Senin, 17 September 2018

Melihat Kemiskinan dengan Kacamata Lain [Resensi “Tempat Terbaik di Dunia” – Roanne van Voorst]






Data Buku
Judul: Tempat Terbaik di Dunia: Pengalaman Seorang Antropolog 
Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta
Penulis: Roanne van Voorst
Penerjemah: Martha Dwi Susilowati
Penerbit: Marjin Kiri, Tangerang Selatan
Cetakan: I, Juli 2018
Ukuran: 14 × 20,3 cm
Tebal: vi + 192 hlm.
ISBN: 978-979-1260-79-4



ROANNE VAN VOORST adalah seorang antropolog dari Belanda yang sedang mengumpulkan data untuk disertasinya. Dia meneliti respons masyarakat miskin terhadap banjir. Dalam buku ini, dia mengisahkan amatannya yang mendalam dan hidup atas kampung kumuh dan rawan banjir di Jakarta. Kini, kampung itu telah digusur oleh kuasa.

Awalnya, Roanne tak menemukan lokasi kampung yang tepat untuk dia teliti. Birokrat enggan berbagi informasi. Mereka berdalih bahwa lokasi itu rawan bencana. Kemiskinan juga menjadikan penduduk di sana menjadi jahat.

Di tengah keputusasaan, Roanne justru menemukan kampung itu tanpa dia duga. Seorang pengamen yang dia jumpai dalam bus kota, Tikus namanya, bukan nama sebenarnya, menawari Roanne, "Mau ikut?"

Roanne bertanya ke mana. Tikus menjawab, “Ke tempat terbaik di Indonesia. Eh, bukan, ke tempat terbaik di dunia!” (hlm. 10, 24)

Lebih lanjut, Tikus berpromosi, “Apa saja yang ingin kamu lakukan, bisa kaulakukan di sana, dan apa saja yang ingin kamu miliki, ada di sana.” (hlm. 12) Roanne manut. Dia mengikuti langkah Tikus menuju ke kampungnya.

Tempat terindah yang Tikus maksud ternyata kampung yang Roanne cari. Dalam buku ini, Roanne menyebut kampung itu Bantaran Kali. Tentu saja itu nama samaran. Sama dengan semua nama responden dalam buku ini. Biasa. Begitulah kelaziman etis dalam studi etnografis dengan metode observasi partisipatif.

Roanne menetap di kampung kumuh itu sekira setahun. Dia menyewa sebuah rumah dari papan dan asbes. Semakin lama dia semakin mengenal tetangganya dan keadaan hidup mereka: kemelaratan luar biasa, ancaman penggusuran karena pemukiman itu ilegal, dan terutama pergulatan mereka dengan banjir dari sungai yang sangat tercemar.

Masalah-masalah tersebut dihadapi penghuni pemukiman kumuh dengan biasa saja. Bahkan, acap kali justru kreatif, inovatif, dan jenaka. Dengan informatif, intim, dan penuh humor, Roanne memberikan wawasan unik tentang kehidupan penghuni kampung kumuh yang keras, tetapi pantang menyerah itu.

Di beberapa bagian dalam buku ini memang masih terasa nuansa orientalis. Wajar saja, bagaimana pun, Roanne adalah orang luar. Boleh jadi ada kesenjangan di sana. Namun, bukan itu pokoknya.

Melalui penerbitan buku ini, Roanne mematahkan prasangka negatif dari para pejabat dan kelas menengah atas Indonesia yang cenderung mencap penghuni kampung kumuh sebagai kriminal dan pemalas. Dia sekaligus juga menyangkal praduga positif dari sebagian aktivis dan peneliti yang kerap memandang persoalan riil kemiskinan secara romantik.

Nyatanya, Roanne membuktikan bahwa mereka bukan kumpulan orang-orang bejat atau pengantre zakat. Mereka memang tak ada dalam segala dokumen perencanaan pembangunan para birokrat. Namun, mereka hanyalah orang-orang yang berupaya menghargai hidup dan kehidupan dengan segala siasat.

Buku ini penting. Ia menyadarkan pembacanya bahwa cara pandang terhadap kemiskinan yang selama ini digunakan mungkin perlu ditinjau ulang. Ia mendorong pembacanya untuk merumuskan rencana aksi yang lebih adil dan beradab.

Selain seorang antropolog, Roanne adalah penulis buku-buku baik nonfiksi maupun fiksi. Debutnya diawali lewat Jullie zijn anders als ons: Jong en Allochtoon in Nederland (2010), buku tentang kaum muda imigran di Belanda. Dia meraih gelar doktor dengan predikat cum laude dari Universitas Amsterdam pada 2014. Penelitiannya tentang banjir di Indonesia melahirkan buku akademis Natural Hazards, Risk and Vulnerability: Floods and Slum Life in Indonesia (2015). Kisah pengalamannya dalam versi populer De Beste Plek ter Wereld: Leven in de Sloppen van Jakarta (2016) kemudian diterjemahkan menjadi Tempat Terbaik di Dunia: Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta ini.

Dalam suatu kesempatan, sambil tersenyum ragu, Roanne berkata, “Aku berharap bisa berbuat sesuatu untuk kalian.” Dia malu karena tak bisa berbuat apa-apa bagi warga Bantaran Kali.

"Kamu bisa menulis tentang kami, kan? ... Suara kami tak pernah didengar karena kami cuma penghuni kampung kumuh,” kata Tikus, “kata-katamu setidaknya masih akan mendapat perhatian!” (hlm. 184)

Penerbitan buku ini tentu tak serta-merta menjadikan harapan Tikus terpenuhi. Setidaknya, Roanne telah berupaya.•fgs



Tulisan ini adalah versi lebih panjang dari resensi
yang dimuat pertama kali di Koran Jakarta pada 30 Juli 2018.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar