APA
kabar, Bu?
Senang
ya Bu, akhirnya njênêngan dan Mas
Emil—saya memanggilnya Mas Emil saja
ya, Bu? Biar gayêng. Seperti moto njênêngan saat berkampanye itu lo, guyub kerjåné, gayêng rakyaté—memenangi Pilkada Jawa Timur melalui suara
terbanyak. Saya ikut senang meski tak sampai menangis haru seperti njênêngan. Ndak åpå-åpå tå, Bu?
Kalau
dipikir-pikir, saya ini termasuk fan njênêngan
lo. Buktinya, saya membaca berita-berita tentang njênêngan. Bersumber dari berita-berita itu pula, saya jadi tahu,
setidaknya 3 momen terkait jabatan yang membuat njênêngan menangis.
Pertama,
saat njênêngan ditunjuk menjadi
menteri sosial oleh Pak Jokowi. Pada Ahad Pon, 26 Oktober 2014, di Istana
Negara, sambil berderai air mata, njênêngan
mengatakan, “Saya nangis karena mendapat amanah yang harus saya
pertanggungjawabkan dunia dan akhirat.”
Itu
sungguh mengharukan, Bu. Tak banyak orang menginsafi bahwa sejatinya jabatan
itu adalah amanah yang mesti dipertanggungjawabkan fid-dunyā wal ‘akhirah. Berat lo, itu. Yang lain ndak akan sanggup. Biar njênêngan saja.
Kedua,
njênêngan menangis saat memberikan
sambutan di atas panggung sebelum berangkat mendaftar ke KPU Jatim. Itu
terjadi pada 10 Januari 2018. Ketiga, kemarin saat hitung cepat lembaga survei
menunjukkan bahwa perolehan suara njênêngan
dan Mas Emil lebih banyak dibandingkan Gus Ipul dan Mbak Puti.
Tajuk
di Jpnn.com begini: Bu Khofifah Menangis, Makin Haru saat Emil
Ucapkan Doa. Tentu saja Emil yang dimaksud dalam hal ini adalah Dr. Emil
Elestianto Dardak, M.Sc., bukan Emil satunya meski ia sama-sama memenangi
pilkada.
Jujur
ya, Bu. Saya sebenarnya ndak terlalu
kaget perolehan suara njênêngan
unggul kok. Wong ini kali ketiga njênêngan mencalonkan diri. Selama itu
pula, njênêngan berproses. Jadi,
kalau sekarang menang, wés wayahé! Begitu
bukan, moto lain njênêngan?
Saat
njênêngan diberitakan menggelar
syukuran bersama puluhan pengemudi ojek daring, sekali lagi saya ikut senang. Ndak ikut senang piye, wong ada calon
gubernur yang pandai bersyukur kok? Bahwa hitungan resmi KPU belum ditetapkan,
itu persoalan lain. Måsåk bersyukur
saja harus ngêntèni pengumuman resmi
apalagi menunggu menang?
Lo,
ini serius, Bu. Bahkan kalah pun, selain harus diterima dengan ikhlas, perlu
disyukuri juga. Wong itu ketetapan
Gusti Allah kok. Itu pasti yang terbaik. Bisa jadi Gusti Allah sedang menghindarkan kita dari sikap zalim dan aniaya ketika kuasa. Kan begitu tå, Bu?
Lagi
pula, hitung cepat sementara Pilkada Jawa Timur berdasarkan entri Model C1 yang
dihimpun oleh KPU sampai dengan kemarin, pukul 17.29 WIB—meskipun baru selesai
97,08%—menunjukkan bahwa njênêngan
mendapatkan 10.175.705 suara (53,62%). Itu jelas mengungguli Gus Ipul dan Mbak
Puti yang mendapatkan 8.802.098 suara (46.38%). Hitungan cepat versi KPU itu
tak jauh beda dengan hitungan Saiful Munjani Research and Consulting (SMRC),
Lembaga Survei Indonesia (LSI), dan Indikator Politik Indonesia.
Oh
ya Bu, sejak membaca surat ini, njênêngan
sudah minum air putih hangat? Itu minuman favorit njênêngan tå? Santai saja, Bu. Månggå.
Silakan ngunjuk dulu.
Omong-omong,
njênêngan ndak suka minum kopi tå,
Bu? Kata kawan-kawan saya, kopi itu paling nikmat diminum saat cangkrukan sambil merokok jêdhal-jêdhul. Klêpas-klêpus. Saya ndak
merokok, Bu. Tahu sendiri, sejak 2010, Muhammadiyah sudah memfatwa bahwa merokok
itu haram. Ah, tapi dengan atau tanpa fatwa itu, saya memang ndak merokok ding.
Soal
pilkada Bu, bagi saya, ada yang selalu menarik diperhatikan dalam tiap-tiap
penyelenggaraannya. Tingkat partisipasi masyarakat.
Mari
kita ingat lagi, Bu. Tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilkada Jawa Timur pada
2008 hanya 59%. Sampai-sampai, Kompas.com
memberitakan, “Pemilih Golput menjadi ‘pemenang’
dalam Pilkada Gubernur Jawa Timur periode 2008-2013 yang digelar 23 Juli 2008.
Angka golput jauh melebihi perolehan suara lima kandidat yang bertarung dalam
pilkada.” Itu kali pertama njenengan
mencalonkan diri sebagai gubernur, bukan?
Pada
2013, tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilkada Jawa Timur tercatat 61%. Dua
persen lebih tinggi daripada periode sebelumnya. Kali ini, 2018, masih
berdasarkan hitung cepat KPU, tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilkada Jawa
Timur tercatat 67,24%. Jumlah suara sah adalah 18.967.975 (96%) dan jumlah
suara tidak sah 757.337 (3%). Sekali lagi, hitungan itu belum final.
Artinya,
tingkat golput kita masih 32,76%. Itu baru dihitung dari jumlah orang yang tak
memberikan suara. Persentasenya akan bertambah jika kita menjumlahkan data itu
dengan suara tak sah.
Sebab
Bu, golput itu, biar gampang kita mengelompokkannya, terdiri atas golput
ideologis dan golput nonideologis. Kita sebut sebagai golput ideologis ketika seseorang
sengaja membikin suaranya tak sah (misalnya, merusak surat suara, mencoblos
semua gambar, atau menulis pesan perlawanan di kertas suara) atau sengaja tak
hadir ke TPS, padahal namanya ada dalam DPT, memiliki kelengkapan administratif
untuk memilih, dan mampu nyoblos. Tujuan
mereka jelas: menyampaikan pesan perlawanan. Baik moral, intelektual, maupun
spiritual.
Golput
jenis ini tak begitu saja percaya bahwa suaranya dapat serta merta mengubah segalanya
selama 5 tahun ke depan. Omong kosong. Kok kåyå
sulapan saja. Ada banyak hal yang menjadikan perubahan menjadi mungkin terjadi.
Misalnya, kelompok kepentingan (interest
group) dan kelompok penekan (pressure
group) istikamah dalam mengartikulasikan kepentingan rakyat. Lalu,
supremasi hukum. Banyak lainnya. Bukan cuma urusan nyoblos. Kalau hanya urusan itu, kambing jantan juga bisa.
Bagi
golput ideologis, yang terpenting memang bukan partisipasi selama 5 menit dalam
bilik TPS itu, tetapi partisipasi dalam mengawal pemerintahan selama 5 tahun ke
depan. Sebab, sejatinya, dalam kurun waktu itulah masa depan rakyat justru sedang
dipertaruhkan.
Itulah
Bu, siapa bilang golput bukan pilihan?
Dalam sistem demokrasi, golput jelas sebuah alternatif. Golput sesungguhnya
merupakan sikap warga negara yang bertanggungjawab. Mereka tak mau menjadikan
masa depan bangsa sebagai ajang coba-coba. Mereka tak sudi menyerahkan
kepemimpinan kepada perusak lingkungan, tengkulak neo-liberalisme, koruptor, orang
yang hanya memperturut syahwat, dan seterusnya. Pada aras ini, golput boleh
jadi merupakan bentuk ketakpercayaan publik (public distrust) dan bahkan pembangkangan sipil (civil disobedient).
Nah,
sedangkan golput nonideologis adalah seseorang yang tak memberikan suara karena
argumentasi nonideologis. Misalnya, malas berangkat ke TPS dan alasan-alasan
lain yang dalam istilah kawan saya disebut sebagai alasan yang ndak syar’iyah.
Kadang
saya juga masih bimbang kok Bu, lebih baik mana antara golput nonideologis
dan partisipasi simbolik nonelit? Ah, itu pertanyaan nonesensial ya, Bu?
Apa pun itu, golongan-golongan tersebut berpotensi menjadi oposan. Termasuk dalam hal ini adalah oposan yang... ya, paling-paling menjadi apatis dan malas nyoblos pada 5 tahun mendatang.
Apa pun itu, golongan-golongan tersebut berpotensi menjadi oposan. Termasuk dalam hal ini adalah oposan yang... ya, paling-paling menjadi apatis dan malas nyoblos pada 5 tahun mendatang.
Yang
pasti, saatnya njênêngan dan Mas Emil merealisasikan janji-janji. Kerja jujur, Jawa Timur teratur dan kerja bersama untuk Jatim sejahtera itu
mestinya kan ndak hanya indah saat masa
kampanye tå, Bu? Rakyat pasti menanti
dan (akan) menagih janji.
Jangan
hanya menangis ya, Bu. Apalagi di depan awak media. Menangislah di kesunyian
bersama-Nya dan gunakan kuasa sebesar-besarnya untuk rakyat.
Sekian
dulu inggih, Bu. Lama saya tak
menulis surat panjang begini. Terakhir kali saya lakukan pada belasan tahun
lalu. Untuk pacar saya. Sama. Intinya, kalau bukan karena sayang, mana mau saya
melakukannya.
Sekali
lagi, selamat ya, Bu... •fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar