buah gayam dapat diolah menjadi keripik gayam. Di Sumenep,
keripik itu termasuk pangan khas dan terkenal. Setara dengan kripik gayam dari
Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban. Namun, di Tuban tak ada yang tertarik
mengabadikan gayam sebagai nama desa.
Gayam
adalah tanaman masa lampau. Ia tercatat dalam Serat Centhini (Suluk
Tembangraras). Serat itu ditulis tim yang dipimpin oleh Adipati Anom
Amangkunegara III (kemudian menjadi Pakubuwana V) pada 1814-1823.
Melalui
Serat Centhini itu, orang masa kini
dapat mengenali banyak jenis tumbuhan lain yang hidup pada masa lalu. Tak
semuanya ada dalam Suta Naya Dhadhap Waru.
Contohnya, trawas (Litsea ordorifera).
Di tempat lain, ia disebut sebagai brawas. Ia dijadikan sebagai nama kecamatan
di Kabupaten Mojokerto.
Selain
melalui sastra klasik, jenis tumbuhan dan pemuliaannya pada masa lampau dapat ditelusuri dalam relief candi. Seperti
yang diteliti dan ditulis Regina Yofani dalam skripsinya di FIB, UI, pada 2010,
Beragaman Tanaman pada Relief di Jawa
Timur Abad 14 Masehi (Kajian Bentuk dan Pemanfaatan).
Menurut Yofani, ada 21 jenis tanaman yang telah diketahui bentuknya di dalam relief beberapa candi di Jawa Timur, yaitu aren, pinang, kelapa, pisang, pandan, asoka, glodokan, mangga, nangka, durian, tanjung, beringin, randu, sukun, kamboja, teratai, bakung, padi, keladi, puring, pinus. Selain itu, ada 197 jenis tanaman yang tak teridentifikasi jenisnya.
Menurut Yofani, ada 21 jenis tanaman yang telah diketahui bentuknya di dalam relief beberapa candi di Jawa Timur, yaitu aren, pinang, kelapa, pisang, pandan, asoka, glodokan, mangga, nangka, durian, tanjung, beringin, randu, sukun, kamboja, teratai, bakung, padi, keladi, puring, pinus. Selain itu, ada 197 jenis tanaman yang tak teridentifikasi jenisnya.
Kini,
apakah ada perubahan orientasi orang Jawa terhadap lingkungan, termasuk
tumbuhan?
Atas
nama pembangunan, ekonomi-bisnis, tambang, dan industri, izin alih fungsi
pertanian sering mudah lolos. Dampak kerusakan ekologis, sosial, dan kultural
kurang diperhatikan.
Tindak
macam itu bukan tanpa pendukung. Ambil contoh soal pembangunan pabrik semen
itu. Diberitakan oleh Viva.co.id, pada
16 Maret 2017, sejumlah orang yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Rembang
Bangkit (APRB) melaporkan aksi menyemen kaki petani Kendeng kepada Unit PPA
Bareskrim Polri. Mereka menuduh ada eksploitasi perempuan dalam aksi itu.
Aksi menolak pabrik semen juga dinilai dipengaruhi oleh LSM yang punya kepentingan tertentu. Pejabat berkomentar sinis. Anggota Komisi VI DPR-RI Azam Azman Natawijana, misalnya. Katanya, “Biarkan saja mereka mau cor kaki pakai semen, cor kepala, cor hidung sekalian itu tak perlu ditanggapi.”
Aksi menolak pabrik semen juga dinilai dipengaruhi oleh LSM yang punya kepentingan tertentu. Pejabat berkomentar sinis. Anggota Komisi VI DPR-RI Azam Azman Natawijana, misalnya. Katanya, “Biarkan saja mereka mau cor kaki pakai semen, cor kepala, cor hidung sekalian itu tak perlu ditanggapi.”
Sulit
memang berbicara dengan orang yang tumbuh dalam kultur yang menegasikan impian,
membenci harapan, dan miskin imajinasi. Rakyat yang sejatinya menjaga akal
sehat justru seakan membelakangi realitas dan anti kemajuan. Dalam aras ini, lagi-lagi
rakyat kalah. Kira-kira begitu.●fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar