Selasa, 05 Maret 2019

Lada, Lada, Lada! [Resensi “Perdagangan Lada Abad XVII” – P. Swantoro]



Data Buku
Judul: Perdagangan Lada Abad XVII: Perebutan
“Emas” Putih dan Hitam di Nusantara
Penulis: P. Swantoro
Penerbit: KPG, Jakarta
Cetakan: I, Januari 2019
Ukuran: 13 × 19 cm
Tebal: x + 107 hlm.
ISBN: 978-602-481-084-9



LADA bukanlah buah dari pohon yang berbatang teguh dan kuat, melainkan dari tanaman merambat yang batangnya benjol-benjol.” (hlm. 7) Demikian P. Swantoro memulai kisahnya.

Saya mengenal lada (Piper Albi Linn) dengan sebutan merica. Di tempat lain, ada yang menyebutnya sahang.

Saat saya masih sekolah dasar, guru saya bercerita bahwa lada adalah salah satu rempah yang ingin dikuasai oleh Portugis di Maluku. Seketika, saya membayangkan pohon tinggi besar yang hanya ada di Maluku.

Pohon besar? Ya, bagaimana lagi, guru saya tak menjelaskan tumbuhan itu secara detail.

Kira-kira setahun berikutnya, saya baru tahu tumbuhan itu seperti yang digambarkan oleh Swantoro. Lengkap dengan fakta bahwa tanaman itu tak hanya tumbuh di wilayah timur nusantara.

Generasi era kiwari beruntung. Mereka dapat mengakses informasi secara berlimpah dan seketika melalui internet. Tak butuh waktu sewarsa seperti saya. Mereka dapat mengakses berita, Ekspedisi Jalur Rempah Kompas misalnya, dan menyadari bahwa pada zaman dulu Lampung adalah penghasil lada yang menjadi salah satu pemasok bagi Kesultanan Banten yang menggunakannya sebagai media diplomasi. Mereka dapat mengakses jurnal dan membaca kajian sejarah perdagangan lada di Lampung dalam tiga masa (1653-1930) (pdf).

Dengan beragam informasi itu, guru-guru, terutama di Lampung, mestinya dapat mengajarkan sikap kritis kepada siswa. Misalnya, mengajak mereka berdiskusi dengan pertanyaan pembuka tentang pengurangan area tanam lada beberapa tahun terakhir. Diskusi dapat ditutup dengan alternatif strategi mereka atas kondisi tersebut. Dengan cara begitu, pelajaran sejarah menjadi lebih menarik dan tak lepas dari konteks lokal.

Swantoro, dalam buku yang lebih cocok disebut sebagai pengantar memahami sejarah perdagangan lada ini, menunjukkan bahwa lada memang menempati kedudukan penting dalam dunia perdagangan abad ke-17. Nilai komoditas ini paling tinggi dibandingkan dengan komoditas pertanian dan perkebunan lainnya. Nilainya setara dengan emas.

Tempat terbaik lada tumbuh bukan di Maluku atau Banda seperti yang saya kira mula-mula, melainkan di bagian barat nusantara. Itu bukan kebetulan. Dalam bab pertama, Swantoro menjelaskan sebabnya.

Maka, meski buku ini bertajuk Perdagangan Lada Abad XVII: Perebutan “Emas” Putih dan Hitam di Nusantara, Swantoro hampir tak menyinggung keberadaan lada di bagian timur nusantara. Ia lebih fokus membahas perdagangan lada di Banten, Aceh, dan Sumatra. Kira-kira begitu.●fgs



Tidak ada komentar:

Posting Komentar