Data Buku
Judul: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: ScriPta, Yogyakarta
Cetakan: XVI,
Maret 2016
Ukuran: 12
× 19 cm
Tebal: 269 hlm.
ISBN: 979-99461-1-5
ISBN: 979-99461-1-5
LIMA
belas tahun setelah novel ini terbit, saya baru membacanya. Terlambat? Tidak
juga. Ini novel. Bukan hard news di
media daring. Oh ya, satu lagi, pada dasarnya, semua buku yang belum pernah
dibaca adalah buku baru. Setidaknya bagi saya.
Saya
menduga, novel ini termasuk salah satu karya awal Muhidin M. Dahlan.
Selanjutnya, kita sebut ia sebagai Gus Muh saja. Kabarnya, begitulah orang akrab
memanggilnya.
Saya
pernah membaca beberapa bukunya di toko buku. Tiga-empat halaman. Toko buku
bukan perpustakaan toh? Itu dulu sekali. Alhamdulillah, akhirnya saya berkesempatan
membaca salah satu karyanya, novel ini, hingga khatam.
Saya
lebih rajin membaca artikel Gus Muh di pelbagai media. Bagi saya, buku-buku dan
artikel-artikelnya yang terbit kemudian jauh lebih bagus daripada novel ini.
Alurnya. Tata bahasanya. Impresinya. Semuanya.
Namun
faktanya, novel yang bahan bakunya diambil dari kisah nyata ini justru yang dicetak
banyak kali. Novel yang saya punya ini adalah cetakan keenam belas. Tak perlu
heran. Ini Indonesia toh? Buku, novel, majalah, atau apa pun yang
kontroversial—dan lebih-lebih dilarang—justru paling dicari.
Nah,
novel ini beredar dalam gelombang yang sama. Ia mengandung kontroversi sejak
dalam judulnya; apalagi isinya. Bayangkan saja: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!. Kita segera membayangkan,
novel ini menyoal setidaknya tiga hal, yaitu: tuhan (dan praktik beragama),
tubuh, dan tabu.
Tokoh
utama novel ini bernama Nidah Kirani. Dia santriwati di Pondok Ki Ageng yang
gemar membaca dan aktif berorganisasi. Berbagai-bagai buku dia baca.
Gus
Muh memang tak mengisahkan aktivitas membaca Kirani secara detail, baik waktu
maupun tempatnya, kecuali sedikit saja. Yaitu, saat Kirani: (1) membaca
fotokopi dokumen tua susunan Eyang Wiryo yang menjadi bacaan wajib anggota
organisasi, (2) tepergok membaca buku tebal karya Chaidar yang membahas tentang
organisasinya, dan (3) membaca Kitab Perjanjian Baru. (Hlm. 60, 86, 157)
Patut
diduga, buku tebal yang dimaksud oleh Gus Muh adalah Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.
Kartosoewirjo: Fakta dan Data Sejarah Darul Islam. Buku 854 halaman
terbitan Darul Falah (1999) itu ditulis oleh Al-Chaidar. Isinya bahasan rinci
tentang organisasi Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (DI/NII). Bahkan ada
gambar-gambar tanda pangkat yang digunakan oleh tentara DI/NII.
Itu
laras dengan narasi bacaan wajib anggota yang berupa dokumen fotokopian. Eyang
Wiryo yang dimaksud sangat mungkin adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Jika
semua itu benar, maka organisasi yang diikuti oleh Kirani tentu DI/NII.
Petunjuk lain, penggunaan istilah komandemen. Istilah itu lazim digunakan, di
antaranya, oleh DI/NII.
Lokasi
yang dikisahkan sebagai tempat membaca Kirani adalah perpustakaan pondok dan
kamar di pos organisasinya. (Hlm. 35, 70) Saya membayangkan perpustakaan di
pondok itu menyimpan buku-buku yang beraneka. Tentu saja, sebagian di antaranya
adalah kitab klasik. Setali tiga uang dengan gambaran perpustakaan di tiga sekolah
mula di Barat: Academia (yang
didirikan oleh Platon), Lyceum (yang
didirikan oleh Aristoteles), dan The
Garden School (yang didirikan oleh Epikuros).
B.
