Minggu, 01 Juli 2018

Rupanya, Libur T’lah Usai...


MAS DHAYA terlibat percakapan dengan ummi-nya. Kemarin sore. Saya lèyèhan di lantai. Di sampingnya.

“Besok, kalau aku (me)nangis, pulangnya besoknya lagi . Pagi sekali,” katanya.

“Alasan,” komentar ummi-nya, “terus kamu berencana mau (me)nangis besok?”

Mas Dhaya tertawa. Jawabnya, “Iya. Aku masih kangen sama abi.”

Hèlèh, kamu gêmbèng kåyåk abi-mu,” ejek ummi-nya.

Ia beringsut memeluk saya. Erat. Saya cium rambutnya.

...

Saya suka makan di rumah makan. Mas Dhaya juga. Tak berarti harus mahal. Acap kali kami beli warungan. Kadang, saya malah mengira, ia tak benar-benar ingin makan di rumah makan. Ia hanya menginginkan kebersamaan dengan abi-ummi-nya. Nyatanya, ia mengingat semua hal ketika makan bersama itu. Semuanya.

Sebelum makan, ia masih sering mengingatkan saya, “Cuci tangan dulu sebelum makan, Abi.”

Setelah saya mengiyakan, ia segera bergegas ke wastafel. Mendahului saya. “Ayo, lomba cuci tangan sama Mas Dhaya,” katanya.

...

Tadi pagi, saat ummi-nya masih mandi, Mas Dhaya menatap saya. Lama. Saya pura-pura tak tahu. Tetiba, ia memeluk saya.

“Maaf ya, Abi. Mas Dhaya nanti siang balik ke rumah nenek. Mas Dhaya harus sekolah,” katanya, “kalau Abi masih kangen sama Mas Dhaya, Mas Dhaya baliknya besok-besok saja.”

Saya gagal menyembunyikan air mata. Ia pun berkaca-kaca.

“Abi tentu masih kangen Mas Dhaya. Selalu kangen, Nak,” jawab saya, “tapi, besok hari pertama sekolah. Mas Dhaya sudah PAUD B-2 sekarang. Harus semakin rajin belajar. Setelah ini, sudah kelas 1 SD, bukan?”

Ia mengangguk.

...

Siang tadi, saya mengantar Mas Dhaya dan ummi-nya nyêgat bus di depan alun-alun Tuban. Saya berencana memotret Mas Dhaya dari luar bus. Gagal. Bus penuh dan segera berangkat. Mas Dhaya naik bus sambil menatap saya. Matanya basah.

Saya tersenyum. Sekuatnya.

Sampai depan kamar indekos, saya sedih. Ada sandal Mas Dhaya di samping pintu. Sebulan terakhir, selalu terdengar suara Mas Dhaya dan ummi-nya. Pesantren libur. Mereka menemani saya.

Biasanya, Mas Dhaya akan berteriak menyambut kedatangan saya. “Abiiii. Yey, yey, Abi datang,” demikian katanya ceria sambil memeluk saya. Akhir-akhir ini, ia lebih senang bersembunyi di kolong dipan ketika mendengar langkah kaki saya mendekati kamar. Saya akan pura-pura mencarinya sambil bertanya-tanya, “Di mana ya anak pinter sayangannya abi?”

Ia akan tertawa dan berteriak, “Abi, Abi, aku di sini.”

Duhai, betapa cepatnya waktu berlalu...•fgs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar