SEJAK
7 Juni 2018, kemarin lusa, saya kembali bertugas di Tuban. Tak terasa, 6 bulan
saya melaksanakan tugas perbantuan di Lamongan. Rasanya, baru minggu lalu saya
berkeliling kota. Memetakan wilayah tugas. Sepertinya baru beberapa hari ini
saya ajek membeli segÄ boranan di
depan Hotel Elresass sepulang kerja dan berbincang dengan penjualnya sebelum
balik ke indekos.
Kemarin
lusa pagi, 06.36 WIB, Ustaz Is telah sampai di indekos saya dengan mobil
minibus putihnya. Barang-barang saya masukkan bagasi. Tak semua barang milik
saya. Ada barang milik kantor Lamongan yang dihibahkan kepada kantor Tuban.
Kertas plano 1 rim dan sekardus ATK. Saat pindah ke Lamongan dulu,
barang-barang saya lebih banyak. Di antaranya ada 2 kardus berisi buku dan 1
kardus berisi arsip. Tiga kardus itu telah saya bawa ke Mojokerto 2 minggu yang
lalu.
Saya
meninggalkan Lamongan pada 06.56 WIB. Satu jam lebih 6 menit kemudian, saya
telah sampai di indekos saya di Tuban. Indekos tempat saya tinggal dulu. Di
kamar yang sama pula.
Sorenya,
saya, istri, dan Mas Dhaya ikut berbuka puasa bersama kawan-kawan kantor. Bukber
ya, istilahnya. Tiga hari terakhir ini, tiap hari saya ikut bukber.
Alhamdulillah, belum bosan juga. Selain menu berbuka yang luar biasa, canda tawa
di sana-sini itulah yang membuatnya istimewa.
Tawa.
Bagaimana menuliskan ekspresi dan tiruan bunyinya dalam bahasa Indonesia baku?
Ger, geerr, dan pelbagai kombinasinya? Ada yang lain. Hahaha. Wkwkwk. Hehehe.
Hihihi. Hohoho. Heuheuheu. Macam-macam. Bahkan ada yang disingkat: hhh. Teknologi
perpesanan berbasis teks melalui SMS, WA, dan sebagainya menjadikan berbagai-bagai
kombinasi itu berterima.
GA,
kawan saya yang hampir selalu tertarik membincang bahasa, mengatakan, “Aku
sekarang pakai yang baku, Mas. Ha setrip ha setrip ha. Bukan hahaha atau wkwkwk.” Saya
tersenyum. “Kompas ada yang nulis gitu juga, Mas. ‘Ha-ha-ha.’ Berarti
aku sudah bener,” lanjutnya.
Itu
salah satu yang saya suka darinya. Ia lucu. Ia selalu bersemangat. Ia fan Ivan
Lanin.
Bahasa
kita memungkinkan pertumbuhan banyak tiruan bunyi selain bunyi tawa. Misalnya, kriiing...!, kriuuuk, dor, blaaar, tik-tik-tik, tuk-tuk-tuk,
tok-tok-tok, sret, slruuup, crok, krak, tiiin, sampai ssst!. Baku? Tidak. Semua teks tiruan
bunyi itu terikat oleh konteks wacana yang kita tulis atau baca. Lain kali kita
bahas soal ini.
Lalu,
soal ha-ha-ha tadi. Tersua dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa ha adalah partikel untuk menyatakan
girang, mengejek, menyatakan rasa lega, dan menyatakan terkejut. Ha juga dapat
berfungsi sebagai tiruan bunyi orang tertawa lepas. Dalam aras
ini, cukuplah ditulis ha saja.
Salahkah menulis ha-ha atau ha-ha-ha?
Bandingkan
antara mama muda dan mama-mama muda. Yang kedua menunjukkan
bahwa secara kuantitas lebih banyak. Tak selalu berarti yang kedua secara kualitas
lebih cantik, ya. Begitu juga ha-ha. Nah,
saya menduga, penulis ha-ha-ha ingin
menunjukkan tawa yang lebih dari sekadar ha-ha.
Sah saja.
Mengatasi
itu semua, apatah tertawa sama dengan gembira, gembira berarti bahagia,
dan bahagia sebangun dengan syukur?•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar