Senin, 11 Juni 2018

Namira, Kebersihan, dan Sate Babat


SELAMA Ramadan di Lamongan, saya dan kawan saya, Ariyo, kerap berburu takjil di Masjid Namira. Senin sampai dengan Kamis. Jumat, ia pulang ke Bojonegoro. Saat ia pulang dan saya tak balik ke Mojokerto, saya salat tarawih di Masjid al-Azhar, Muhammadiyah.

Ariyo selalu menjemput saya. Sepuluh menit sebelum waktu yang ditentukan, biasanya saya telah menunggunya di depan kos dengan gaya itu-itu saja: berkacamata, bersarung, berkaus, bertas selempang, dan bersandal jepit. Itu bisa jadi simbolisasi ustaz muda yang sedikit nakal dan banyak akal. Tipikal lelaki yang digandrungi perempuan. Halah, gombal!

Pukul 17.00 WIB, kami telah sampai Namira. Masing-masing, oleh panitia, diberi segelas air mineral, tiga biji kurma, dan—apabila beruntung—satu kupon yang dapat ditukar dengan nasi bungkus usai salat magrib. Menunya: nasi, sup, ayam goreng, telur, dan sambal secukupnya. Lumayan, bisa berhemat untuk makan malam. Sahurnya, pikir kèri.

Nah, selanjutnya, kami duduk dan menyimak tausiah. Materinya menarik. Tak hanya seputar ibadah pada Ramadan. Itu terlalu mainstream. Di Namira, berbagai-bagai tema kajian disampaikan, misalnya Makna Jihad Zaman Now. Ndak. Ndak gitu juga. Itu buatan saya saja. Intiné soal jihad. Saya lupa redaksionalnya. Ada soal makanan halal, silaturahmi, keluarga, dan sebagainya.

Terjadwal. Siapa (ustaz yang) menyampaikan (materi) apa pada kapan. Ada spanduk yang memuat jadwal itu. Transparan. Kalau mau, kita bisa hadir dalam kajian pada hari-hari tertentu sesuai tema yang kita perlu ketahui. Macam mahasiwa memilih mata kuliah itulah.

Biasanya, tausiah berakhir pada 1 menit sebelum berbuka puasa. Jemaah bersiap. Begitu azan magrib berkumandang, 3 butir kurma menjadi pembuka. Itu sunah Kangjeng Nabi. Jané, maksudé kuwi menunjukkan bahwa Kangjeng Nabi sahur dan berbuka dalam kesederhanaan. Kepalang, banyak dari kita êmoh angèl-angèl mikir. Kita hanya mengambil wadaknya saja. Kita baca sebuah teks, ambil makna tersurat, tanpa menimbang kemungkinan adanya makna tersirat, dan tanpa meletakkan teks itu dalam konteksnya.

Untungé kok blok-blokané kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme—halah!—memungkinkan kita menyantap kurma dengan begitu mudah. Lha kok kurma, mau minum zam-zam sabên dinå pun mudah. Tentu dengan harga yang sebanding. Kan, ånå rêgå ånå rupå?

Dalam konteks lokal, kita boleh saja mengganti kurma itu dengan kolak, es teh manis, atau apa pun yang berasa manis. Ndak usah aneh-aneh menambahkan kriteria manis itu dengan perhatian, setia, dan (apalagi) pintar. Wong yang manis saja belum tentu mau sama sampean.

Nah, segala yang manis tadi cukup semangkok kecil saja. Seingat saya ada riwayat yang menyebutkan bahwa pada 10 hari terakhir Ramadan, Kangjeng Nabi semakin mengurangi makan dan memperbanyak ibadah. Måsåk ora pingin niru Kangjeng Nabi?

Namun, ndak perlu berkecil hati nèk durung biså niru Kangjeng Nabi dengan berbuka kurma. Tirulah nilainya. Bukan berarti meniru beliau plêk itu salah. Atau, boleh tiru strategi saya lo, berburu takjil di masjid. Mêngko rak olèh air mineral dan kurmå. Ha-ha.

Sing ora têpak kuwi, ora ngêlakåni babar blas sak kabèhané. Padahal, kawit SD apal hadisé.

Contoh, menjaga kebersihan. Kita tentu sering dengar ungkapan “an-nazhāfatu minal īmān”. Kebersihan merupakan sebagian dari iman. Kita memercayainya sebagai hadis Kangjeng Nabi.

Sepengetahuan saya, ungkapan itu bukanlah hadis. Memang, ada hadis sahih yang senada dengannya. Ath-thuhūru syathrul īmān (H.R. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi). Bersuci itu setengah dari iman. Ath-thaharah (bersuci) berbeda dengan an-nazhafah (kebersihan). Tak bersih belum tentu tak suci. Yang bersih tak serta merta menjadi suci. Namun, patut disampaikan pula bahwa taharah secara maknawi memang berarti kebersihan.

Kecuali itu, kebersihan merupakan sebagian dari iman adalah ungkapan yang baik dan islami. Ungkapan ini didukung oleh hadis yang lain:

Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah baik dan mencintai kebaikan, bersih dan mencintai kebersihan, mulia dan mencintai kemuliaan, dermawan dan mencintai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumahmu dan janganlah kamu menyerupai orang Yahudi. (H.R. Tirmidzi)

Sayang, sering kali praktiknya dalam keseharian jauh dari tuntunan.

Di Namira, dus ruang publik, sehabis berbuka, bekas makan-minum dibiarkan berserak begitu saja. Banyak orang enggan membuang sampahnya sendiri. Padahal, petugas masjid telah menyediakan banyak tempat sampah berukuran besar dan berkali-kali mengingatkan jemaah. Saya berinisiatif membantu panitia untuk membersihkannya. Sekitar tempat kami duduk saja. Saya ajak Ariyo.

Lha iyå, ngrêsiki sing kétok aé kangèlan, ndahnéyå ngrêsiki sing ora kétok, kaya tå ngrêsiki ati lan pikiran. Ugå membersihkan harta dari hal-hal yang bukan haknya. Itu perilaku di ruang publik. Tidakkah itu cerminan perilaku di ruang privat?

Ngunu kuwi, diélingné yå nêsu kok. Muring-muring. Merasa benar. Gênti maido. Biså-biså malah takon, “Êndi dalilé sing ngongkon mbuang sampah?Oh, dalilé mbahmu kuwi.

Lha ngéné iki. Saya jadi jengkel. Uring-uringan. Ini kan jadi ndak sesuai dengan kepribadian yang dicontohkan Kangjeng Nabi. Duh Gusti, nyuwun pangapurå.

Saya dan Ariyo sedang menunggu satai-gulai pesanan

Usai salat isya, tarawih, dan witir, perut saya lapar lagi. Maklum, energi habis untuk bersih-bersih sampah dan terutama untuk marah. Saya minta tolong Ariyo untuk mengantar saya membeli satai dan gulai. “Ning depot cêdhak sêtopan kuwi lho,” kata saya. Tertera di depan depot:

JUAL
SATE KAMBING
GULE
BABAT

Saya membayangkan nikmatnya menyantap babat. Mungkin disatai? Saya belum pernah makan satai babat. Saya duga itu menu khas Lamongan.

Saya salah. Di depot itu hanya menjual satai kambing dan gulai. Babatnya? Itu nama kecamatan di Lamongan yang berbatasan dengan Tuban. Depot itu merupakan cabang depot yang ada di sana. Oalah, asêm, nggarai tambah luwé aé!•fgs



Tidak ada komentar:

Posting Komentar