Data Buku
Judul: Lingkungan Hidup dan
Kapitalisme: Sebuah Pengantar
Penulis: Fred
Magdoff dan John Bellamy Foster
Penerjemah: Pius
Ginting
Penerbit: Marjin
Kiri, Tangerang Selatan
Cetakan: I,
Agustus 2018
Ukuran: 14
× 20,3 cm
Tebal: xiv
+ 188 hlm.
ISBN: 978-979-1260-80-0
ISBN: 978-979-1260-80-0
AKHIR Agustus 2018 lalu, tujuh tahun setelah buku ini terbit pertama kali di Amerika Serikat dengan judul What Every Environmentalist Needs to Know About Capitalism: A Citizen’s Guide to Capitalism and the Environment, sebuah kelompok peneliti independen dari Finlandia menyusun Rancangan Laporan Pembangunan Berkelanjutan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam laporan yang akan dirilis pada awal 2019 itu, kelompok peneliti itu menyimpulkan bahwa praktik kapitalisme modern mesti diakhiri demi menghentikan risiko perubahan iklim yang lebih ekstrem.
Kerusakan
lingkungan dalam skala planet memang mengkhawatirkan. Dalam bab pertama buku
ini, Krisis Ekologi Skala Planet, Fred
Magdof dan John Bellamy Foster merinci tanda dan buktinya. Di antaranya, pemanasan
global, perubahan iklim, dan krisis air.
Air
adalah kebutuhan primer makhluk hidup, termasuk manusia. Sementara, tanpa disadari,
siklus hidrogeologis secara keseluruhan sedang terancam. Penyebabnya, seperti kata
Maude Barlow dalam Blue Covenant, “polusi,
perubahan iklim, dan pertambahan jumlah penduduk yang sangat besar”.
Sebagai
gambaran, penggunaan air tawar pada masa praindustri adalah 415 km3.
Ambang batas yang diusulkan oleh para ilmuwan adalah 4.000 km3. Sedangkan,
status kondisi saat ini adalah 2.600 km3. Nyaris mencapai ambang
batas. Padahal, pencapaian ambang batas berarti ambruknya ekosistem. (hlm. 17)
Itu
baru soal penggunaan air. Fakta bahwa air terpapar aneka bahan kimia dari
limbah industri adalah hal buruk yang lain lagi.
Dalam
aras ini, ancaman kehancuran, bukan saja Indonesia tetapi juga dunia, sejatinya
bukan omong kosong. Tentu saja bila beberapa prasyarat terpenuhi. Misalnya,
pengetahuan atas kondisi bumi dan sistem ekonomi tak membuat penduduknya insaf
dan mengubah cara dan gaya hidupnya.
Jerat Kapitalisme
Secara
umum, yang membuat dan mempercepat kehancuran itu adalah pertumbuhan penduduk
bumi, teknologi yang sanggup menciptakan kerusakan lebih besar dan cepat, dan
sistem ekonomi yang tak kenal batas. (hlm. 6) Menurut penulis, sistem ekonomi
kapitalislah maksudnya.
Dalam
bab 4 dan bab 5, penulis merinci seluk-beluk sistem ekonomi itu. Di antaranya,
cara beroperasi yang halus dan tersembunyi—melalui iklan berbasis perilaku (behavioral placement) misalnya—hingga seseorang
tak menyadarinya, seperti ikan tak menyadari air tempat mereka berenang. Etos,
pandangan, dan nilai-nilai internal kapitalismelah yang diserap dan dibiasakan
seiring pengalaman bertumbuh bersamanya. Tanpa disadari, seseorang belajar
bahwa kerakusan, eksploitasi atas buruh, dan kompetisi bukan hanya bisa
dimaklumi, melainkan baik bagi masyarakat karena turut membuat perekonomian
berfungsi secara sangkil dan mangkus. (hlm. 37-38)
Pemerintah
biasanya tak dapat berbuat banyak. Di bawah sistem kapitalisme, kekayaan rakyat
sering tak terlindungi dan dirampok untuk perolehan pribadi, alih-alih dikelola
secara bijak dan berkelanjutan sebagai warisan bersama.
Dalam
konteks Indonesia, banyak kejadian membuktikan bahwa hal itu benar-benar terjadi.
Misalnya, pada 2015, saat terjadi kebakaran hutan parah di Sumatra dan
Kalimantan, petugas negara dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
mengalami penghadangan saat melakukan pemeriksaan lapang. Hal yang sama dialami
pula oleh Kepala Badan Restorasi Gambut yang berusaha memeriksa pembukaan
kawasan hutan oleh perusahaan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). (Hlm.
viii)
Orang-orang
di lingkar pemerintahan acap menjalin relasi dan bersama-sama dengan pemilik
kapital dalam merugikan negara. Pada masa Orde Baru katakanlah, April
1967, Soeharto menandatangani kontrak karya dengan PT Freeport selama 30 tahun.
Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang masuk ke Indonesia. Persekongkolan
lain Soeharto dengan para pemodal pernah diungkapkan oleh Joe Studwell dalam Asian Godfathers: Menguak Tabir
Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa. Selaras dengan Studwell, Richard Robison
dalam Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme
Indonesia juga menunjukkan bahwa negara dalam masa pemerintahan Soeharto
merupakan katalisator berkembangnya kapitalisme di Indonesia.
Solusi Utopis?
Sebagai
sebuah pengantar, buku ini cukup komprehensif dan relevan dengan problem
kekinian. Di bab terakhir, Bab VI, penulis juga menyampaikan prasaran tentang
solusi krisis ekologis. Dari 22 solusi itu, kecuali yang etis-praktis, hampir
semua berbasis ide gerakan sosial-politik. Sayangnya, penulis belum
menerjemahkan ide itu dalam tataran praksis, sehingga beberapa di antaranya
terkesan utopis dan sebatas jargon belaka.
Sekilas,
satu-dua ide bahkan terkesan bertentangan. Di antaranya, teknologi yang
memungkinkan penghematan bahan bakar kendaraan. Awalnya, Magdof dan Foster
mengklaim bahwa penghematan bahan bakar yang tak diiringi dengan perubahan pola
konsumsi hanyalah kesia-siaan. Namun, belakangan mereka berpendapat lain.
Penulis
juga belum memperhitungkan kerja-kerja budaya, melalui pendidikan misalnya, sebagai
sebuah gerakan alternatif. Padahal, penyadaran berperspektif ontologis tentang
alam sangat mungkin dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Dengannya, seseorang
dapat mengalami, memahami, dan akhirnya merancang hidup yang selaras dengan lingkungan
hidup.•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar