SEMUA
perempuan di ruang rapat berteriak histeris segera setelah saya memakai kaus
polo pesanan. Kaus seragam. Warnanya merah. Laras dengan warna lembaga kami.
Kaus itu terasa pas di tubuh saya. Maklum, saya memesan kaus dengan ukuran XS. Ukuran
terkecil di antara kawan-kawan.
Ketika
memakai kaus itu, otot dada saya yang tak lagi terlatih menjadi sedikit
menonjol. Perut tampak ramping. Jelas membikin histeria, bukan?
“Kamu
apa-apaan sih, Feb. Aku aja pesen M. Kok kamu XS,” kata Mbak GS.
Kesal.
Kawan
yang lain, laki-perempuan, segera berebut menimpali. Saya tertawa.
“Aku
wis nakoni ping pindho. Dudu salahku lho, yå,” kata Mas AR. Tak
mau dipersalahkan. Ia yang pesan.
Mbak
A bahkan menyempatkan memotret saya. Dia unggah ke grup Whatsapp. “FO termuda,
dilihat dari ukuran kaos,” terangnya.
Acap
kali, kita termakan iklan. Kapitalisme membikin kita semakin tersiksa
peduli dengan ukuran. Lihat saja, iklan rokok di jalan-jalan. “Long size lebih asyik,” kata salah satu
jenama rokok terkenal. Iklan yang lain sama saja, mulai beha, makanan cepat
saji, sampai iklan Mak Erot. Tetiba semua hanyalah soal ukuran. Bukan rasa. Halah!
Anehnya,
soal ukuran kaus ini, yang pesan ukuran M, L, XL, apalagi XXL malah merasa
tertekan ketika ada yang memakai ukuran lebih kecil. Apalagi ukuran XS. Itu
bentuk inkonsistensi, saya kira. Bukankah pelbagai iklan tadi justru mengunggulkan
yang lebih besar dan panjang? Harusnya, mereka bahagia dengan ukuran mereka
(yang besar itu).
Mereka
tak tahu bahwa memakai ukuran XS sama sekali tak membuat bangga. Susah, malah.
Sejak
dulu, saya sering bermasalah dengan ukuran baju. Saya sulit mencari ukuran yang
benar-benar pas. Jika tak terlalu besar, pasti terlalu kecil. Ketika menemukan yang
pas di badan, bagian perut atau lengannya terlalu cingkrang.
Kaus
seragam tim tempo hari juga demikian. Bagian lengannya terlalu pendek. Saya
agak tak nyaman memakainya.
Saya
kira, menambah massa otot lengan adalah solusinya. Maka, saya segera berlatih
di pusat kebugaran yang tersedia di hotel tempat saya menginap. Saya sempatkan
pemanasan dan peregangan dulu. Nganu, warming up ya istilahnya, bukan foreplay. Sama-sama pemanasan, tapi beda
peruntukan. Lebih enak foreplay, sih.
Sayang,
akibat terlalu bersemangat, saya lupa tak melakukan pendinginan. Dua belas jam
pertama setelah angkat beban, hanya njarêm.
Nyeri. Tengah malam, saya terbangun. Lengan saya tak dapat digerakkan. Sakit
luar biasa.
Saya
olesi krim pereda nyeri otot. Tak membaik. Saya beli minyak urut. GP*. Eh,
bungkusnya ramah terhadap penyandang tunanetra, ya. Ada huruf brailenya.
Baguslah.
Omong-omong,
sampai sekarang, nyeri otot lengan saya belum reda. Itulah, memakai baju dengan
standar yang diterapkan oleh industri di satu sisi memang memudahkan—memudahkan
mengukur diri sendiri dan orang lain untuk keperluan belanja. Memenuhi
kepentingan kapitalis pada akhirnya—dan di sisi lain menyusahkan diri sendiri.
Bayangkan,
ukuran kita “dipaksa” masuk kategori mereka: XS, S, M, L, XL, XXL, dan XXXL. Ngunu kok yå gêlêm. Kok menurut saja.
Idealnya, kita pakai baju sesuai ukuran tubuh kita. Sama, begitu juga dengan
hidup. Jika ingin bahagia, berhentilah memakai standar ukuran orang lain. Kira-kira begitu•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar