Data Buku
Judul:
Perdagangan Lada Abad XVII: Perebutan
“Emas” Putih dan
Hitam di Nusantara
Penulis:
P. Swantoro
Penerbit:
KPG, Jakarta
Cetakan:
I, Januari 2019
Ukuran:
13 × 19 cm
Tebal:
x + 107 hlm.
ISBN:
978-602-481-084-9
“LADA
bukanlah buah dari pohon yang berbatang teguh dan kuat, melainkan dari tanaman
merambat yang batangnya benjol-benjol.” (hlm. 7) Demikian P. Swantoro memulai
kisahnya.
Saya
mengenal lada (Piper Albi Linn) dengan
sebutan merica. Di tempat lain, ada yang menyebutnya sahang.
Saat
saya masih sekolah dasar, guru saya bercerita bahwa lada adalah salah satu
rempah yang ingin dikuasai oleh Portugis di Maluku. Seketika, saya membayangkan
pohon tinggi besar yang hanya ada di Maluku.
Pohon
besar? Ya, bagaimana lagi, guru saya tak menjelaskan tumbuhan itu secara detail.
Kira-kira
setahun berikutnya, saya baru tahu tumbuhan itu seperti yang digambarkan oleh
Swantoro. Lengkap dengan fakta bahwa tanaman itu tak hanya tumbuh di
wilayah timur nusantara.
Generasi
era kiwari beruntung. Mereka dapat mengakses informasi secara berlimpah dan
seketika melalui internet. Tak butuh waktu sewarsa seperti saya. Mereka dapat
mengakses berita, Ekspedisi Jalur Rempah Kompas misalnya, dan menyadari bahwa
pada zaman dulu Lampung adalah penghasil lada yang menjadi salah satu pemasok bagi Kesultanan Banten yang menggunakannya sebagai media diplomasi.
Mereka dapat mengakses jurnal dan membaca kajian sejarah perdagangan lada di Lampung dalam tiga masa (1653-1930) (pdf).
Dengan
beragam informasi itu, guru-guru, terutama di Lampung, mestinya dapat mengajarkan
sikap kritis kepada siswa. Misalnya, mengajak mereka berdiskusi dengan
pertanyaan pembuka tentang pengurangan area tanam lada beberapa tahun terakhir.
Diskusi dapat ditutup dengan alternatif strategi mereka atas kondisi tersebut.
Dengan cara begitu, pelajaran sejarah menjadi lebih menarik dan tak lepas dari
konteks lokal.
Swantoro,
dalam buku yang lebih cocok disebut sebagai pengantar memahami sejarah
perdagangan lada ini, menunjukkan bahwa lada memang menempati kedudukan penting
dalam dunia perdagangan abad ke-17. Nilai komoditas ini paling tinggi
dibandingkan dengan komoditas pertanian dan perkebunan lainnya. Nilainya setara
dengan emas.
Tempat
terbaik lada tumbuh bukan di Maluku atau Banda seperti yang saya kira mula-mula,
melainkan di bagian barat nusantara. Itu bukan kebetulan. Dalam bab pertama,
Swantoro menjelaskan sebabnya.
Maka,
meski buku ini bertajuk Perdagangan Lada
Abad XVII: Perebutan “Emas” Putih dan Hitam di Nusantara, Swantoro hampir
tak menyinggung keberadaan lada di bagian timur nusantara. Ia lebih fokus
membahas perdagangan lada di Banten, Aceh, dan Sumatra. Kira-kira begitu.●fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar