Sabtu, 08 Desember 2018

Kawan Surti Ketika Sepi [Resensi “Surti + Tiga Sawunggaling” – Goenawan Mohamad]



         

Data Buku
Judul: Surti + Tiga Sawunggaling
Penulis: Goenawan Mohamad
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: I, September 2018
Ukuran: 14 × 20 cm
Tebal: 103 hlm.
ISBN: 978-602-06-1187-7



GOENAWAN Mohamad mengembangkan novel ini dari naskah lakon. Kepada wartawan Tempo, ia berkata, “Saya belum pernah membuat novel. Jadi mau mencoba karena bahannya sudah ada.” Apakah itu berarti ia hendak mengatakan kepada kita bahwa novel ini bermutu coba-coba?

Novel ini berkisah tentang 3 sawunggaling yang tiap malam keluar dari kain batikan Surti. Mereka terbang dan memata-matai Jen, aktivis pergerakan dan pemimpin gerilya.

Jen, kawan ayah Surti, bernama daging Marwoto. Ia menikahi Surti beberapa minggu setelah keluar dari penjara. “Ia orang pergerakan yang baik,” kata ayah Surti. (hlm. 26)

Adakah orang pergerakan yang tak baik? Kawan-kawan yang dengan bangga mendaku aktivis tentu punya jawabnya.

Ketika menangkap Jen, salah satu dari tentara Belanda berkata kepada Surti, “Suami kamu orang komunis.” (hlm. 92)

Sebagai aktivis pergerakan, Jen gemar membaca status buku. Ia punya banyak buku dan sebuah gambar Bung Karno. Semuanya ia simpan di kamar, sebelum tentara Belanda mengambilnya dan melempar beberapa di antaranya ke dalam sumur.

Tak dijelaskan, buku yang dibuang dan yang dibawa oleh tentara itu. Mungkinkah yang dibawa adalah novel pembangkit syahwat? Jika benar, pasti bukan karya Motinggo Busye. Sebab, karya pertama Busye, Malam Jahanam, baru terbit pada 1962. Sedangkan novel ini berlatar 1947.

Kita juga tak diberitahu nasib buku-buku yang dibawa oleh tentara itu. Dibakar, seperti nasib buku-buku Pramoedya Ananta Toer, atau dinikmati diam-diam.

Buku memang kerap menjadi hantu. Ia ditakuti. Maka, segera ia dibasmi. Dilarang terbit.

Buku, di lain sisi, malah penanda peradaban. Keterbacaannya menjadi salah satu indikator kemajuan.

Suatu hari, seorang kawan tampak antusias belajar teori pengasuhan teranyar dari kanal Youtube. Katanya, dengan metode tertentu, anak dapat lancar membaca pada usia 2 tahun. Lalu, simsalabim, anak menjadi kutu buku!

“Angka melek huruf di Indonesia cukup tinggi. Banyak sarjana. Namun, tak semuanya gemar membaca,” kata saya, “melek huruf adalah satu hal dan gemar membaca adalah hal yang lain.”

Membaca adalah soal budaya. Melestarikannya juga butuh dana. Padahal, anggaran belanja buku jauh tertinggal dari anggaran angsuran motor baru, gincu, atau pupur jenama tertentu.

Motor dianggap lebih penting. Ia dapat menjadi penanda status yang melenting. Maka, orang tua kerap sedapat-dapat segera mengiakan ketika anaknya merengek memintanya seolah genting. Buku baru? Ah, tak penting.

Legenda galib mewartakan orang sakti berpindah tempat dengan mengendarai semisal angin, daun, atau ikan. Lajunya cepat. Seperti motor. Saya lupa, adakah tersua selainnya: meningkahi ruang dan waktu dengan membaca buku?

“Jen, suamiku, tak pulang,” kata Surti, “seperti beberapa hari sebelumnya. Seperti beberapa kali sebelumnya.”

Surti boleh jadi rindu. Dia mengalami problem: lama tak bercinta, ketika bercinta tak lama.

Bukan. Ini bukan soal lamanya bercinta. Jen tak butuh jimat atau obat kuat. Setidaknya dua kali percintaan mereka yang memuaskan terekam.

Satu, kisah malam pertama. Yang kedua, sebelum Jen tertangkap tentara Belanda. Dikisahkan, saat langkah-langkah tentara Belanda terdengar mengelilingi rumah, Jen masih menyempatkan mencumbu Surti.

“Jen pasti mendengarnya,” kenang Surti, “(tetapi) lewat tengah malam itu kami (tetap) bersanggama. Aku peluk tubuhnya—ia berkeringat. Tapi ia seperti tak mau berhenti sampai aku menjerit dengan nikmat yang mengagetkan.” (hlm. 89)

Kembali ke soal rindu. Surti lantas membatik dan bukan membaca buku. Agaknya, buku bukan penawar rindu.

Surti mungkin lupa. Di tangan kaum progresif revolusioner, buku adalah mesiu. Kira-kira begitu.●fgs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar