Data Buku
Judul:
Berumah di Buku
Penulis:
Bandung Mawardi
Penerbit:
BasaBasi, Yogyakarta
Cetakan:
I, November 2018
Ukuran:
14 × 20 cm
Tebal:
136 hlm.
ISBN:
978-602-5783-45-6
/1/
BUKU
bersampul hijau. Mudah diingat. Di pojok kiri tergambar tumpukan 11 buku
bersampul sama, kombinasi hijau-biru. Buku dimahkotai cangkir hijau berisi,
saya kira, kopi nasgithêl. Panas, lêgi, lan kênthêl. Panas, manis,
dan kental. Sajian kopi selera masa lalu. Nikmat tiada duanya. Puncak
kenikmatan membaca buku, mungkin sama dengannya. Puncak kenikmatan bercinta,
boleh berbeda.
Seperti
Bandung Mawardi. Penulis Berumah di Buku
ini mengaku bahwa nikmat bergelut dengan buku membuatnya “tak memihak ke memuja
perempuan” ketika SMA. (Hlm. 3) Tak seperti Galih dan Ratna dalam Gita Cinta dari SMA atau Rangga dan
Cinta dalam Ada Apa dengan Cinta?. Mereka
seturut jiwa muda. Bandung memilih selainnya.
/2/
Yang
muda boleh jadi yang bergaya. Kemudaan memungkinkan laras dengan kecepatan perubahan
gaya. Sayang, kecepatan hampir selalu tak akur dengan kedalaman. Padahal, dalam
membuat orang jadi anteng.
Anteng
itu tenang. Sebab, matang. Bukan sekadar meneng,
diam. Anteng adalah ekspresi batiniah, sedangkan meneng adalah ekspresi badaniah. Orang sulit meneng raganya jika belum anteng jiwanya.
Bandung juga menulis tentang itu dalam Diam dan “Zaman Ramai”. (Hlm. 17-21) Pokoknya, ia membahas buku Serat Sinaoe Meneng karangan R.M. Soerjo-Winarso. Buku yang mengajarkan diam sebagai sikap hidup.
Bandung juga menulis tentang itu dalam Diam dan “Zaman Ramai”. (Hlm. 17-21) Pokoknya, ia membahas buku Serat Sinaoe Meneng karangan R.M. Soerjo-Winarso. Buku yang mengajarkan diam sebagai sikap hidup.
Saya
tak tahu alasan Bandung gandrung dan mengaku ingin berumah di buku. Ada ribuan
buku ia telah kumpulkan lama dan khatamkan. Bukan buku biasa. Koleksi istimewa.
Buku lawasan.
Rumah
yang Bandung maksud dalam bahasa Jawa disebut omah. Ia merangkum, dan bahkan mengatasi, makna home dan house dalam bahasa Inggris. Ia juga tempat mengawali sekaligus
kembali. Banyak orang membikin masalah di luar karena tak selesai di dalam rumah.
Bayangkan jika rumah itu adalah buku.
Bandung
juga menganggap buku sebagai persona. Ia menceritakan perjumpaan dan
percintaannya dengan buku-buku secara intim dan bersahaja.
Tak
semua buku berjodoh dengannya dengan segera. Seperti kisahnya dalam Gandrung Tak Terbendung. Cinta biasa
berawal dari pandangan. “Aku pernah berulang melihat buku berjudul Daftar Buku Indonesia (1955),” katanya. Lebih
lanjut, ia kisahkan tubuh buku itu. Sampulnya, warna tulisan judulnya,
tebal-tipisnya, semuanya. Saya tergoda membayangkannya.
/3/
Bandung
memang pandai mengajak pembacanya untuk ikut merasai—paling tidak membayangkan—pengalaman
dan kegairahannya berburu dan membaca buku. Tak melulu lewat tulisan. Kadang, ia
rela mengajak buku berjalan-jalan dan mengenalkannya kepada puluhan orang.
Dalam
Bahasa (Tak) Merangsang, misalnya.
(Hlm. 33-38) Ia kisahkan, “Aku malahan pernah mengajak buku itu bepergian ke
Pare, Kediri, Jawa Timur.” Kitab Kursus
Besar akan Beladjar Bahasa Inggris karangan Toean TH A Du Mosch dan Toean S
Weijl Jr, maksudnya. Buku itu terbit pada 1932. Ia membolehkan orang-orang
memandang, memegang, memeluk, dan mencium buku itu. Memanjakan indra.
