“BESOK naik sepeda sampai Indomaret
yang samping gang itu ya, Abi,” ajak Mas Dhaya. Jarak tempuh dari rumah mertua
saya ke tempat yang ia maksud sekira 1,7 kilometer.
“Abi bisa pingsan, Nak. Itu terlalu
jauh,” jawab saya.
Ia heran. “Kok pingsan?” tanyanya.
Saya cerita padanya bahwa sebenarnya saya gemar
bersepeda. Dulu, saya bahkan sering berganti-ganti sepeda. Terakhir kali, saya
punya sepeda balap.
Tiap hari setidaknya saya bersepeda
sejauh 16 kilometer. Hari tertentu, saat saya mesti latihan karate, bisa 25
kilometer per hari.
Sejak bekerja, saya hampir tak pernah
olahraga. Tak sempat lagi. Hingga akhirnya, pada 2012, saya memutuskan membeli
sepeda gunung. Kombinasi merah-putih warnanya. Nasionalis sekali, bukan? Dan,
catat ini, harganya cukup mahal. Bagi kantong saya saat itu, tentu saja.
Namun, saya bayar juga. Banyak hal memang
harus kita bayar (meski) mahal toh? Contohnya, demokrasi. Saya tak akan mencontohkan harga BBM. Itu hal remeh bagi saya. Saya duga, kenaikan harga BBM lebih banyak dipersoalkan oleh kaum bermobil baru tetapi kredit yang mengantre premium atau paling-paling pertalite.
Nah, setelah sepeda gunung berwarna
merah-putih itu ada di teras rumah kontrakan saya, saya bertekad bersepeda
lagi. Saya tetapkan target: 5 kilometer. Pergi-pulang. Lumayan toh?
Maka, Minggu pagi, eh Ahad pagi maksud
saya—biar tampak Islami—botol di sepeda sudah saya isi penuh. Saya segera pamit
kepada istri saya, cium pipi kanan-kiri, kenakan helm, dan mulai mengayuh pedal
sepeda.
“Olahraga, Pak?” sapa tetangga yang
saya lewati.
Saya mengiakan dan tersenyum. Rasanya
keren sekali. Sepertinya, saya adalah makhluk Tuhan paling bergaya hidup sehat sealam semesta.
Setelah menempuh 400 meter, napas saya
mulai tak teratur. Genap 500 meter, saya berbalik arah. Pulang. Muka saya
pucat. Mata saya berkunang-kunang. Saya hampir pingsan.
Sampai rumah, sepeda saya biarkan di
halaman. Saya segera masuk dan terlentang. Istri saya mengakak.
Mendengar cerita saya itu, Mas Dhaya
semakin heran. “Aku masih anak dewasa aé
kuat, kok Abi sudah tua malah nggak
kuat?” tanyanya, “Piyé séh?”
Saya termangu. Saya mungkin sekali
pernah memberikan penjelasan kepadanya ketika ia belum kuat mengangkat beban
berat.
“Saat Mas Dhaya dewasa, insyaallah bisa
angkat yang lebih berat. Sekarang masih kecil. Wajar belum kuat,” kata saya.
Jika mau konsisten dengan bangun logika
itu, harusnya semakin tua akan semakin kuat. Semakin bertambah kebisaannya.
Kenyataan bahwa abinya justru melemah saat menua tentu mengherankan Mas Dhaya.
Sebenarnya, saya saja yang salah membangun
logika. Sebab, tak ada hubungan langsung antara kemampuan mengangkat beban
dengan kedewasaan; dengan pertambahan usia. Itu soal kekuatan otot. Ya,
termasuk otot hati untuk menanggung beban hidup.
Jadi, yang terjadi sesungguhnya adalah
kesalahan lompatan logika. Ada semacam korupsi pikiran di sana.
“Abi belum mampu sejauh itu lagi, Nak.
Harus berlatih dulu,” jawab saya.
Ia bersikeras, “Lo, makanya sama Mas
Dhaya diajak berlatih naik sepeda.”
“Yang dekat-dekat dulu ya, Nak,” tawar
saya, “åjå tiba-tiba jauh ngunu. Abi bisa pingsan.”
Tampaknya, ia kecewa. “Alasan aé Abi ini,” katanya.
Nah itulah. Semakin pintar membikin
alasan sajalah yang tampaknya terus bertambah seturut usia. Bukan kebisaan.
Setidaknya bagi saya.•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar