Selasa, 30 April 2019

Suta Naya (Masih) Dhadhap Waru?




Data Buku
Judul: Suta Naya Dhadhap Waru:
Manusia Jawa dan Tumbuhan
Penulis: Imam Budhi Santosa
Penerbit: Interlude, Yogyakarta
Cetakan: I, 2017
Ukuran: 14 × 21 cm
Tebal: xxx + 478 hlm.
ISBN: 978-602-6250-42-1



HARI TANI NASIONAL, tujuh belas petani Kendeng melakukan aksi di seberang istana negara. Mereka berkeras menolak pembangunan pabrik semen di wilayah mereka. Diberitakan oleh Tirto.id, Gun Retno, perwakilan para petani itu, menyampaikan, “Kami sedulur kalau menang tidak minta tanah, gunung, atau sertifikat. Kami ingin agar lingkungan ini sehat. Angin tetap sejuk, udara bersih, dan sawah bisa ditanami.”

Aksi pada 24 September 2018 itu bukan yang pertama. Sebelumnya, 12 April 2016 dan 13 Maret 2017 misalnya, mereka juga melakukan aksi. Menyemen kaki. Kompas.com mencatat, pada 2017, hari kelima aksi, petani yang ikut menyemen kaki mencapai 50 orang. Mereka meyakini bahwa aksi tersebut merupakan kewajiban petani untuk terus menjaga keseimbangan alam.

Soal Kendeng itu terlintas saat saya membaca buku Iman Budhi Santosa, Suta Naya Dhadhap Waru. Ia menulis, “Sebagai masyarakat agraris sesungguhnya mayoritas orang Jawa memiliki keperdulian (sic!) tinggi terhadap alam lingkungan.” (Hlm. 14)

Iman sampai pada simpulan itu setelah mencermati ribuan nama tumbuhan hasil penelitian K. Heyne dalam buku bertajuk Tumbuhan Berguna Indonesia I-IV. Ia mencocokkannya dengan nama-nama desa dan kelurahan di Jawa.

Jawa yang ia maksud bukan Pulau Jawa. Ia hanya mengkhususkan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Pulau Madura adalah kekecualian meski ia masuk dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Timur.

Saya kira, tak dapat pula serta-merta kita simpulkan bahwa Jawa yang ia maksud adalah budaya Jawa. Sebab, tak semua wilayah amatannya berlatar budaya Jawa. Di Jawa Timur misalnya, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang dan Jember tak dapat secara gegabah kita sebut berlatar budaya Jawa.

Pada masa kolonial, wilayah itu—ditambah dengan Blambangan—disebut Java Oosthoek. Beberapa akademisi, di antaranya Ayu Sutarto, “menyebut” wilayah itu sebagai Pandalungan. Ada pula yang menyebutnya sebagai wilayah Tapal Kuda.

Pada Abad XIX, ada gelombang migrasi orang-orang Madura (dan etnis lain) ke wilayah-wilayah itu ketika Belanda membuka perusahaan perkebunan partikelir (onderneming). Komposisi penduduk berubah. Di Jember misalnya, pada 1870-an, jumlah orang Madura hampir dua kali lipat jumlah orang Jawa.

Dalam setiap migrasi, lumrah orang mempertahankan kesadaran dan solidaritas etno-komunal asalnya. Demikian pula orang-orang Madura masa itu. Jejaknya masih ada. Tak sedikit desa di wilayah itu dihuni oleh orang-orang berbahasa Madura.

Mungkin Iman mengasumsikan orang-orang Madura yang bermigrasi ke Jawa melakukan semacam hibriditas budaya. Boleh jadi, itu strategi agar sintas di tengah keberbedaan. Yang pasti, bahasa termasuk salah satu unsur yang mengalami proses kultural itu. Pilihan nama desa pun terdampak.

Bagi orang Jawa, nama tak dipilih secara manasuka. Juga nama desa. Ia, seperti kata Danesi dan Perron, memiliki kaitan erat dengan identitas. Ia juga memiliki sifat indeksikal, simbolis, dan kadang-kadang ikonis. Dengan demikian penamaan desa adalah cerminan bahasa, sejarah, nilai budaya, dan pikiran masyarakat yang bersangkutan.

Iman setuju dengan hal itu. “Pemberian nama desa di Jawa menggunakan nama tumbuhan jelas merupakan pilihan, bukan kebetulan,” katanya. Orang Jawa memuliakan tumbuhan. Ia mencontohkan, adanya tradisi menanam sebuah pohon sebagai penanda kelahiran anak. (hlm. 39-40)

Purnomo dalam Tanaman Kultural dalam Perspektif Adat Jawa menulis hal senada. Selain untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti bahan makanan, obat, kosmetik, dan bangunan, tanaman bagi orang Jawa juga digunakan untuk sarana religius. Tanaman menjadi simbol pandangan, cita-cita, harapan, doa, dan sebagainya.

Orang Jawa berpandangan bahwa orang harus memayu hayuning bawana. Boleh kita maknai: turut menjaga kelestarian alam!

Dalam Suta Naya Dhadhap Waru, Iman mencatat, sekurang-kurangnya 324 nama tumbuhan dalam bahasa Jawa digunakan untuk nama desa. Ada 3.395 desa atau kelurahan di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. (Hlm. 458)

Banyak juga. Padahal, beberapa nama desa terlewatkan. Misalnya, Desa Gayam di Gurah, Kediri. Ia tak tercatat dalam kelompok pohon gayam (Inocarpus fegiferus). (hlm. 135-136) Sebetulnya, nama itu juga digunakan di Madura. Desa Gayam, Kecamatan Gayam, Kabupaten Sumenep.

Jika penelusuran nama wilayah diperkecil sampai nama dusun atau kampung, tentu jumlahnya akan lebih banyak lagi. Di Desa Gayam, Gurah, Kediri saja, ada dusun bernama Gayam Barat dan Gayam Timur.

Masih tentang gayam. Buah gayam dapat diolah menjadi keripik gayam. Di Sumenep, keripik itu termasuk pangan khas dan terkenal. Setara dengan kripik gayam dari Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban. Namun, di Tuban tak ada yang tertarik mengabadikan gayam sebagai nama desa.

Gayam adalah tanaman masa lampau. Ia tercatat dalam Serat Centhini (Suluk Tembangraras). Serat itu ditulis tim yang dipimpin oleh Adipati Anom Amangkunegara III (kemudian menjadi Pakubuwana V) pada 1814-1823.

Melalui Serat Centhini itu, orang masa kini dapat mengenali banyak jenis tumbuhan lain yang hidup pada masa lalu. Tak semuanya ada dalam Suta Naya Dhadhap Waru. Contohnya, trawas (Litsea ordorifera). Di tempat lain, ia disebut sebagai brawas. Ia dijadikan sebagai nama kecamatan di Kabupaten Mojokerto.

Selain melalui sastra klasik, jenis tumbuhan dan pemuliaannya pada masa lampau dapat ditelusuri dalam relief candi. Seperti yang diteliti dan ditulis Regina Yofani dalam skripsinya di FIB, UI, pada 2010, Beragaman Tanaman pada Relief di Jawa Timur Abad 14 Masehi (Kajian Bentuk dan Pemanfaatan).

Menurut Yofani, ada 21 jenis tanaman yang telah diketahui bentuknya di dalam relief beberapa candi di Jawa Timur, yaitu aren, pinang, kelapa, pisang, pandan, asoka, glodokan, mangga, nangka, durian, tanjung, beringin, randu, sukun, kamboja, teratai, bakung, padi, keladi, puring, pinus. Selain itu, ada 197 jenis tanaman yang tak teridentifikasi jenisnya.

Kini, apakah ada perubahan orientasi orang Jawa terhadap lingkungan, termasuk tumbuhan?

Atas nama pembangunan, ekonomi-bisnis, tambang, dan industri, izin alih fungsi pertanian sering mudah lolos. Dampak kerusakan ekologis, sosial, dan kultural kurang diperhatikan.

Tindak macam itu bukan tanpa pendukung. Ambil contoh soal pembangunan pabrik semen itu. Diberitakan oleh Viva.co.id, pada 16 Maret 2017, sejumlah orang yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Rembang Bangkit (APRB) melaporkan aksi menyemen kaki petani Kendeng kepada Unit PPA Bareskrim Polri. Mereka menuduh ada eksploitasi perempuan dalam aksi itu.

Aksi menolak pabrik semen juga dinilai dipengaruhi oleh LSM yang punya kepentingan tertentu. Pejabat berkomentar sinis. Anggota Komisi VI DPR-RI Azam Azman Natawijana, misalnya. Katanya, “Biarkan saja mereka mau cor kaki pakai semen, cor kepala, cor hidung sekalian itu tak perlu ditanggapi.”

Sulit memang berbicara dengan orang yang tumbuh dalam kultur yang menegasikan impian, membenci harapan, dan miskin imajinasi. Rakyat yang sejatinya menjaga akal sehat justru seakan membelakangi realitas dan anti kemajuan. Dalam aras ini, lagi-lagi rakyat kalah. Kira-kira begitu.●fgs



Tidak ada komentar:

Posting Komentar