Herry-Priyono dalam Filsafat untuk Para
Profesional mengungkapkan bahwa struktur ketiga sekolah itu sama. Dalam
satu lingkungan sekolah terdapat residensi, perpustakaan, ruang makan, dan
kelas. (Hlm. 35)
Lihat,
betapa struktur ketiganya mirip dengan yang dimiliki oleh pondok pesantren
hingga kini. Ada ndalêm (tempat
tinggal kiai) dan pondok (tempat tinggal santri), tempat menyimpan kitab,
dapur, dan masjid. Saya teringat Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah di ujung
timur Situbondo. Pondok pesantren itu memiliki perpustakaan yang besar.
Nah,
kecuali itu, Kirani berhubungan dengan lelaki pembaca buku. Bahkan, dikisahkan,
dia mendapatkan buku dari beberapa lelaki yang kemudian berhubungan atau
mencoba mengajak berhubungan seks dengannya. Buku—dus pengetahuan yang membebaskan—sebanding dengan seks yang dia
bebaskan? Entahlah.
Yang
pasti, nama-nama lelaki yang juga pembaca buku itu adalah: (1) Daärul Rachim. Ia
aktivis kiri yang memberi Kirani buku Sachiko Murata, The Tao of Islam. Kirani mendapatkan pengalaman seksual pertama
dengannya. Lalu, (2) Kusywo, penyair sufi, yang kamarnya penuh buku. Penyair
itu menjanjikan sebuah buku pada Kirani. Berikutnya, ustaz dan tokoh organisasi
bernama (3) Rahmanidas Sira. Keperjakaannya diambil oleh Kirani. Terakhir, (4)
Pak Tomo. Dosen sekaligus germonya. Pak Tomo tentu saja ingin meniduri Kirani.
Namun, hingga akhir cerita, Kirani tak mau memenuhi keinginannya.
Sebenarnya
ada banyak lelaki lain lagi. Mereka pejabat. Wakil rakyat. Mereka tentu pembaca
juga, toh? Buku, maksud saya. Bukan membaca kesempatan dalam kesempitan.
Apalagi, ceruk sempit dan lembap di bawah sana.
Soal,
Kirani, sudahlah. Dia sudah memilih jalannya menjadi pelacur. Katanya, itu
kristalisasi pendiriannya. Perlawanannya. Saya tak hendak membahas hal itu
lebih lanjut. Sila baca sendiri novel Gus Muh tersebut.
Omong-omong,
pelacur juga pekerjaan profesional, bukan? Mengapa profesi itu tak diurai dalam
Filsafat untuk Para Profesional, ya?
Buku
yang diterbitkan oleh Penerbit Buku
Kompas pada 2016 itu hanya membahas filsafat profesi konsultan diet,
pembantu rumah tangga, agamawan, perancang busana, pialang, perusahaan iklan,
perawat tubuh, turis, peziarah, pengembara, sastrawan, dan pensiunan. Tak ada
pelacur. Sama, politisi juga.
Namun,
jujur saja, saya merasa sikap Kirani tak sesuai nalar. Kirani membaca banyak
jenis buku. Melalui pembacaan dokumen fotokopi dan buku pula, dia punya
gambaran utuh tentang organisasi radikal yang dia ikuti, kecewa, dan kemudian membelot.
Bagi saya, dia punya banyak alternatif tindakan lain. Anehnya, kekecewaan
serta-merta mengubahnya dari perempuan yang ahli ibadah secara sufistik menjadi
perempuan binal. Pengetahuannya menguap.
Apakah
kekecewaan pula yang membuat orang banyak kini tak lagi mampu menggunakan nalar
atau nuraninya? Saya tak tahu.
Bagaimana pun, tak bijak rasanya menghukumi Kirani atas imannya. Mau dibilang ndak beriman, lha wong Kirani, seperti dalam judul novel ini, bahkan melibatkan Tuhan. Bukankah dia minta izin Tuhannya untuk berproses mencari kesejatian melalui perannya sebagai pelacur? Sementara kita sering kali melakukan hal-hal lebih hina hanya demi memenuhi hasrat. Jadi, biar itu menjadi domain Gusti Allah saja.
Kisah
ini diadaptasi dari pengakuan kawan perempuan Gus Muh di dunia nyata. Sebut
saja “Kirani”. Suatu ketika, tanpa sengaja, Gus Muh bertemu lagi dengannya di
sebuah toko buku. “Kirani” sedang membaca buku tentang terbunuhnya Syekh Siti
Jenar.
Ah,
buku lagi!●fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar