QAIS
jadi majenun. Ia terpisah dari Layla. Semua mafhum kecuali raja. Ia penasaran. Secantik
apa Layla gerangan hingga Qais tergila-gila dan sungguh-sungguh menggila.
Syahdan,
Layla dihadirkan. Raja menilai, “Ternyata kecantikanmu biasa saja.”
“Itu
karena,” jawab Layla, “matamu bukan mata Qais.”
Lihatlah,
betapa Layla menyadarkan bahwa sudut pandang mungkin berbeda. Keberterimaan boleh
jadi sesuai pengalaman. Hasrat ... ah, sudahlah, yang ini kita bicarakan lain kali
saja.
Yang
pasti, kita acap menilai liyan berdasarkan selera dan segala yang sesungguhnya
hanya melekat pada diri kita. Kita gagal memahami bahwa semua itu tak serta-merta
juga melekat pada selain kita. Agak aneh juga.
Bisa
sampean bayangkan, merpati menganggap bodoh dan hina kerbau yang hanya dapat
melenguh, berkubang lumpur, dan berjalan megal-megol pelan. Tak dapat terbang
bebas sepertinya. Merdeka.
Siapatah
tak pernah jatuh cinta? Begitu pun raja. Ia mungkin dapat mengerti derita Qais mengalami
cinta. Namun, dapatkah ia sungguh merasakannya?
Nyatanya
tidak. Bahkan, ia tak dapat mengindra kecantikan Layla. Lalu, bagaimana ia
dapat sebenar-benar peduli?
Mungkin
benar, cantik itu nisbi. Di sisi lain, kita toh tak pernah tahu isi hati raja
sampai ia menyatakannya, bukan?
Saya
jadi teringat keluhan kawan saya. “Istri saya masih sering mempertanyakan cinta
saya kepadanya,” katanya, “ternyata perempuan masih perlu cinta yang dinyatakan.”
Saya
tertawa. “Padahal, kami telah lama menikah dan mempunyai anak,” imbuhnya.
Kala
itu, saya tak sempat menceritakan kisah Layla-Qais ini kepadanya. Semoga nanti ia membacanya.
Akhirnya,
raja bertanya, “Apakah cintamu sama besar dengan cinta Qais kepadamu?”
“Tidak,”
jawab Layla, “justru cintaku yang lebih besar daripadanya.”
Raja
heran. Tanyanya, “Bagaimana bisa?”
“Cintanya
terejawantah, sedangkan cintaku tersembunyi,” jawab Layla.•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar