Rabu, 29 Agustus 2018

Bersepeda


“BESOK naik sepeda sampai Indomaret yang samping gang itu ya, Abi,” ajak Mas Dhaya. Jarak tempuh dari rumah mertua saya ke tempat yang ia maksud sekira 1,7 kilometer.
“Abi bisa pingsan, Nak. Itu terlalu jauh,” jawab saya.
Ia heran. “Kok pingsan?” tanyanya.

Saya cerita padanya bahwa sebenarnya saya gemar bersepeda. Dulu, saya bahkan sering berganti-ganti sepeda. Terakhir kali, saya punya sepeda balap.
Tiap hari setidaknya saya bersepeda sejauh 16 kilometer. Hari tertentu, saat saya mesti latihan karate, bisa 25 kilometer per hari.
Sejak bekerja, saya hampir tak pernah olahraga. Tak sempat lagi. Hingga akhirnya, pada 2012, saya memutuskan membeli sepeda gunung. Kombinasi merah-putih warnanya. Nasionalis sekali, bukan? Dan, catat ini, harganya cukup mahal. Bagi kantong saya saat itu, tentu saja.
Namun, saya bayar juga. Banyak hal memang harus kita bayar (meski) mahal toh? Contohnya, demokrasi. Saya tak akan mencontohkan harga BBM. Itu hal remeh bagi saya. Saya duga, kenaikan harga BBM lebih banyak dipersoalkan oleh kaum bermobil baru tetapi kredit yang mengantre premium atau paling-paling pertalite.
Nah, setelah sepeda gunung berwarna merah-putih itu ada di teras rumah kontrakan saya, saya bertekad bersepeda lagi. Saya tetapkan target: 5 kilometer. Pergi-pulang. Lumayan toh?
Maka, Minggu pagi, eh Ahad pagi maksud saya—biar tampak Islami—botol di sepeda sudah saya isi penuh. Saya segera pamit kepada istri saya, cium pipi kanan-kiri, kenakan helm, dan mulai mengayuh pedal sepeda.
“Olahraga, Pak?” sapa tetangga yang saya lewati.
Saya mengiakan dan tersenyum. Rasanya keren sekali. Sepertinya, saya adalah makhluk Tuhan paling bergaya hidup sehat sealam semesta.
Setelah menempuh 400 meter, napas saya mulai tak teratur. Genap 500 meter, saya berbalik arah. Pulang. Muka saya pucat. Mata saya berkunang-kunang. Saya hampir pingsan.
Sampai rumah, sepeda saya biarkan di halaman. Saya segera masuk dan terlentang. Istri saya mengakak.
Mendengar cerita saya itu, Mas Dhaya semakin heran. “Aku masih anak dewasa kuat, kok Abi sudah tua malah nggak kuat?” tanyanya, “Piyé séh?
Saya termangu. Saya mungkin sekali pernah memberikan penjelasan kepadanya ketika ia belum kuat mengangkat beban berat.
“Saat Mas Dhaya dewasa, insyaallah bisa angkat yang lebih berat. Sekarang masih kecil. Wajar belum kuat,” kata saya.
Jika mau konsisten dengan bangun logika itu, harusnya semakin tua akan semakin kuat. Semakin bertambah kebisaannya. Kenyataan bahwa abinya justru melemah saat menua tentu mengherankan Mas Dhaya.
Sebenarnya, saya saja yang salah membangun logika. Sebab, tak ada hubungan langsung antara kemampuan mengangkat beban dengan kedewasaan; dengan pertambahan usia. Itu soal kekuatan otot. Ya, termasuk otot hati untuk menanggung beban hidup.
Jadi, yang terjadi sesungguhnya adalah kesalahan lompatan logika. Ada semacam korupsi pikiran di sana.
“Abi belum mampu sejauh itu lagi, Nak. Harus berlatih dulu,” jawab saya.
Ia bersikeras, “Lo, makanya sama Mas Dhaya diajak berlatih naik sepeda.”
“Yang dekat-dekat dulu ya, Nak,” tawar saya, “åjå tiba-tiba jauh ngunu. Abi bisa pingsan.”
Tampaknya, ia kecewa. “Alasan Abi ini,” katanya.
Nah itulah. Semakin pintar membikin alasan sajalah yang tampaknya terus bertambah seturut usia. Bukan kebisaan. Setidaknya bagi saya.•fgs


Tidak ada komentar:

Posting Komentar