Data Buku
Judul: Soeharto: Setelah Sang Jenderal
Besar Pergi
Penyunting: Leila
S. Chudori, dkk.
Penerbit: KPG,
Jakarta
Cetakan: I,
Agustus 2018
Ukuran: 16
× 23 cm
Tebal: xiii
+ 269 hlm.
ISBN: 978-602-424-994-6
ISBN: 978-602-424-994-6
SEBUAH
truk sarat muatan melintas di jalan tol. Bagian belakang baknya dihiasi lukisan
seorang lelaki tua berbaju safari yang tersenyum sambil melambaikan tangan. “Piye kabaré?” tanyanya. Nadanya seperti
seorang bapak yang menanyakan kabar anak-anaknya. Ada lanjutannya. Ah, pasti
Anda sudah tahu.
Lukisan
itu boleh jadi wujud kerinduan atas yang lalu. Mungkin sosoknya. Mungkin pula
situasinya. Ia mungkin juga pertanda paling subtil sebuah kekecewaan atas
kondisi kekinian. Atau jangan-jangan, itu hanya main-main; untuk menyindir rezim
yang dipimpin oleh orang yang diam-diam mudah mendendam?
Ihwal
Soeharto dalam Soeharto: Setelah Sang
Jenderal Besar Pergi ini bukan sekadar nostalgia. Tulisan-tulisan yang
diangkat dari liputan khusus majalah Tempo
edisi Februari 2008 ini merupakan ikhtiar untuk mengangkat, mengupas, dan
membongkar sisi kehidupan Soeharto secara apa adanya. Tentu saja, agar kita
dapat menimbang dengan jernih dan luput dari amnesia.
Setelah
membaca halaman awal buku ini, kita dapat segera menyimpulkan bahwa Soeharto
adalah perwira militer yang pandai bersiasat dan menarik simpati. Soeharto mulai
mengambil alih kekuasaan pada 1965 atas dukungan para demokrat, termasuk
mahasiswa Angkatan 66, dan pemerintah Amerika Serikat. (Hlm. 4, 31-33)
Menurut
Arief Budiman, saat itu sebenarnya ada yang pesimis demokrasi bisa pulih di
bawah pimpinan seorang anggota militer. Namun, sikap kritis itu tenggelam di
antara harapan yang muluk. (Hlm. 253)
Segera
setelah menjadi presiden, Soeharto membebaskan tahanan politik dan mengizinkan
surat kabar yang diberedel oleh Soekarno terbit kembali. Orde Baru dengan cepat
menjelma menjadi koreksi terhadap Orde Lama. Dan Soeharto, ia memosisikan
sebagai koreksi terhadap Sukarno. (Hlm. 4) Rakyat pun terbuai.
Beberapa
tahun kemudian, setelah korupsi, kolusi, dan nepotisme meluas, terutama oleh
keluarga dan kroni Soeharto, aksi protes bermunculan. Soeharto gerah. Ia anggap
itu sebagai serangan yang dapat merongrong Pancasila dan membahayakan negara.
Maka, ia gunakan militer untuk menindaknya. Korban berjatuhan. Dalam peristiwa
Malari (1974) misalnya, belasan orang tewas, ratusan luka-luka, hampir seribu
mobil dan motor dibakar, serta ratusan bangunan dirusak. (Hlm. 122-125) Banyak
lainnya. Satu per satu dideskripsikan dalam buku ini.
Pada
masa pemerintahan Soeharo pula, media tak luput dari cengkeraman. Mereka selalu
diawasi dan segera diberedel jika memuat berita tak sedap. Majalah Tempo adalah salah satu yang pernah
mengalaminya.
Sebetulnya,
tak hanya kritik, memberitakan pribadi Soeharto pun mesti hati-hati.
Salah-salah bisa dibui seperti pemimpin redaksi dan penanggung jawab majalah POP. Pada Oktober 1974, majalah itu
memuat artikel yang menyebutkan bahwa Soeharto merupakan keturunan Sultan
Hamengku Buwono II. Soeharto menilai bahwa berita itu dapat mengganggu
kewibawaan negara. (Hlm. 187-193)
Soeharto
memang memosisikan dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila dan tentu negara.
Silogisme yang dibangun adalah melawan dirinya berarti melawan negara dan
anti-Pancasila.
Soeharto
juga mencitrakan dirinya sebagai Bapak Pembangunan. Memang, harus kita akui ada
hasil pembangunan masa itu. Ekonomi makro membaik, inflasi terkontrol,
swasembada pangan tercapai (1984), angka buta huruf turun, dan pertumbuhan
penduduk terkendali melalui program KB.
Namun,
sesungguhnya capaian-capaian itu relatif dalam hal kuantitas dan malah problematis
dalam segi kualitas. Capaian swasembada pangan misalnya, hanya bertahan selama
1984 saja. Setelah itu, Indonesia selalu mengimpor beras. Di sisi lain, setelah
swasembada, konsumsi beras meningkat. Sampai kini, diversifikasi pangan bak
jauh panggang dari api.
Kita
tahu, stabilitas ekonomi harus didukung oleh stabilitas politik, pertahanan,
dan keamanan. Maka, atas nama keamanan dan ketertiban itulah, cara-cara
represif dan otoriter dibenarkan selama Orde Baru. Contohnya, penembakan
misterius (petrus) pada 1982-1985. Orang yang distigma sebagai preman menjadi
sasaran penembakan tanpa peradilan. (Hlm. 126-129)
Di
bidang politik, dilakukan depolitisasi rakyat. Rakyat hanya mungkin berpartisipasi
secara aktif dalam politik ketika pemilu. Selanjutnya, depolitisasi kampus.
NKK/BKK, namanya. Informasi diawasi dan dibatasi. Akibatnya, orang kehilangan
inisiatif dan sikap kritis. Pembangunan manusia melambat. Kaderisasi politisi
praktis tak ada.
Indoktrinasi
juga dijalankan melalui kewajiban mengikuti penataran P4 bagi siswa, mahasiswa,
dan calon pegawai negeri. Melalui serangkaian kebijakan ini, opini masyarakat
akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap Pemerintahan Orde Baru. Sayang,
buku ini tak mengupas hal-hal itu.
Buku
ini juga luput tak membahas soal peran RRI dan TVRI sebagai corong informasi
program pemerintah. Padahal, pemerintah mensosialisasikan program-programnya
terutama melalui dua media itu. Kita tentu ingat, pada era 80-an, TVRI kerap
menyiarkan berita perjalanan Soeharto ke pelbagai pelosok negeri. Ada tayangan yang
diprogram secara khusus, mulai Dari Desa
ke Desa hingga Kelompencapir.
Ironis memang, Soeharto akhirnya mundur pada 21
Mei 1998 dengan situasi dan kondisi yang serupa dengan awal ia berkuasa: pengkhianatan,
krisis ekonomi, demonstrasi mahasiswa, dan korban penembakan. Perpolitikan
menunjukkan sejarah yang serbaberulang. Yang sekarang jatuh karena sebelumnya
ia menjatuhkan kawannya.
Kita
tentu mafhum, menengok masa lalu acap terjadi dalam negara yang sedang
mengalami kejenuhan dalam fase transisi. Pada masa lalu, kita punya pengalaman
dipimpin oleh figur yang sepertinya pernah menyediakan keamanan, ketertiban,
dan kesejahteraan.
Sayangnya,
kita tak banyak tahu peristiwa yang terjadi masa itu. Yang kita tahu,
seolah-olah suasana serbaaman.
Dengan
membaca buku ini, kita dapat mengetahui sebagian dari kisah itu. Kita juga
dapat menemukenali peristiwa hari ini sebenarnya merupakan akibat dari
peristiwa masa lalu. Jadi piyé, pénak jamanku to?•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar