Selasa, 12 Juni 2018

Ulang Tahun


SEPERTI biasa. Tempo hari, menjelang subuh, ia bangun. Yang tak biasa, ia membuka kelopak mata dan seketika bertanya, “Kapan Mas Dhaya ulang tahun, Abi?”

“Tulat, Nak,“ jawab saya.

“Harus ada roti, tiup lilin, kado, terus semua mengucap selamatkah?” tanyanya. Lengkap dengan aksen Melayu. Ah, ia terlalu banyak menonton Upin-Ipin.

Saya mengeloninya. Saya jawab, “Tidak. Abi merayakan ulang tahun dalam sunyi. Mas Dhaya perlu begitu juga. Bermenung, Nak.”

“Bermenung?” gumamnya.

“Ya, berpikir mendalam. Ulang tahun harus berarti menjadi manusia yang lebih baik lagi kepada Allah, ummi, sesama, binatang, tumbuhan, dan semesta. Hafalan Alquran dan hadis harus bertambah. Tambah rajin salat. Sudah bisa jadi imam salat sunah, bukan?” tanya saya sambil mencium rambutnya.

Ia hanya mengangguk. Selebihnya sunyi. Tampaknya, ia mulai bermenung.

Sejak pekan lalu, saya memang menyilakan ia memimpin salat sunah. Saya bertukar posisi menjadi makmumnya. Mulanya, ia segan. Saya besarkan hatinya.

“Jika abi sedang tak ada di rumah, Mas Dhaya jadi imam salat sunah bagi ummi,” kata saya.

Imam Cilik

Ia menatap sajadah sejenak, lalu bertakbir. Alhamdulillah, lancar sampai dengan salam. Eh, sebenarnya, biasa saja, ding. Wong di pesantren tempat ia belajar, anak seusianya sekurang-kurangnya memang telah menghafal 1 juz Alquran—juz amma, tentu saja—dan 60 hadis pilihan. Termasuk ia. Santri kecil itu juga sudah dibiasakan salat sunah. Jadi, ya itu tadi, jan-jané biasa .

Omong-omong, apakah merayakan atau mengucapkan selamat ulang tahun itu bidah?

Sing ngarani bidngah ya bèn kånå. Kuwi karêpé ngunu ya apik, kok. Meniru Kangjeng Nabi dan para sahabat. Semua-muanya. Bagus, bukan?

Saya tak menganggap yang tak dipraktikkan oleh Kangjeng Nabi lantas otomatis bidah. Apalagi jika itu bukan bagian dari ibadah. Nèk aku lho kuwi. Termasuk soal ulang tahun itu.

Orang Jawa—seperti saya ini—biasa mengingat dan memaknai daur hidup. Sak ora-orané dengan cara bermenung dan berdoa. Ånâ sing gawé jênang sêngkålå, lantas berdoa dan menyantapnya bersama. Ånâ sing nganggo påså. Tiap weton lho kuwi.

Lha wong Kangjeng Nabi dulu juga memperingati hari kelahirannya kok. Memang bukan dengan tiup lilin, bernyanyi, dan keplok-keplok, melainkan dengan laku puasa. Bukan setahun atau sebulan sekali. Tiap Senin.

Ånâ dalilé. Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari r.a., Kangjeng Nabi s.a.w. pernah ditanya mengenai puasa sunah Senin. Beliau menjawab, “Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (H.R. Muslim)

Seperti biasa. Hari ini, menjelang subuh, ia bangun. Yang tak biasa, ia membuka kelopak mata dan seketika saya berucap, “Selamat ulang tahun kelima, Nak. Semoga Gusti Allah mengaruniakan kemuliaan akhlak, kecintaan terhadap agama dan bangsa, keberpihakan terhadap manusia dan kemanusiaan, serta keberkahan untukmu. Amin.”•fgs



Tidak ada komentar:

Posting Komentar