MAS
DHAYA terlibat percakapan dengan ummi-nya.
Kemarin sore. Saya lèyèhan di lantai.
Di sampingnya.
“Besok,
kalau aku (me)nangis, pulangnya besoknya lagi aé. Pagi sekali,” katanya.
“Alasan,”
komentar ummi-nya, “terus kamu berencana
mau (me)nangis besok?”
Mas
Dhaya tertawa. Jawabnya, “Iya. Aku masih kangen sama abi.”
“Hèlèh, kamu gêmbèng kåyåk abi-mu,” ejek ummi-nya.
Ia
beringsut memeluk saya. Erat. Saya cium rambutnya.
...
Saya
suka makan di rumah makan. Mas Dhaya juga. Tak berarti harus mahal. Acap kali kami
beli warungan. Kadang, saya malah mengira, ia tak benar-benar ingin makan di rumah
makan. Ia hanya menginginkan kebersamaan dengan abi-ummi-nya. Nyatanya, ia mengingat semua hal ketika makan bersama
itu. Semuanya.
Sebelum
makan, ia masih sering mengingatkan saya, “Cuci tangan dulu sebelum makan, Abi.”
Setelah
saya mengiyakan, ia segera bergegas ke wastafel. Mendahului saya. “Ayo, lomba cuci
tangan sama Mas Dhaya,” katanya.
...
Tadi
pagi, saat ummi-nya masih mandi, Mas
Dhaya menatap saya. Lama. Saya pura-pura tak tahu. Tetiba, ia memeluk saya.
“Maaf
ya, Abi. Mas Dhaya nanti siang balik ke rumah nenek. Mas Dhaya harus sekolah,”
katanya, “kalau Abi masih kangen sama Mas Dhaya, Mas Dhaya baliknya besok-besok
saja.”
Saya
gagal menyembunyikan air mata. Ia pun berkaca-kaca.
“Abi
tentu masih kangen Mas Dhaya. Selalu kangen, Nak,” jawab saya, “tapi, besok
hari pertama sekolah. Mas Dhaya sudah PAUD B-2 sekarang. Harus semakin rajin
belajar. Setelah ini, sudah kelas 1 SD, bukan?”
Ia
mengangguk.
...
Siang
tadi, saya mengantar Mas Dhaya dan ummi-nya nyêgat
bus di depan alun-alun Tuban. Saya berencana memotret Mas Dhaya dari luar bus.
Gagal. Bus penuh dan segera berangkat. Mas Dhaya naik bus sambil menatap saya. Matanya
basah.
Saya
tersenyum. Sekuatnya.
Sampai
depan kamar indekos, saya sedih. Ada sandal Mas Dhaya di samping pintu. Sebulan
terakhir, selalu terdengar suara Mas Dhaya dan ummi-nya. Pesantren libur. Mereka menemani saya.
Biasanya,
Mas Dhaya akan berteriak menyambut kedatangan saya. “Abiiii. Yey, yey, Abi
datang,” demikian katanya ceria sambil memeluk saya. Akhir-akhir ini, ia lebih senang
bersembunyi di kolong dipan ketika mendengar langkah kaki saya mendekati kamar.
Saya akan pura-pura mencarinya sambil bertanya-tanya, “Di mana ya anak pinter
sayangannya abi?”
Ia
akan tertawa dan berteriak, “Abi, Abi, aku di sini.”
Duhai,
betapa cepatnya waktu berlalu...•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar