Data Buku
Judul: Xenoglosofilia: Kenapa Harus
Nginggris?
Penulis: Ivan
Lanin
Penerbit: Kompas
Media Nusantara, Jakarta
Cetakan: I,
2018
Ukuran: 13
× 19 cm
Tebal: xviii
+ 214 hlm.
ISBN: 978-602-412-412-0 (Soft Cover)
ISBN: 978-602-412-412-0 (Soft Cover)
MENGAPA Ivan Lanin
memilih kenapa—kata tanya untuk
menanyakan sebab atau alasan dalam ragam percakapan—dan bukan mengapa sebagai subjudul bukunya? Saya
menduga, ia hendak menunjukkan bahwa dalam bukunya itu, alih-alih seberat
paparan pakar linguistik, ia justru membahas dan mengusulkan kata yang baku
dalam bahasa Indonesia seringan percakapan di warung kopi.
Ivan Lanin memang
bukan lulusan jurusan bahasa Indonesia. Khususnya linguistik. Latar pendidikannya
S-1 Teknik Kimia ITB dan S-2 Teknologi Informasi UI. Mengawali karier sebagai
pemrogram komputer, Ivan Lanin lalu berhenti dan menjadi konsultan perbankan. Namun,
ketertarikannya dalam mempelajari bahasa Indonesia bahkan melebihi orang yang
lebih dulu menggelutinya.
Sejak awal 2006,
Ivan Lanin giat mengampanyekan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
melalui jejaring sosial seperti blog, Twitter, dan Facebook. Ia juga
memprakarsai beberapa situs web sumber daya kebahasaan. Bahkan, ia juga pernah
menjadi anggota tim peninjau untuk Google bahasa Indonesia, juri lomba blog
kebahasaan Pusat Bahasa, dan anggota Komisi Pertimbangan Istilah Badan Bahasa.
Pelbagai tulisan
yang dibukukan ini bersumber dari blog Ivan Lanin. Tak heran, gaya penulisannya
menjadi lebih bebas. Ia seperti bertutur. Bahasanya renyah. Hal ini tentu saja
membuat pembaca lebih mudah mencerna gagasannya.
Tak semua tulisan
di blog Ivan Lanin lolos seleksi. Editor buku ini, Nur Adji, hanya menampilkan
103 tulisan dari keseluruhan 132 tulisan. Tulisan-tulisan itu ia kelompokkan
dalam 3 bagian, yaitu: Xenoglosofilia,
Tanja, dan Mana Bentuk yang Tepat?.
Ada 39 tulisan yang
masuk dalam bagian Xenoglosofilia. Melalui
tulisan-tulisan itu, Ivan Lanin membahas, mempertanyakan, dan mengusulkan
padanan kata dalam bahasa Indonesia. Memang, tak semuanya baru. Beberapa telah
akrab dengan kita. Misalnya, surel
(surat elektronik) untuk e-mail (hlm.
41) dan gawai untuk gadget (hlm. 111).
Di bagian ini pula,
saya baru tahu bahwa skedul (schedule,
Ing.) dan kensel (cancel, Ing.) telah
diserap ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun, keduanya sebatas ragam percakapan.
Benarlah. “Kata adalah perwujudan konsep yang merupakan konsensus dari para
penutur suatu bahasa,” simpul Ivan Lanin. (hlm. 113) Meski bahasa Indonesia
telah memiliki padanannya, jadwal dan batal, toh kedua kata itu berterima dan
nyata-nyata dipraktikkan oleh sebagian penuturnya. Bagaimana lagi?
Patut dicatat,
beberapa usulan Ivan Lanin bahkan belum masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) V. Xenoglosofilia (hlm. 31)
yang digunakan sebagai tajuk buku ini, misalnya. Pekamus baru mengentri lema
xenoglosia dan xenoglosofobia dalam KBBI V.
Bahasan Ivan Lanin
di bagian ini memang lebih banyak berkaitan dengan teknologi informasi. Hal ini
sesuai dengan bidang keilmuannya, saya kira.
Di bagian kedua, Tanja, ada 40 tulisan pendek yang
dikemas dalam bentuk tanya jawab. Sebagian besar tulisan itu menyoal kata atau
struktur bahasa Indonesia baku. Misalnya, “Apa perbedaan pemakaian di dan pada?” (hlm. 127) dan “Apa perbedaan antara sekali, sekali-sekali,
sesekali, dan sekali-kali?” (hlm. 133). Banyak penutur bahasa Indonesia masih
salah dalam penggunaannya.
Sesuai judul
subbabnya, di bagian ketiga buku ini Ivan Lanin khusus membahas mengenai ragam
baku bahasa Indonesia. Sampean pernah membaca meme yang memuat pertanyaan,
“Jika naik berarti ke atas dan masuk berarti ke dalam, keluar berarti apa?” Saya yakin, sampean
dapat menjawab pertanyaan tersebut setelah membaca buku ini.
