Senin, 11 Maret 2019

Buku adalah Koentji! [Resensi “Berumah di Buku” – Bandung Mawardi]




Data Buku
Judul: Berumah di Buku
Penulis: Bandung Mawardi
Penerbit: BasaBasi, Yogyakarta
Cetakan: I, November 2018
Ukuran: 14 × 20 cm
Tebal: 136 hlm.
ISBN: 978-602-5783-45-6



/1/
BUKU bersampul hijau. Mudah diingat. Di pojok kiri tergambar tumpukan 11 buku bersampul sama, kombinasi hijau-biru. Buku dimahkotai cangkir hijau berisi, saya kira, kopi nasgithêl. Panas, lêgi, lan kênthêl. Panas, manis, dan kental. Sajian kopi selera masa lalu. Nikmat tiada duanya. Puncak kenikmatan membaca buku, mungkin sama dengannya. Puncak kenikmatan bercinta, boleh berbeda.

Seperti Bandung Mawardi. Penulis Berumah di Buku ini mengaku bahwa nikmat bergelut dengan buku membuatnya “tak memihak ke memuja perempuan” ketika SMA. (Hlm. 3) Tak seperti Galih dan Ratna dalam Gita Cinta dari SMA atau Rangga dan Cinta dalam Ada Apa dengan Cinta?. Mereka seturut jiwa muda. Bandung memilih selainnya.


/2/
Yang muda boleh jadi yang bergaya. Kemudaan memungkinkan laras dengan kecepatan perubahan gaya. Sayang, kecepatan hampir selalu tak akur dengan kedalaman. Padahal, dalam membuat orang jadi anteng.

Anteng itu tenang. Sebab, matang. Bukan sekadar meneng, diam. Anteng adalah ekspresi batiniah, sedangkan meneng adalah ekspresi badaniah. Orang sulit meneng raganya jika belum anteng jiwanya.

Bandung juga menulis tentang itu dalam Diam dan “Zaman Ramai”. (Hlm. 17-21) Pokoknya, ia membahas buku Serat Sinaoe Meneng karangan R.M. Soerjo-Winarso. Buku yang mengajarkan diam sebagai sikap hidup.

Saya tak tahu alasan Bandung gandrung dan mengaku ingin berumah di buku. Ada ribuan buku ia telah kumpulkan lama dan khatamkan. Bukan buku biasa. Koleksi istimewa. Buku lawasan.

Rumah yang Bandung maksud dalam bahasa Jawa disebut omah. Ia merangkum, dan bahkan mengatasi, makna home dan house dalam bahasa Inggris. Ia juga tempat mengawali sekaligus kembali. Banyak orang membikin masalah di luar karena tak selesai di dalam rumah. Bayangkan jika rumah itu adalah buku.

Bandung juga menganggap buku sebagai persona. Ia menceritakan perjumpaan dan percintaannya dengan buku-buku secara intim dan bersahaja.

Tak semua buku berjodoh dengannya dengan segera. Seperti kisahnya dalam Gandrung Tak Terbendung. Cinta biasa berawal dari pandangan. “Aku pernah berulang melihat buku berjudul Daftar Buku Indonesia (1955),” katanya. Lebih lanjut, ia kisahkan tubuh buku itu. Sampulnya, warna tulisan judulnya, tebal-tipisnya, semuanya. Saya tergoda membayangkannya.


/3/
Bandung memang pandai mengajak pembacanya untuk ikut merasai—paling tidak membayangkan—pengalaman dan kegairahannya berburu dan membaca buku. Tak melulu lewat tulisan. Kadang, ia rela mengajak buku berjalan-jalan dan mengenalkannya kepada puluhan orang.

Dalam Bahasa (Tak) Merangsang, misalnya. (Hlm. 33-38) Ia kisahkan, “Aku malahan pernah mengajak buku itu bepergian ke Pare, Kediri, Jawa Timur.” Kitab Kursus Besar akan Beladjar Bahasa Inggris karangan Toean TH A Du Mosch dan Toean S Weijl Jr, maksudnya. Buku itu terbit pada 1932. Ia membolehkan orang-orang memandang, memegang, memeluk, dan mencium buku itu. Memanjakan indra.

Saya kira, itu yang membedakan Berumah di Buku ini dengan buku-buku lain yang bercerita tentang buku. Dari Buku ke Buku karangan P. Swantoro, misalnya. Oh, ada lagi bedanya, gambar!

Tulisan-tulisan dalam buku ini bersumber dari tulisan Bandung di bandungmawardi.wordpress.com. Hampir semua tulisan itu dilengkapi pindaian sampul buku lawas, iklan koran atau majalah, dan sebagainya. Tulisan Bandung teranyar di kolom Memorabilia dan Tokoh di BasaBasi.co pun demikian. Saya kadung bermimpi bukunya ini seperti tulisan-tulisannya itu. Ada pindaian sampul buku yang ia ceritakan. Gambar dapat menerbitkan gairah. Sayang, impian saya pupus. Mungkin, Bandung berharap pembaca lebih imajinatif. Ia cukupkan bahannya dari kata-kata.


/4/
Kecuali karangan Margono Djojohadikusumo, Catatan dari Lembaran Kertas yang Kumal, yang terbit pada 1975 dan buku referensi terpilih sesuai bahasan, semua buku yang Bandung ceritakan adalah buku yang terbit sebelum 1965. Paling banyak adalah buku terbitan 1950-an. Tanpa memperhitungkan buku tak berangka tahun, kamus Javaansch-Nederlandsch Handwoordenboek susunan J.F.C Gericke dan T. Roorda-lah yang tertua. Ia terbit pada 1901.

Enam puluhan judul buku ia ceritakan dalam 23 tulisan. Pelbagai tema. Dari soal bahasa, surat-menyurat, pendidikan, pekarangan, hingga politik. Semuanya enak dan perlu dibaca.

Saya mengangguk-angguk saat Bandung menyindir kelakuan orang-orang zaman kiwari dalam tulisannya. Saya senang dan ingin berkeplok ketika Bandung mengejek orang-orang politik. Dalam Melawat Berkalimat, misalnya. Bandung menulis, “Aku justru mengharapkan buku-buku sejenis Melawat ke Barat dan Melawat ke Amerika digarap oleh kaum parlemen saat pelesiran.” Lewat tulisan, Bandung mengharap hasil kerja mereka dibuktikan. Bukan ocehan. (Hlm. 28)

Dalam tulisan lainnya, Nostalgia Desa, Bandung mengkritik pembuat Undang-Undang Desa yang acap mengabaikan usulan dan kritikan orang desa. Bandung menduga bahwa mereka tak punya atau tak pernah baca buku Desa karangan Soetardjo Kartohadikoesoemo.


/5/
Melalui sekumpulan tulisan Bandung ini orang menjadi tahu bahwa buku lawas memungkinkan orang melacak dan mempelajari kelampauan. Belajar dari kelampauan, orang dapat menginsyafi kekinian dan mengkonstruksi keakanan.

Orang juga maklum bahwa buku baru tetap perlu. Ia memungkinkan orang beroleh terang atas informasi belum genap pada masa lalu. Buku lawas dan buku baru saling melengkapi tanpa perlu beradu.

Pada akhirnya, Bandung seperti mengajak orang kembali ke buku sebagai sumber rujukan. Orang berbuku membentuk masyarakat berpengetahuan. Mestinya, itu perlu dirayakan. Bukan dirazia serampangan. (Kira-kira) begitu.●fgs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar