SELAMA
Ramadan di Lamongan, saya dan kawan saya, Ariyo, kerap berburu takjil di Masjid
Namira. Senin sampai dengan Kamis. Jumat, ia pulang ke Bojonegoro. Saat ia
pulang dan saya tak balik ke Mojokerto, saya salat tarawih di Masjid al-Azhar,
Muhammadiyah.
Ariyo
selalu menjemput saya. Sepuluh menit sebelum waktu yang ditentukan, biasanya
saya telah menunggunya di depan kos dengan gaya itu-itu saja: berkacamata,
bersarung, berkaus, bertas selempang, dan bersandal jepit. Itu bisa jadi
simbolisasi ustaz muda yang sedikit nakal dan banyak akal. Tipikal lelaki yang
digandrungi perempuan. Halah, gombal!
Pukul
17.00 WIB, kami telah sampai Namira. Masing-masing, oleh panitia, diberi
segelas air mineral, tiga biji kurma, dan—apabila beruntung—satu kupon yang
dapat ditukar dengan nasi bungkus usai salat magrib. Menunya: nasi, sup, ayam
goreng, telur, dan sambal secukupnya. Lumayan, bisa berhemat untuk makan malam.
Sahurnya, pikir kèri.
Nah,
selanjutnya, kami duduk dan menyimak tausiah. Materinya menarik. Tak hanya
seputar ibadah pada Ramadan. Itu terlalu mainstream.
Di Namira, berbagai-bagai tema kajian disampaikan, misalnya Makna Jihad Zaman Now. Ndak. Ndak gitu juga. Itu buatan saya saja. Intiné soal jihad. Saya lupa redaksionalnya. Ada soal makanan
halal, silaturahmi, keluarga, dan sebagainya.
Terjadwal.
Siapa (ustaz yang) menyampaikan (materi) apa pada kapan. Ada spanduk yang
memuat jadwal itu. Transparan. Kalau mau, kita bisa hadir dalam kajian pada
hari-hari tertentu sesuai tema yang kita perlu ketahui. Macam mahasiwa memilih
mata kuliah itulah.
Biasanya,
tausiah berakhir pada 1 menit sebelum berbuka puasa. Jemaah bersiap. Begitu
azan magrib berkumandang, 3 butir kurma menjadi pembuka. Itu sunah Kangjeng
Nabi. Jané, maksudé kuwi menunjukkan
bahwa Kangjeng Nabi sahur dan berbuka dalam kesederhanaan. Kepalang, banyak
dari kita êmoh angèl-angèl mikir.
Kita hanya mengambil wadaknya saja. Kita baca sebuah teks, ambil makna tersurat,
tanpa menimbang kemungkinan adanya makna tersirat, dan tanpa meletakkan teks
itu dalam konteksnya.
Untungé kok
blok-blokané
kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme—halah!—memungkinkan
kita menyantap kurma dengan begitu mudah. Lha
kok kurma, mau minum zam-zam sabên
dinå pun mudah. Tentu dengan harga yang sebanding. Kan, ånå rêgå ånå rupå?
Dalam
konteks lokal, kita boleh saja mengganti kurma itu dengan kolak, es teh manis,
atau apa pun yang berasa manis. Ndak
usah aneh-aneh menambahkan kriteria manis itu dengan perhatian, setia, dan (apalagi)
pintar. Wong yang manis saja belum
tentu mau sama sampean.
Nah,
segala yang manis tadi cukup semangkok kecil saja. Seingat saya ada riwayat
yang menyebutkan bahwa pada 10 hari terakhir Ramadan, Kangjeng Nabi semakin
mengurangi makan dan memperbanyak ibadah. Måsåk
ora pingin niru Kangjeng Nabi?
Namun, ndak perlu berkecil hati nèk durung biså niru Kangjeng Nabi
dengan berbuka kurma. Tirulah nilainya. Bukan berarti meniru beliau plêk itu salah. Atau, boleh tiru
strategi saya lo, berburu takjil di masjid. Mêngko
rak olèh air mineral dan kurmå.
Ha-ha.
Sing ora têpak kuwi,
ora ngêlakåni babar blas sak kabèhané.
Padahal, kawit SD apal hadisé.
Contoh,
menjaga kebersihan. Kita tentu sering dengar ungkapan “an-nazhāfatu minal īmān”. Kebersihan merupakan sebagian dari iman.
Kita memercayainya sebagai hadis Kangjeng Nabi.
Sepengetahuan
saya, ungkapan itu bukanlah hadis. Memang, ada hadis sahih yang senada
dengannya. Ath-thuhūru syathrul īmān
(H.R. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi). Bersuci itu setengah dari iman. Ath-thaharah (bersuci) berbeda dengan an-nazhafah (kebersihan). Tak bersih
belum tentu tak suci. Yang bersih tak serta merta menjadi suci. Namun, patut
disampaikan pula bahwa taharah secara maknawi memang berarti kebersihan.
Kecuali
itu, kebersihan merupakan sebagian dari
iman adalah ungkapan yang baik dan islami. Ungkapan ini didukung oleh hadis
yang lain:
Sesungguhnya
Allah Ta’ala adalah baik dan mencintai kebaikan, bersih dan mencintai
kebersihan, mulia dan mencintai kemuliaan, dermawan dan mencintai kedermawanan.
Maka bersihkanlah halaman rumahmu dan janganlah kamu menyerupai orang Yahudi.
(H.R. Tirmidzi)
Sayang,
sering kali praktiknya dalam keseharian jauh dari tuntunan.
Di
Namira, dus ruang publik, sehabis berbuka,
bekas makan-minum dibiarkan berserak begitu saja. Banyak orang enggan membuang
sampahnya sendiri. Padahal, petugas masjid telah menyediakan banyak tempat
sampah berukuran besar dan berkali-kali mengingatkan jemaah. Saya berinisiatif
membantu panitia untuk membersihkannya. Sekitar tempat kami duduk saja. Saya
ajak Ariyo.
Lha iyå, ngrêsiki
sing kétok aé kangèlan, ndahnéyå ngrêsiki sing ora kétok, kaya tå ngrêsiki ati
lan pikiran.
Ugå membersihkan harta dari hal-hal
yang bukan haknya. Itu perilaku di ruang publik. Tidakkah itu cerminan perilaku
di ruang privat?
Ngunu kuwi, diélingné
yå nêsu kok.
Muring-muring. Merasa benar. Gênti maido. Biså-biså malah takon, “Êndi
dalilé sing ngongkon mbuang sampah?” Oh,
dalilé mbahmu kuwi.
Lha ngéné iki. Saya jadi jengkel. Uring-uringan. Ini
kan jadi ndak sesuai dengan
kepribadian yang dicontohkan Kangjeng Nabi. Duh
Gusti, nyuwun pangapurå.
Saya dan Ariyo sedang menunggu satai-gulai pesanan |
Usai
salat isya, tarawih, dan witir, perut saya lapar lagi. Maklum, energi habis
untuk bersih-bersih sampah dan terutama untuk marah. Saya minta tolong Ariyo untuk
mengantar saya membeli satai dan gulai. “Ning
depot cêdhak sêtopan kuwi lho,” kata
saya. Tertera di depan depot:
JUAL
SATE KAMBING
GULE
BABAT
Saya
membayangkan nikmatnya menyantap babat. Mungkin disatai? Saya belum pernah
makan satai babat. Saya duga itu menu khas Lamongan.
Saya
salah. Di depot itu hanya menjual satai kambing dan gulai. Babatnya? Itu nama
kecamatan di Lamongan yang berbatasan dengan Tuban. Depot itu merupakan cabang
depot yang ada di sana. Oalah, asêm, nggarai
tambah luwé aé!•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar