Rabu, 12 September 2018

Menyalahkan Kekeliruan, Mengaprahkan Kebenaran [Resensi “Xenoglosofilia” – Ivan Lanin]





Data Buku
Judul: Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?
Penulis: Ivan Lanin
Penerbit: Kompas Media Nusantara, Jakarta
Cetakan: I, 2018
Ukuran: 13 × 19 cm
Tebal: xviii + 214 hlm.
ISBN: 978-602-412-412-0 (Soft Cover)




MENGAPA Ivan Lanin memilih kenapa—kata tanya untuk menanyakan sebab atau alasan dalam ragam percakapan—dan bukan mengapa sebagai subjudul bukunya? Saya menduga, ia hendak menunjukkan bahwa dalam bukunya itu, alih-alih seberat paparan pakar linguistik, ia justru membahas dan mengusulkan kata yang baku dalam bahasa Indonesia seringan percakapan di warung kopi.

Ivan Lanin memang bukan lulusan jurusan bahasa Indonesia. Khususnya linguistik. Latar pendidikannya S-1 Teknik Kimia ITB dan S-2 Teknologi Informasi UI. Mengawali karier sebagai pemrogram komputer, Ivan Lanin lalu berhenti dan menjadi konsultan perbankan. Namun, ketertarikannya dalam mempelajari bahasa Indonesia bahkan melebihi orang yang lebih dulu menggelutinya.

Sejak awal 2006, Ivan Lanin giat mengampanyekan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar melalui jejaring sosial seperti blog, Twitter, dan Facebook. Ia juga memprakarsai beberapa situs web sumber daya kebahasaan. Bahkan, ia juga pernah menjadi anggota tim peninjau untuk Google bahasa Indonesia, juri lomba blog kebahasaan Pusat Bahasa, dan anggota Komisi Pertimbangan Istilah Badan Bahasa.

Pelbagai tulisan yang dibukukan ini bersumber dari blog Ivan Lanin. Tak heran, gaya penulisannya menjadi lebih bebas. Ia seperti bertutur. Bahasanya renyah. Hal ini tentu saja membuat pembaca lebih mudah mencerna gagasannya.

Tak semua tulisan di blog Ivan Lanin lolos seleksi. Editor buku ini, Nur Adji, hanya menampilkan 103 tulisan dari keseluruhan 132 tulisan. Tulisan-tulisan itu ia kelompokkan dalam 3 bagian, yaitu: Xenoglosofilia, Tanja, dan Mana Bentuk yang Tepat?.

Ada 39 tulisan yang masuk dalam bagian Xenoglosofilia. Melalui tulisan-tulisan itu, Ivan Lanin membahas, mempertanyakan, dan mengusulkan padanan kata dalam bahasa Indonesia. Memang, tak semuanya baru. Beberapa telah akrab dengan kita. Misalnya, surel (surat elektronik) untuk e-mail (hlm. 41) dan gawai untuk gadget (hlm. 111).

Di bagian ini pula, saya baru tahu bahwa skedul (schedule, Ing.) dan kensel (cancel, Ing.) telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun, keduanya sebatas ragam percakapan. Benarlah. “Kata adalah perwujudan konsep yang merupakan konsensus dari para penutur suatu bahasa,” simpul Ivan Lanin. (hlm. 113) Meski bahasa Indonesia telah memiliki padanannya, jadwal dan batal, toh kedua kata itu berterima dan nyata-nyata dipraktikkan oleh sebagian penuturnya. Bagaimana lagi?

Patut dicatat, beberapa usulan Ivan Lanin bahkan belum masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V. Xenoglosofilia (hlm. 31) yang digunakan sebagai tajuk buku ini, misalnya. Pekamus baru mengentri lema xenoglosia dan xenoglosofobia dalam KBBI V.

Bahasan Ivan Lanin di bagian ini memang lebih banyak berkaitan dengan teknologi informasi. Hal ini sesuai dengan bidang keilmuannya, saya kira.

Di bagian kedua, Tanja, ada 40 tulisan pendek yang dikemas dalam bentuk tanya jawab. Sebagian besar tulisan itu menyoal kata atau struktur bahasa Indonesia baku. Misalnya, “Apa perbedaan pemakaian di dan pada?” (hlm. 127) dan “Apa perbedaan antara sekali, sekali-sekali, sesekali, dan sekali-kali?” (hlm. 133). Banyak penutur bahasa Indonesia masih salah dalam penggunaannya.

Sesuai judul subbabnya, di bagian ketiga buku ini Ivan Lanin khusus membahas mengenai ragam baku bahasa Indonesia. Sampean pernah membaca meme yang memuat pertanyaan, “Jika naik berarti ke atas dan masuk berarti ke dalam, keluar berarti apa?” Saya yakin, sampean dapat menjawab pertanyaan tersebut setelah membaca buku ini.

Tiap tulisan dalam buku ini berdiri sendiri. Tak saling berkait. Dengan demikian, Sampean dapat memulai dan mengakhiri membaca dari mana pun. Itu juga satu kelebihan tersendiri. Cocok dibaca disela kesibukan. Seperlunya.

Oh ya, tentu saja masih ditemukan beberapa kekurangan dan kesalahan dalam buku ini. Biasa. Bukankah tak ada gading yang tak retak?

Sebagai orang yang sering kepo, saya agak terganggu dengan absennya keterangan mengenai nama-nama panggilan dan bahkan akun Twitter yang disebutkan dalam beberapa tulisan Ivan Lanin. Tersebut misalnya Pak Neil (hlm. 28), Mas Pujiono (hlm. 31), Arka (hlm. 42), serta Pak Baty dan Bu Daisy (hlm. 80). Akan lebih baik jika ada catatan kaki atau penyebutan secara lengkap di awal narasi sebelum menyebutkan panggilan. Ivan Lanin bukan tak pernah melakukannya. Di halaman 94. Ia menulis dengan lengkap nama Pak Eddie Notowidigdo dan Pak Peter Rietbergen. Selanjutnya, Ivan Lanin hanya menyebut Pak Eddie dan Pak Peter.

Di beberapa halaman masih terdapat salah tik dan kurang cermat dalam menambahkan tanda baca. Contoh lawang sebagai padanan kata gate tertulis lawing. (hlm. 55) “stylusadalah” mestinya ditulis stylus adalah. (hlm. 63) Kurang kurtup setelah mengisap di halaman 127.

Ivan Lanin satu-dua kali juga tak menjelaskan sesuatu secara lengkap. Misalnya, saat ia membahas mengenai asal usul kata kepo. Ia hanya menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa Cina dialek Hokkian. Padahal, ada sumber lain menyebutkan bahwa kepo merupakan akronim dari Knowing Every Particular Object. Pingin tau aja. 

Di halaman lain, Ivan Lanin juga hanya menyebutkan bahwa ikhwal p dalam mempunyai tak luluh adalah soal kebiasaan belaka. (hlm. 158) Ia mungkin lupa bahwa hal ini pernah pula diterangkan dalam rubrik bahasa di Kompas. Disebutkan di sana, p tak sama luluh dengan kata berawal huruf KTSP lainnya, karena kata dasarnya bukan punya, melainkan empunya.

Ivan Lanin memasukkan acapkali sebagai bagian dari 52 kata majemuk yang ditulis serangkai. Dalam KBBI V tersua bahwa acapkali ditulis terpisah.

Namun, dengan segala keterbatasannya, buku Ivan Lanin ini relevan dengan kondisi kekinian. Sebagian orang Indonesia lebih senang menggunakan bahasa asing, khususnya Inggris, daripada bahasa Indonesia. Mereka cenderung merasa kurang gaya kalau tak menggunakan atau menyelipkan bahasa Inggris dalam cakapan atau tulisannya.

Dalam konteks kritik post-kolonial, sikap minder dalam berbahasa ibu merupakan jejak kolonialisme. Penjajahan dalam arti fisik memang telah berakhir, tapi penjajahan psikis dalam bahasa, sastra, dan kebudayaan terus berlangsung. Bangsa yang pernah atau masih terjajah kerap mengalami krisis identitas. Mereka mudah kagum dan sekaligus cemburu terhadap yang asing. Termasuk dalam berbahasa. Kerap menggunakan kata dalam bahasa Inggris meski kata tersebut memiliki padanan dalam bahasa Indonesia boleh jadi merupakan contohnya. Diduga, penutur merelasikan begitu saja antara nginggris dan pikiran modern.

Kita memang harus “mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing.” Namun, menguasai bahasa asing tak lantas sama dengan mencampuradukkan bahasa.

Secara redah hati, Ivan Lanin memang mengaku bahwa ia bukanlah munsyi bahasa Indonesia. (hlm. xvii) Namun, melalui perbincangan—kalau boleh saya sebut begitu—yang ia bukukan ini, menurut saya, Ivan Lanin berhasil membuat kita diam-diam bermenung. Ternyata, acap kali kita abai berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Di sisi lain, penerbitan buku ini membuktikan bahwa siapa pun dan dengan latar belakang apa pun dapat mempelajari bahasa Indonesia. Bagaimana menurut sampean?•fgs




Tulisan ini adalah versi lebih panjang dari resensi
yang dimuat pertama kali di Koran Jakarta pada 13 Juli 2018.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar