Selasa, 05 Juni 2018

Menjaga Bangsa


TUHAN menyediakan banyak kejutan dalam hidup. Juga pagi tadi. Masih dengan mata riyip-riyip dengan kesadaran yang belum genap, Mas Dhaya berkata, “Aku belum pernah masuk gereja, Abi. Besok Mas Dhaya diajak lihat gereja, ya?”

Saya tertegun.

Tuhan... oh ya, saya lebih senang menyebutnya Gusti Allah, baik Allah dengan lafal a maupun å. Dalam aras tertentu, bagi saya, keduanya sama belaka: perangkat bahasa yang digunakan oleh manusia, sebagai wujud ikhtiar saya kira, untuk menyebut Ia yang sejatinya tak dapat dibayangkan apalagi diringkus dalam definisi. Ia yang hanya dapat dijangkau oleh iman dan kerinduan. Nama atributif, dalam hal ini, menjadi penting. Untuk memaknai pengalaman religius personal, di antaranya.

Seturut perspektif itu, apa pun penyebutannya akan merujuk kepada Ia yang telah kita akui dan sepakati dalam Pancasila sebagai Maha Esa itu. Tak ada selain-Nya. Maka, saya agak geli ketika tempo hari membaca berita daring. Tersua dalam berita itu bahwa intonasi salah satu narapidana terorisme (napiter)—yang perempuan itu lo. Maaf. Saya sulit mengingat namanya. Dia bercadar. Namun, fotonya dengan bagian wajah terbuka kini beredar luas—meninggi ketika wartawan menyebut Tuhan sebagai Allah dengan lafal a dalam pertanyaannya. “Allah itu siapa?” dia balik bertanya.

Mungkin baginya Allah yang a itu bukan Tuhan. Ia hanya mendaku Tuhan saja. Atau paling-paling, semacam Tuhan kualitas nomor sekian. Lihat. Betapa mbèlgèdhès-nya. Ampuni makhlukmu yang telah Engkau takdirkan sebagai tempatnya salah dan dosa ini, Tuhan. Eh, Allah ding.

Lebih lanjut, wartawan bertanya kepada napiter itu tentang objek pembunuhan yang pantas menurutnya. “Mereka yang memerangi Islam atau mereka yang tak dihukum dengan hukum Islam,” jawabnya.

Dia ditanya lagi, “Jadi, kalau bertemu dengan orang kafir di jalan, Anda ingin menembak mereka?” Dia tertawa. Apakah pandangannya sama dengan pelaku pemboman gereja di Surabaya lalu? Entahlah.

Saya bertanya kepada Mas Dhaya sebab ia ingin melihat gereja. “Itu kan tempat ibadah juga,” jawabnya.

Saya mengiakan.

“Muslim salat di masjid. Orang kristen salat di gereja. Itu sama-sama tempat ibadah,” lanjutnya.

Mungkin, ia hendak mengatakan bahwa kita dapat bertemu Gusti Allah di mana pun. Seluas semesta yang dihamparkan oleh-Nya. Tak semestinya kita tersekat. Lagipula, mestinya manusia satu dan lainnya bagaikan cermin yang memantulkan citranya sendiri. Berlakulah, kau adalah aku yang lain.

Maka, apresiasi saya kepada dulur-dulur Banser NU yang tetap menjaga gereja saat ada kegiatan peribadahan di dalamnya. Meski perundungan kerap dialamatkan kepada mereka karenanya. Sejatinya, mereka tak sekadar menjaga gereja. Mereka mengatasinya. Mereka menjaga bangunan yang lebih luas. Bangsa ini.•fgs




Tidak ada komentar:

Posting Komentar