KEMATIAN
itu dekat. Memahami itu, nyatanya, tak lantas membuat kita gentar dan bersiap.
Sebagian orang mungkin telah cukup percaya diri dengan amalnya. Mereka telah
berhitung dan meyakini dapat memborong banyak kaveling di surga. Tiap hari, mereka
akan ditemani oleh puluhan bidadari molek dan (selalu) perawan. Impian khas
kebanyakan lelaki.
Entahlah.
Saya selalu berdebar ketika mengingat kematian. Dunia yang sekadar permainan
dan tipu daya memang memuakkan. Namun, siapa yang tak gamang menghadapi
ketakpastian? Harap-harap (seraya) cemas. Seperti mau menyatakan cinta.
Lima
hari yang lalu, kawan saya meninggal. Ia orang PNPM Mandiri Perdesaan kesekian
yang mati muda. Empat puluh tahun, usianya. Saya mengenalnya sebagai pribadi
pendiam. Saya tak pernah mendengar ia mengeluhkan masalahnya. Saya juga tak
pernah mendengar ia memperbincangkan keburukan kawannya. Ia orang baik.
Saya
ber-ta’ziyah ke rumah duka di Lasem,
Jawa Tengah. Paling-paling, Tuban-Lasem hanya 2 jam perjalanan dengan bus ekonomi.
Saya
nyêgat bus di halte di Jalan dr.
Wahidin, Tuban. Cukup lama, sampai ada bus berwarna merah yang berhenti.
Segera
setelah saya naik, sopir bus menginjak pedal gas dalam-dalam. Ia berharap dapat
mengejar bus di depannya. Warnanya kombinasi hijau dan abu-abu. Kedua bus
beradu cepat. Saya yang biasa ngebut pun jeri dibuatnya. Saya khawatir, bus
menabrak pengendara lain. Motor misalnya. Kasihan jika ada yang menjadi korban.
Benar
saja. Di Bancar, bus yang saya tumpangi menyalip pikap dari sisi kiri. Sopir
segera membanting setir ke kanan karena di depannya ada motor. Bus satunya
menyalip pikap dari sisi kanan. Sopirnya segera membanting setir ke kiri karena
dari arah berlawanan ada kendaraan lain. Kedua bus berbenturan keras.
Bayangkan,
nyawa puluhan penumpang (dan pengendara lain) dipermainkan oleh orang lain.
Sopir bus. Adakah yang protes? Tak satu pun. Termasuk saya.
Mungkin,
itu wujud toleransi saya. Sama. Saya tak pernah protes ketika ada penerobos
lampu merah. Saya juga tak pernah mengomel ketika pengendara motor di depan
saya menyalakan sein sebelah kiri tetapi ujug-ujug belok ke kanan.
Kadang,
saya memang khilaf. Saya masih geregetan ketika pengendara di belakang saya mengklakson
saat lampu lalu lintas masih menyala merah. Sepertinya, mereka tergesa.
Biasanya saya berkomentar, “Oalah, wång
isih abang lho. Nèk kesusu mbåk yå budhal wingi (bu)bar subuhan.”
Lalu,
mereka jadi malu? Oh, jelas tidak. Mereka merasa benar kok. Sama dengan para
penyerobot antrean. Mereka akan marah dan balas mengomel. Bahkan lebih keras, panjang, dan tahan lama.
Pada
akhirnya, saya sadar. Saya berupaya tak lagi menghalangi orang-orang yang
melanggar rambu lalu lintas. Saya juga tak akan menegur orang yang
kebut-kebutan di jalan umum. Perilaku mereka mungkin memang bodoh. Namun ingat,
bodoh itu nyata-nyata merupakan hak setiap warga negara.
Selain
itu, kedua perilaku itu ternyata punya nilai ibadah, yaitu semakin mendekatkan
pelakunya kepada Yang Maha Kuasa. Kita harus toleran terhadap orang-orang yang sedang
beribadah toh?•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar