Senin, 19 November 2018

Menyemai Kesadaran Ekologis [Resensi “Lingkungan Hidup dan Kapitalisme” – Fred Magdoff]






Data Buku
Judul: Lingkungan Hidup dan Kapitalisme: Sebuah Pengantar
Penulis: Fred Magdoff dan John Bellamy Foster
Penerjemah: Pius Ginting
Penerbit: Marjin Kiri, Tangerang Selatan
Cetakan: I, Agustus 2018
Ukuran: 14 × 20,3 cm
Tebal: xiv + 188 hlm.
ISBN: 978-979-1260-80-0



AKHIR Agustus 2018 lalu, tujuh tahun setelah buku ini terbit pertama kali di Amerika Serikat dengan judul What Every Environmentalist Needs to Know About Capitalism: A Citizen’s Guide to Capitalism and the Environment, sebuah kelompok peneliti independen dari Finlandia menyusun Rancangan Laporan Pembangunan Berkelanjutan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam laporan yang akan dirilis pada awal 2019 itu, kelompok peneliti itu menyimpulkan bahwa praktik kapitalisme modern mesti diakhiri demi menghentikan risiko perubahan iklim yang lebih ekstrem.

Kerusakan lingkungan dalam skala planet memang mengkhawatirkan. Dalam bab pertama buku ini, Krisis Ekologi Skala Planet, Fred Magdof dan John Bellamy Foster merinci tanda dan buktinya. Di antaranya, pemanasan global, perubahan iklim, dan krisis air.

Air adalah kebutuhan primer makhluk hidup, termasuk manusia. Sementara, tanpa disadari, siklus hidrogeologis secara keseluruhan sedang terancam. Penyebabnya, seperti kata Maude Barlow dalam Blue Covenant, “polusi, perubahan iklim, dan pertambahan jumlah penduduk yang sangat besar”.

Sebagai gambaran, penggunaan air tawar pada masa praindustri adalah 415 km3. Ambang batas yang diusulkan oleh para ilmuwan adalah 4.000 km3. Sedangkan, status kondisi saat ini adalah 2.600 km3. Nyaris mencapai ambang batas. Padahal, pencapaian ambang batas berarti ambruknya ekosistem. (hlm. 17)

Itu baru soal penggunaan air. Fakta bahwa air terpapar aneka bahan kimia dari limbah industri adalah hal buruk yang lain lagi.

Dalam aras ini, ancaman kehancuran, bukan saja Indonesia tetapi juga dunia, sejatinya bukan omong kosong. Tentu saja bila beberapa prasyarat terpenuhi. Misalnya, pengetahuan atas kondisi bumi dan sistem ekonomi tak membuat penduduknya insaf dan mengubah cara dan gaya hidupnya.

Jerat Kapitalisme
Secara umum, yang membuat dan mempercepat kehancuran itu adalah pertumbuhan penduduk bumi, teknologi yang sanggup menciptakan kerusakan lebih besar dan cepat, dan sistem ekonomi yang tak kenal batas. (hlm. 6) Menurut penulis, sistem ekonomi kapitalislah maksudnya.

Dalam bab 4 dan bab 5, penulis merinci seluk-beluk sistem ekonomi itu. Di antaranya, cara beroperasi yang halus dan tersembunyi—melalui iklan berbasis perilaku (behavioral placement) misalnya—hingga seseorang tak menyadarinya, seperti ikan tak menyadari air tempat mereka berenang. Etos, pandangan, dan nilai-nilai internal kapitalismelah yang diserap dan dibiasakan seiring pengalaman bertumbuh bersamanya. Tanpa disadari, seseorang belajar bahwa kerakusan, eksploitasi atas buruh, dan kompetisi bukan hanya bisa dimaklumi, melainkan baik bagi masyarakat karena turut membuat perekonomian berfungsi secara sangkil dan mangkus. (hlm. 37-38)

Pemerintah biasanya tak dapat berbuat banyak. Di bawah sistem kapitalisme, kekayaan rakyat sering tak terlindungi dan dirampok untuk perolehan pribadi, alih-alih dikelola secara bijak dan berkelanjutan sebagai warisan bersama.

Dalam konteks Indonesia, banyak kejadian membuktikan bahwa hal itu benar-benar terjadi. Misalnya, pada 2015, saat terjadi kebakaran hutan parah di Sumatra dan Kalimantan, petugas negara dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengalami penghadangan saat melakukan pemeriksaan lapang. Hal yang sama dialami pula oleh Kepala Badan Restorasi Gambut yang berusaha memeriksa pembukaan kawasan hutan oleh perusahaan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). (Hlm. viii)

Orang-orang di lingkar pemerintahan acap menjalin relasi dan bersama-sama dengan pemilik kapital dalam merugikan negara. Pada masa Orde Baru katakanlah, April 1967, Soeharto menandatangani kontrak karya dengan PT Freeport selama 30 tahun. Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang masuk ke Indonesia. Persekongkolan lain Soeharto dengan para pemodal pernah diungkapkan oleh Joe Studwell dalam Asian Godfathers: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa. Selaras dengan Studwell, Richard Robison dalam Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia juga menunjukkan bahwa negara dalam masa pemerintahan Soeharto merupakan katalisator berkembangnya kapitalisme di Indonesia.

Solusi Utopis?
Sebagai sebuah pengantar, buku ini cukup komprehensif dan relevan dengan problem kekinian. Di bab terakhir, Bab VI, penulis juga menyampaikan prasaran tentang solusi krisis ekologis. Dari 22 solusi itu, kecuali yang etis-praktis, hampir semua berbasis ide gerakan sosial-politik. Sayangnya, penulis belum menerjemahkan ide itu dalam tataran praksis, sehingga beberapa di antaranya terkesan utopis dan sebatas jargon belaka.

Sekilas, satu-dua ide bahkan terkesan bertentangan. Di antaranya, teknologi yang memungkinkan penghematan bahan bakar kendaraan. Awalnya, Magdof dan Foster mengklaim bahwa penghematan bahan bakar yang tak diiringi dengan perubahan pola konsumsi hanyalah kesia-siaan. Namun, belakangan mereka berpendapat lain.

Penulis juga belum memperhitungkan kerja-kerja budaya, melalui pendidikan misalnya, sebagai sebuah gerakan alternatif. Padahal, penyadaran berperspektif ontologis tentang alam sangat mungkin dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Dengannya, seseorang dapat mengalami, memahami, dan akhirnya merancang hidup yang selaras dengan lingkungan hidup.•fgs



Tidak ada komentar:

Posting Komentar