Tiap tulisan dalam
buku ini berdiri sendiri. Tak saling berkait. Dengan demikian, Sampean dapat
memulai dan mengakhiri membaca dari mana pun. Itu juga satu kelebihan
tersendiri. Cocok dibaca disela kesibukan. Seperlunya.
Oh ya, tentu saja
masih ditemukan beberapa kekurangan dan kesalahan dalam buku ini. Biasa.
Bukankah tak ada gading yang tak retak?
Sebagai orang yang
sering kepo, saya agak terganggu dengan absennya keterangan mengenai nama-nama
panggilan dan bahkan akun Twitter yang disebutkan dalam beberapa tulisan Ivan
Lanin. Tersebut misalnya Pak Neil (hlm. 28), Mas Pujiono (hlm. 31), Arka (hlm.
42), serta Pak Baty dan Bu Daisy (hlm. 80). Akan lebih baik jika ada catatan
kaki atau penyebutan secara lengkap di awal narasi sebelum menyebutkan
panggilan. Ivan Lanin bukan tak pernah melakukannya. Di halaman 94. Ia menulis
dengan lengkap nama Pak Eddie Notowidigdo dan Pak Peter Rietbergen.
Selanjutnya, Ivan Lanin hanya menyebut Pak Eddie dan Pak Peter.
Di beberapa halaman
masih terdapat salah tik dan kurang cermat dalam menambahkan tanda baca. Contoh
lawang sebagai padanan kata gate tertulis lawing. (hlm. 55) “stylusadalah”
mestinya ditulis stylus adalah. (hlm.
63) Kurang kurtup setelah mengisap di
halaman 127.
Ivan Lanin satu-dua
kali juga tak menjelaskan sesuatu secara lengkap. Misalnya, saat ia membahas
mengenai asal usul kata kepo. Ia
hanya menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa Cina dialek Hokkian. Padahal, ada sumber
lain menyebutkan bahwa kepo merupakan
akronim dari Knowing Every Particular Object. Pingin tau aja.
Di halaman lain,
Ivan Lanin juga hanya menyebutkan bahwa ikhwal p dalam mempunyai tak
luluh adalah soal kebiasaan belaka. (hlm. 158) Ia mungkin lupa bahwa hal ini
pernah pula diterangkan dalam rubrik bahasa di Kompas. Disebutkan di sana, p
tak sama luluh dengan kata berawal huruf KTSP lainnya, karena kata dasarnya
bukan punya, melainkan empunya.
Ivan Lanin
memasukkan acapkali sebagai bagian
dari 52 kata majemuk yang ditulis serangkai. Dalam KBBI V tersua bahwa acapkali ditulis terpisah.
Namun, dengan
segala keterbatasannya, buku Ivan Lanin ini relevan dengan kondisi kekinian. Sebagian
orang Indonesia lebih senang menggunakan bahasa asing, khususnya Inggris,
daripada bahasa Indonesia. Mereka cenderung merasa kurang gaya kalau tak menggunakan
atau menyelipkan bahasa Inggris dalam cakapan atau tulisannya.
Dalam konteks kritik
post-kolonial, sikap minder dalam berbahasa ibu merupakan jejak kolonialisme.
Penjajahan dalam arti fisik memang telah berakhir, tapi penjajahan psikis dalam
bahasa, sastra, dan kebudayaan terus berlangsung. Bangsa yang pernah atau masih
terjajah kerap mengalami krisis identitas. Mereka mudah kagum dan sekaligus cemburu
terhadap yang asing. Termasuk dalam berbahasa. Kerap menggunakan kata dalam
bahasa Inggris meski kata tersebut memiliki padanan dalam bahasa Indonesia
boleh jadi merupakan contohnya. Diduga, penutur merelasikan begitu saja antara nginggris dan pikiran modern.
Kita memang harus
“mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai
bahasa asing.” Namun, menguasai bahasa asing tak lantas sama dengan
mencampuradukkan bahasa.
Secara redah hati,
Ivan Lanin memang mengaku bahwa ia bukanlah munsyi bahasa Indonesia. (hlm. xvii)
Namun, melalui perbincangan—kalau boleh saya sebut begitu—yang ia bukukan ini,
menurut saya, Ivan Lanin berhasil membuat kita diam-diam bermenung. Ternyata, acap
kali kita abai berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Di sisi lain,
penerbitan buku ini membuktikan bahwa siapa pun dan dengan latar belakang apa
pun dapat mempelajari bahasa Indonesia. Bagaimana menurut sampean?•fgs
Tulisan ini adalah versi lebih panjang dari resensi
yang dimuat pertama kali di Koran Jakarta pada 13 Juli 2018.
yang dimuat pertama kali di Koran Jakarta pada 13 Juli 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar