Sabtu, 07 Juli 2018

Kematian


KEMATIAN itu dekat. Memahami itu, nyatanya, tak lantas membuat kita gentar dan bersiap. Sebagian orang mungkin telah cukup percaya diri dengan amalnya. Mereka telah berhitung dan meyakini dapat memborong banyak kaveling di surga. Tiap hari, mereka akan ditemani oleh puluhan bidadari molek dan (selalu) perawan. Impian khas kebanyakan lelaki.

Entahlah. Saya selalu berdebar ketika mengingat kematian. Dunia yang sekadar permainan dan tipu daya memang memuakkan. Namun, siapa yang tak gamang menghadapi ketakpastian? Harap-harap (seraya) cemas. Seperti mau menyatakan cinta.

Lima hari yang lalu, kawan saya meninggal. Ia orang PNPM Mandiri Perdesaan kesekian yang mati muda. Empat puluh tahun, usianya. Saya mengenalnya sebagai pribadi pendiam. Saya tak pernah mendengar ia mengeluhkan masalahnya. Saya juga tak pernah mendengar ia memperbincangkan keburukan kawannya. Ia orang baik.

Saya ber-ta’ziyah ke rumah duka di Lasem, Jawa Tengah. Paling-paling, Tuban-Lasem hanya 2 jam perjalanan dengan bus ekonomi.

Saya nyêgat bus di halte di Jalan dr. Wahidin, Tuban. Cukup lama, sampai ada bus berwarna merah yang berhenti.

Segera setelah saya naik, sopir bus menginjak pedal gas dalam-dalam. Ia berharap dapat mengejar bus di depannya. Warnanya kombinasi hijau dan abu-abu. Kedua bus beradu cepat. Saya yang biasa ngebut pun jeri dibuatnya. Saya khawatir, bus menabrak pengendara lain. Motor misalnya. Kasihan jika ada yang menjadi korban.

Benar saja. Di Bancar, bus yang saya tumpangi menyalip pikap dari sisi kiri. Sopir segera membanting setir ke kanan karena di depannya ada motor. Bus satunya menyalip pikap dari sisi kanan. Sopirnya segera membanting setir ke kiri karena dari arah berlawanan ada kendaraan lain. Kedua bus berbenturan keras.

Bayangkan, nyawa puluhan penumpang (dan pengendara lain) dipermainkan oleh orang lain. Sopir bus. Adakah yang protes? Tak satu pun. Termasuk saya.

Mungkin, itu wujud toleransi saya. Sama. Saya tak pernah protes ketika ada penerobos lampu merah. Saya juga tak pernah mengomel ketika pengendara motor di depan saya menyalakan sein sebelah kiri tetapi ujug-ujug belok ke kanan.

Kadang, saya memang khilaf. Saya masih geregetan ketika pengendara di belakang saya mengklakson saat lampu lalu lintas masih menyala merah. Sepertinya, mereka tergesa. Biasanya saya berkomentar, “Oalah, wång isih abang lho. Nèk kesusu mbåk yå budhal wingi (bu)bar subuhan.”

Lalu, mereka jadi malu? Oh, jelas tidak. Mereka merasa benar kok. Sama dengan para penyerobot antrean. Mereka akan marah dan balas mengomel. Bahkan lebih keras, panjang, dan tahan lama.

Pada akhirnya, saya sadar. Saya berupaya tak lagi menghalangi orang-orang yang melanggar rambu lalu lintas. Saya juga tak akan menegur orang yang kebut-kebutan di jalan umum. Perilaku mereka mungkin memang bodoh. Namun ingat, bodoh itu nyata-nyata merupakan hak setiap warga negara.

Selain itu, kedua perilaku itu ternyata punya nilai ibadah, yaitu semakin mendekatkan pelakunya kepada Yang Maha Kuasa. Kita harus toleran terhadap orang-orang yang sedang beribadah toh?•fgs


Tidak ada komentar:

Posting Komentar