Selasa, 24 Juli 2018

Olahraga


SEMUA perempuan di ruang rapat berteriak histeris segera setelah saya memakai kaus polo pesanan. Kaus seragam. Warnanya merah. Laras dengan warna lembaga kami. Kaus itu terasa pas di tubuh saya. Maklum, saya memesan kaus dengan ukuran XS. Ukuran terkecil di antara kawan-kawan.

Ketika memakai kaus itu, otot dada saya yang tak lagi terlatih menjadi sedikit menonjol. Perut tampak ramping. Jelas membikin histeria, bukan?

“Kamu apa-apaan sih, Feb. Aku aja pesen M. Kok kamu XS,” kata Mbak GS. Kesal.

Kawan yang lain, laki-perempuan, segera berebut menimpali. Saya tertawa.

“Aku wis nakoni ping pindho. Dudu salahku lho, yå,” kata Mas AR. Tak mau dipersalahkan. Ia yang pesan.

Mbak A bahkan menyempatkan memotret saya. Dia unggah ke grup Whatsapp. “FO termuda, dilihat dari ukuran kaos,” terangnya.

Acap kali, kita termakan iklan. Kapitalisme membikin kita semakin tersiksa peduli dengan ukuran. Lihat saja, iklan rokok di jalan-jalan. “Long size lebih asyik,” kata salah satu jenama rokok terkenal. Iklan yang lain sama saja, mulai beha, makanan cepat saji, sampai iklan Mak Erot. Tetiba semua hanyalah soal ukuran. Bukan rasa. Halah!

Anehnya, soal ukuran kaus ini, yang pesan ukuran M, L, XL, apalagi XXL malah merasa tertekan ketika ada yang memakai ukuran lebih kecil. Apalagi ukuran XS. Itu bentuk inkonsistensi, saya kira. Bukankah pelbagai iklan tadi justru mengunggulkan yang lebih besar dan panjang? Harusnya, mereka bahagia dengan ukuran mereka (yang besar itu).

Mereka tak tahu bahwa memakai ukuran XS sama sekali tak membuat bangga. Susah, malah.

Sejak dulu, saya sering bermasalah dengan ukuran baju. Saya sulit mencari ukuran yang benar-benar pas. Jika tak terlalu besar, pasti terlalu kecil. Ketika menemukan yang pas di badan, bagian perut atau lengannya terlalu cingkrang.

Kaus seragam tim tempo hari juga demikian. Bagian lengannya terlalu pendek. Saya agak tak nyaman memakainya.

Saya kira, menambah massa otot lengan adalah solusinya. Maka, saya segera berlatih di pusat kebugaran yang tersedia di hotel tempat saya menginap. Saya sempatkan pemanasan dan peregangan dulu. Nganu, warming up ya istilahnya, bukan foreplay. Sama-sama pemanasan, tapi beda peruntukan. Lebih enak foreplay, sih.

Sayang, akibat terlalu bersemangat, saya lupa tak melakukan pendinginan. Dua belas jam pertama setelah angkat beban, hanya njarêm. Nyeri. Tengah malam, saya terbangun. Lengan saya tak dapat digerakkan. Sakit luar biasa.

Saya olesi krim pereda nyeri otot. Tak membaik. Saya beli minyak urut. GP*. Eh, bungkusnya ramah terhadap penyandang tunanetra, ya. Ada huruf brailenya. Baguslah.

Omong-omong, sampai sekarang, nyeri otot lengan saya belum reda. Itulah, memakai baju dengan standar yang diterapkan oleh industri di satu sisi memang memudahkan—memudahkan mengukur diri sendiri dan orang lain untuk keperluan belanja. Memenuhi kepentingan kapitalis pada akhirnya—dan di sisi lain menyusahkan diri sendiri.

Bayangkan, ukuran kita “dipaksa” masuk kategori mereka: XS, S, M, L, XL, XXL, dan XXXL. Ngunu kok yå gêlêm. Kok menurut saja. Idealnya, kita pakai baju sesuai ukuran tubuh kita. Sama, begitu juga dengan hidup. Jika ingin bahagia, berhentilah memakai standar ukuran orang lain. Kira-kira begitu•fgs






Tidak ada komentar:

Posting Komentar