Senin, 29 Oktober 2018

Pembaca Buku yang Memilih Menjadi Pelacur [Resensi “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur” – Muhidin M. Dahlan]





Data Buku
Judul: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: ScriPta, Yogyakarta
Cetakan: XVI, Maret 2016
Ukuran: 12 × 19 cm
Tebal: 269 hlm.
ISBN: 979-99461-1-5



LIMA belas tahun setelah novel ini terbit, saya baru membacanya. Terlambat? Tidak juga. Ini novel. Bukan hard news di media daring. Oh ya, satu lagi, pada dasarnya, semua buku yang belum pernah dibaca adalah buku baru. Setidaknya bagi saya.

Saya menduga, novel ini termasuk salah satu karya awal Muhidin M. Dahlan. Selanjutnya, kita sebut ia sebagai Gus Muh saja. Kabarnya, begitulah orang akrab memanggilnya.

Saya pernah membaca beberapa bukunya di toko buku. Tiga-empat halaman. Toko buku bukan perpustakaan toh? Itu dulu sekali. Alhamdulillah, akhirnya saya berkesempatan membaca salah satu karyanya, novel ini, hingga khatam.

Saya lebih rajin membaca artikel Gus Muh di pelbagai media. Bagi saya, buku-buku dan artikel-artikelnya yang terbit kemudian jauh lebih bagus daripada novel ini. Alurnya. Tata bahasanya. Impresinya. Semuanya.

Namun faktanya, novel yang bahan bakunya diambil dari kisah nyata ini justru yang dicetak banyak kali. Novel yang saya punya ini adalah cetakan keenam belas. Tak perlu heran. Ini Indonesia toh? Buku, novel, majalah, atau apa pun yang kontroversial—dan lebih-lebih dilarang—justru paling dicari.

Nah, novel ini beredar dalam gelombang yang sama. Ia mengandung kontroversi sejak dalam judulnya; apalagi isinya. Bayangkan saja: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!. Kita segera membayangkan, novel ini menyoal setidaknya tiga hal, yaitu: tuhan (dan praktik beragama), tubuh, dan tabu.

Tokoh utama novel ini bernama Nidah Kirani. Dia santriwati di Pondok Ki Ageng yang gemar membaca dan aktif berorganisasi. Berbagai-bagai buku dia baca.

Gus Muh memang tak mengisahkan aktivitas membaca Kirani secara detail, baik waktu maupun tempatnya, kecuali sedikit saja. Yaitu, saat Kirani: (1) membaca fotokopi dokumen tua susunan Eyang Wiryo yang menjadi bacaan wajib anggota organisasi, (2) tepergok membaca buku tebal karya Chaidar yang membahas tentang organisasinya, dan (3) membaca Kitab Perjanjian Baru. (Hlm. 60, 86, 157)

Patut diduga, buku tebal yang dimaksud oleh Gus Muh adalah Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo: Fakta dan Data Sejarah Darul Islam. Buku 854 halaman terbitan Darul Falah (1999) itu ditulis oleh Al-Chaidar. Isinya bahasan rinci tentang organisasi Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (DI/NII). Bahkan ada gambar-gambar tanda pangkat yang digunakan oleh tentara DI/NII.

Itu laras dengan narasi bacaan wajib anggota yang berupa dokumen fotokopian. Eyang Wiryo yang dimaksud sangat mungkin adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Jika semua itu benar, maka organisasi yang diikuti oleh Kirani tentu DI/NII. Petunjuk lain, penggunaan istilah komandemen. Istilah itu lazim digunakan, di antaranya, oleh DI/NII.

Lokasi yang dikisahkan sebagai tempat membaca Kirani adalah perpustakaan pondok dan kamar di pos organisasinya. (Hlm. 35, 70) Saya membayangkan perpustakaan di pondok itu menyimpan buku-buku yang beraneka. Tentu saja, sebagian di antaranya adalah kitab klasik. Setali tiga uang dengan gambaran perpustakaan di tiga sekolah mula di Barat: Academia (yang didirikan oleh Platon), Lyceum (yang didirikan oleh Aristoteles), dan The Garden School (yang didirikan oleh Epikuros).

B. Herry-Priyono dalam Filsafat untuk Para Profesional mengungkapkan bahwa struktur ketiga sekolah itu sama. Dalam satu lingkungan sekolah terdapat residensi, perpustakaan, ruang makan, dan kelas. (Hlm. 35)

Lihat, betapa struktur ketiganya mirip dengan yang dimiliki oleh pondok pesantren hingga kini. Ada ndalêm (tempat tinggal kiai) dan pondok (tempat tinggal santri), tempat menyimpan kitab, dapur, dan masjid. Saya teringat Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah di ujung timur Situbondo. Pondok pesantren itu memiliki perpustakaan yang besar.

Nah, kecuali itu, Kirani berhubungan dengan lelaki pembaca buku. Bahkan, dikisahkan, dia mendapatkan buku dari beberapa lelaki yang kemudian berhubungan atau mencoba mengajak berhubungan seks dengannya. Buku—dus pengetahuan yang membebaskan—sebanding dengan seks yang dia bebaskan? Entahlah.

Yang pasti, nama-nama lelaki yang juga pembaca buku itu adalah: (1) Daärul Rachim. Ia aktivis kiri yang memberi Kirani buku Sachiko Murata, The Tao of Islam. Kirani mendapatkan pengalaman seksual pertama dengannya. Lalu, (2) Kusywo, penyair sufi, yang kamarnya penuh buku. Penyair itu menjanjikan sebuah buku pada Kirani. Berikutnya, ustaz dan tokoh organisasi bernama (3) Rahmanidas Sira. Keperjakaannya diambil oleh Kirani. Terakhir, (4) Pak Tomo. Dosen sekaligus germonya. Pak Tomo tentu saja ingin meniduri Kirani. Namun, hingga akhir cerita, Kirani tak mau memenuhi keinginannya.

Sebenarnya ada banyak lelaki lain lagi. Mereka pejabat. Wakil rakyat. Mereka tentu pembaca juga, toh? Buku, maksud saya. Bukan membaca kesempatan dalam kesempitan. Apalagi, ceruk sempit dan lembap di bawah sana.

Soal, Kirani, sudahlah. Dia sudah memilih jalannya menjadi pelacur. Katanya, itu kristalisasi pendiriannya. Perlawanannya. Saya tak hendak membahas hal itu lebih lanjut. Sila baca sendiri novel Gus Muh tersebut.

Omong-omong, pelacur juga pekerjaan profesional, bukan? Mengapa profesi itu tak diurai dalam Filsafat untuk Para Profesional, ya?




Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada 2016 itu hanya membahas filsafat profesi konsultan diet, pembantu rumah tangga, agamawan, perancang busana, pialang, perusahaan iklan, perawat tubuh, turis, peziarah, pengembara, sastrawan, dan pensiunan. Tak ada pelacur. Sama, politisi juga.

Namun, jujur saja, saya merasa sikap Kirani tak sesuai nalar. Kirani membaca banyak jenis buku. Melalui pembacaan dokumen fotokopi dan buku pula, dia punya gambaran utuh tentang organisasi radikal yang dia ikuti, kecewa, dan kemudian membelot. Bagi saya, dia punya banyak alternatif tindakan lain. Anehnya, kekecewaan serta-merta mengubahnya dari perempuan yang ahli ibadah secara sufistik menjadi perempuan binal. Pengetahuannya menguap.

Apakah kekecewaan pula yang membuat orang banyak kini tak lagi mampu menggunakan nalar atau nuraninya? Saya tak tahu.

Bagaimana pun, tak bijak rasanya menghukumi Kirani atas imannya. Mau dibilang ndak beriman, lha wong Kirani, seperti dalam judul novel ini, bahkan melibatkan Tuhan. Bukankah dia minta izin Tuhannya untuk berproses mencari kesejatian melalui perannya sebagai pelacur? Sementara kita sering kali melakukan hal-hal lebih hina hanya demi memenuhi hasrat. Jadi, biar itu menjadi domain Gusti Allah saja.

Kisah ini diadaptasi dari pengakuan kawan perempuan Gus Muh di dunia nyata. Sebut saja “Kirani”. Suatu ketika, tanpa sengaja, Gus Muh bertemu lagi dengannya di sebuah toko buku. “Kirani” sedang membaca buku tentang terbunuhnya Syekh Siti Jenar.

Ah, buku lagi!●fgs


Tidak ada komentar:

Posting Komentar