Saya kira, itu yang membedakan Berumah di Buku ini dengan buku-buku lain yang bercerita tentang buku. Dari Buku ke Buku karangan P. Swantoro, misalnya. Oh, ada lagi bedanya, gambar!
Saya kira, itu yang membedakan Berumah di Buku ini dengan buku-buku lain yang bercerita tentang buku. Dari Buku ke Buku karangan P. Swantoro, misalnya. Oh, ada lagi bedanya, gambar!
Tulisan-tulisan
dalam buku ini bersumber dari tulisan Bandung di bandungmawardi.wordpress.com. Hampir semua tulisan itu dilengkapi
pindaian sampul buku lawas, iklan koran atau majalah, dan sebagainya. Tulisan
Bandung teranyar di kolom Memorabilia
dan Tokoh di BasaBasi.co pun demikian. Saya kadung bermimpi bukunya ini seperti
tulisan-tulisannya itu. Ada pindaian sampul buku yang ia ceritakan. Gambar
dapat menerbitkan gairah. Sayang, impian saya pupus. Mungkin, Bandung berharap
pembaca lebih imajinatif. Ia cukupkan bahannya dari kata-kata.
/4/
Kecuali
karangan Margono Djojohadikusumo, Catatan
dari Lembaran Kertas yang Kumal, yang terbit pada 1975 dan buku referensi
terpilih sesuai bahasan, semua buku yang Bandung ceritakan adalah buku yang
terbit sebelum 1965. Paling banyak adalah buku terbitan 1950-an. Tanpa
memperhitungkan buku tak berangka tahun, kamus Javaansch-Nederlandsch Handwoordenboek susunan J.F.C Gericke dan T.
Roorda-lah yang tertua. Ia terbit pada 1901.
Enam
puluhan judul buku ia ceritakan dalam 23 tulisan. Pelbagai tema. Dari soal
bahasa, surat-menyurat, pendidikan, pekarangan, hingga politik. Semuanya enak
dan perlu dibaca.
Saya mengangguk-angguk saat Bandung menyindir kelakuan orang-orang zaman kiwari dalam tulisannya. Saya senang dan ingin berkeplok ketika Bandung mengejek orang-orang politik. Dalam Melawat Berkalimat, misalnya. Bandung menulis, “Aku justru mengharapkan buku-buku sejenis Melawat ke Barat dan Melawat ke Amerika digarap oleh kaum parlemen saat pelesiran.” Lewat tulisan, Bandung mengharap hasil kerja mereka dibuktikan. Bukan ocehan. (Hlm. 28)
Saya mengangguk-angguk saat Bandung menyindir kelakuan orang-orang zaman kiwari dalam tulisannya. Saya senang dan ingin berkeplok ketika Bandung mengejek orang-orang politik. Dalam Melawat Berkalimat, misalnya. Bandung menulis, “Aku justru mengharapkan buku-buku sejenis Melawat ke Barat dan Melawat ke Amerika digarap oleh kaum parlemen saat pelesiran.” Lewat tulisan, Bandung mengharap hasil kerja mereka dibuktikan. Bukan ocehan. (Hlm. 28)
Dalam
tulisan lainnya, Nostalgia Desa,
Bandung mengkritik pembuat Undang-Undang Desa yang acap mengabaikan usulan dan
kritikan orang desa. Bandung menduga bahwa mereka tak punya atau tak pernah
baca buku Desa karangan Soetardjo
Kartohadikoesoemo.
/5/
Melalui
sekumpulan tulisan Bandung ini orang menjadi tahu bahwa buku lawas memungkinkan
orang melacak dan mempelajari kelampauan. Belajar dari kelampauan, orang dapat menginsyafi
kekinian dan mengkonstruksi keakanan.
Orang
juga maklum bahwa buku baru tetap perlu. Ia memungkinkan orang beroleh terang
atas informasi belum genap pada masa lalu. Buku lawas dan buku baru saling
melengkapi tanpa perlu beradu.
Pada
akhirnya, Bandung seperti mengajak orang kembali ke buku sebagai sumber
rujukan. Orang berbuku membentuk masyarakat berpengetahuan. Mestinya, itu perlu
dirayakan. Bukan dirazia serampangan. (Kira-kira) begitu.●fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar