Data Buku
Judul: Parrhesia: Berani Berkata Benar
Penulis: Michel
Foucault
Editor: Joseph
Pearson
Penerjemah: Haryanto
Cahyadi
Penerbit: Marjin
Kiri, Tangerang Selatan
Cetakan: I,
Mei 2018
Ukuran: 12
× 19 cm
Tebal: x
+ 209 hlm.
ISBN: 978-979-1260-78-7
ISBN: 978-979-1260-78-7
MICHEL
FOUCAULT (1926-1984) adalah salah satu pemikir terbesar Prancis abad ke-20.
Teori-teorinya mengurai hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan serta
penggunaannya sebagai kontrol sosial melalui institusi kemasyarakatan. Pada
galibnya, ia dikelompokkan sebagai filsuf pascamodern dan pascastruktural,
meski ia menampiknya. Ia lebih suka menyebut pemikirannya sebagai kritik
modernitas.
Karya-karya
Foucault berpengaruh besar pada bidang kajian budaya, sosiologi, feminisme, dan
teori kritis. Buku bartajuk Parrhesia:
Berani Berkata Benar ini diterjemahkan dari bahasa Inggris dan disusun
berdasarkan rekaman kaset enam ceramahnya di Universitas California, Berkeley,
pada musim gugur 1983, sebagai bagian dari seminarnya tentang “Wacana dan
Kebenaran”. (hlm. vii)
Kata
parrhesia muncul kali pertama dalam
kesusastraan Yunani pada karya-karya Euripides sekira 484-407 SM. Kata ini
selanjutnya berkembang luas di dunia kesusastraan Yunani antik sejak akhir abad
kelima SM.
Parrhesia
umumnya diterjemahkan sebagai berbicara bebas (free speech).
Pengguna parrhesia atau orang yang berbicara kebenaran disebut parrhesiastes.
Sedangkan, perbuatannya disebut sebagai parrhesiazomai atau parrhesiazesthai.
(hlm. 2)
Parrhesiastes
mengatakan sesuatu yang benar karena ia tahu bahwa hal itu benar. Ia tahu bahwa
hal itu benar karena hal itu memang benar. Artinya, ada koinsidensi yang
presisi (exact coincidence) antara kepercayaan (belief) dan
kebenaran (truth).
Persoalannya,
tak semua yang berbicara benar serta-merta dianggap telah menerapkan parrhesia.
“Orang (baru) dikatakan menerapkan parrhesia hanya jika terdapat risiko atau
bahaya baginya dalam mengungkap kebenaran. Misalnya, dari sudut pandang Yunani
atik, seorang guru tatabahasa mungkin menyampaikan kebenaran kepada anak-anak
didiknya (tetapi) ia bukan seorang parrhesiastes. Namun, tatkala seorang
filsuf berbicara di hadapan seorang tiran dan menegasikan kepadanya bahwa
tirani tidak sejalan dengan keadilan, maka sang filsuf telah berbicara benar,
percaya bahwa ia telah berbicara benar, dan lebih dari itu, juga mengambil
risiko … .” (hlm. 7-8)
Risiko
yang mungkin ditanggung oleh parrhesiastes boleh jadi beragam rupa. Yang
pasti, bahaya dapat muncul dari kenyataan bahwa kebenaran kata-kata dapat
menyakiti atau menimbulkan amarah mitra wicara (interlocutor).
Lebih
lanjut, untuk memahami hakikat kebenaran dan praktiknya dalam kehidupan,
termasuk dalam sistem demokrasi, Foucault mengajak pembaca untuk mencermati epos
Yunani klasik. Ada enam drama tragedi karya Euripides yang dikaji oleh
Foucault, yaitu: Phoinissai, Hippolytos, Bakkhai, Elektra,
Ion, dan Orestes. Dengannya, Foucault berupaya memberikan
dasar-dasar argumentatif penerapan parrhesia dari tempat yang
disebut-sebut sebagai cikal bakal konsep demokrasi.
Melalui
kisah Ion misalnya, Foucault menunjukkan bahwa kebenaran dan
pengungkapannya ternyata memiliki keterkaitan dengan kehormatan diri. Kebenaran
tak mungkin dinyatakan oleh pribadi yang menyimpan cacat atau cemar. Kebenaran
hanya dapat dipercaya apabila disampaikan oleh “orang yang tidak tercela dalam
prinsip dan integritas”. (hlm. 76)
Dalam
demokrasi, problem berikutnya adalah cara mengenali orang yang mampu berbicara
benar dalam batas-batas sistem kelembagaan yang meniscayakan setiap orang
berhak berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Bahkan, meski orang
tersebut tak tahu benar batas-batas kebenaran yang ia ucapkan. Sebab, ia toh
tak pernah memverifikasi bukti-bukti sebelum menyampaikan pernyataannya.
Meskipun
dijamin oleh konstitusi, mestinya kebebasan untuk berbicara tak lantas berarti
kebebasan menyatakan apa saja semaunya. Ada perbedaan antara menyampaikan
kebenaran dan kenyinyiran. Disebutkan oleh Foucault, dalam Yunani klasik, kenyinyiran
diistilahkan sebagai athuroglossos, terjemahan dari “mulut seperti mata
air yang mengucur”. Hal tersebut merujuk pada orang yang gemar berbicara apa
saja tanpa tahu kebenarannya.
Orang
nyinyir seperti itu hampir selalu muncul dalam sistem demokrasi. Kebebasan berbicara
tak selalu selaras dengan kebenaran. Itulah salah satu kritik Foucault yang
disampaikan dalam Parrhesia. Rupanya,
hal ini masih relevan dengan kondisi saat ini. Hoaks dan ujaran kebencian yang
kini bertebaran di media sosial adalah buktinya.
Dalam
konteks ini, merujuk analogi Yunani klasik tentang mulut, gigi, dan bibir
sebagai filter atas kebenaran berwicara, mestinya “jika lidah tidak patuh atau
menahan diri, kita dapat ... menggigitnya sampai berdarah.” (hlm. 68) Artinya,
setiap orang harus mengubah hidupnya agar perkataan dan perbuatannya selaras
dan mengandung kebenaran. (hlm. 119-120)
Nyatanya, hal itu
tak mudah dan tentu membutuhkan keberanian. Sebagian dari kita, alih-alih menyuarakan
kebenaran, memilih mau berbicara apa pun yang ingin didengarkan oleh orang lain.
Meskipun itu adalah kebohongan belaka. Benarkah demikian?•fgs
Tulisan ini adalah versi lebih panjang dari resensi
yang dimuat pertama kali di Koran Jakarta pada 9 Agustus 2018.
yang dimuat pertama kali di Koran Jakarta pada 9 Agustus 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar