SEPERTI
biasa. Tempo hari, menjelang subuh, ia bangun. Yang tak biasa, ia membuka
kelopak mata dan seketika bertanya, “Kapan Mas Dhaya ulang tahun, Abi?”
“Tulat,
Nak,“ jawab saya.
“Harus
ada roti, tiup lilin, kado, terus semua mengucap selamatkah?” tanyanya. Lengkap
dengan aksen Melayu. Ah, ia terlalu banyak menonton Upin-Ipin.
Saya
mengeloninya. Saya jawab, “Tidak. Abi merayakan ulang tahun dalam sunyi. Mas
Dhaya perlu begitu juga. Bermenung, Nak.”
“Bermenung?”
gumamnya.
“Ya,
berpikir mendalam. Ulang tahun harus berarti menjadi manusia yang lebih baik
lagi kepada Allah, ummi, sesama, binatang, tumbuhan, dan semesta. Hafalan
Alquran dan hadis harus bertambah. Tambah rajin salat. Sudah bisa jadi imam
salat sunah, bukan?” tanya saya sambil mencium rambutnya.
Ia
hanya mengangguk. Selebihnya sunyi. Tampaknya, ia mulai bermenung.
Sejak
pekan lalu, saya memang menyilakan ia memimpin salat sunah. Saya bertukar
posisi menjadi makmumnya. Mulanya, ia segan. Saya besarkan hatinya.
“Jika
abi sedang tak ada di rumah, Mas Dhaya jadi imam salat sunah bagi ummi,” kata
saya.
Imam Cilik |
Ia
menatap sajadah sejenak, lalu bertakbir. Alhamdulillah, lancar sampai dengan
salam. Eh, sebenarnya, biasa saja, ding.
Wong di pesantren tempat ia belajar,
anak seusianya sekurang-kurangnya memang telah menghafal 1 juz Alquran—juz amma,
tentu saja—dan 60 hadis pilihan. Termasuk ia. Santri kecil itu juga sudah
dibiasakan salat sunah. Jadi, ya itu tadi, jan-jané
biasa aé.
Omong-omong, apakah merayakan
atau mengucapkan selamat ulang tahun itu bidah?
Sing ngarani bidngah
ya bèn kånå. Kuwi karêpé ngunu ya apik, kok. Meniru Kangjeng Nabi dan para sahabat.
Semua-muanya. Bagus, bukan?
Saya
tak menganggap yang tak dipraktikkan oleh Kangjeng Nabi lantas otomatis bidah. Apalagi
jika itu bukan bagian dari ibadah. Nèk aku
lho kuwi. Termasuk soal ulang tahun itu.
Orang
Jawa—seperti saya ini—biasa mengingat dan memaknai daur hidup. Sak ora-orané dengan cara bermenung dan
berdoa. Ånâ sing gawé jênang sêngkålå,
lantas berdoa dan menyantapnya bersama. Ånâ
sing nganggo påså. Tiap weton lho
kuwi.
Lha wong Kangjeng Nabi dulu juga memperingati
hari kelahirannya kok. Memang bukan dengan tiup lilin, bernyanyi, dan
keplok-keplok, melainkan dengan laku puasa. Bukan setahun atau sebulan sekali. Tiap
Senin.
Ånâ dalilé.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari r.a., Kangjeng Nabi s.a.w. pernah ditanya
mengenai puasa sunah Senin. Beliau menjawab, “Hari tersebut adalah hari aku
dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (H.R. Muslim)
Seperti
biasa. Hari ini, menjelang subuh, ia bangun. Yang tak biasa, ia membuka kelopak
mata dan seketika saya berucap, “Selamat ulang tahun kelima, Nak. Semoga Gusti
Allah mengaruniakan kemuliaan akhlak, kecintaan terhadap agama dan bangsa,
keberpihakan terhadap manusia dan kemanusiaan, serta keberkahan untukmu. Amin.”•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar