TUHAN
menyediakan banyak kejutan dalam hidup. Juga pagi tadi. Masih dengan mata riyip-riyip dengan kesadaran yang belum
genap, Mas Dhaya berkata, “Aku belum pernah masuk gereja, Abi. Besok Mas Dhaya
diajak lihat gereja, ya?”
Saya
tertegun.
Tuhan...
oh ya, saya lebih senang menyebutnya Gusti Allah, baik Allah dengan lafal a
maupun å. Dalam aras tertentu, bagi
saya, keduanya sama belaka: perangkat bahasa yang digunakan oleh manusia,
sebagai wujud ikhtiar saya kira, untuk menyebut Ia yang sejatinya tak dapat dibayangkan
apalagi diringkus dalam definisi. Ia yang hanya dapat dijangkau oleh iman dan
kerinduan. Nama atributif, dalam hal ini, menjadi penting. Untuk memaknai
pengalaman religius personal, di antaranya.
Seturut
perspektif itu, apa pun penyebutannya akan merujuk kepada Ia yang telah kita
akui dan sepakati dalam Pancasila sebagai Maha Esa itu. Tak ada selain-Nya.
Maka, saya agak geli ketika tempo hari membaca berita daring. Tersua dalam
berita itu bahwa intonasi salah satu narapidana terorisme (napiter)—yang
perempuan itu lo. Maaf. Saya sulit mengingat namanya. Dia bercadar. Namun,
fotonya dengan bagian wajah terbuka kini beredar luas—meninggi ketika wartawan
menyebut Tuhan sebagai Allah dengan lafal a
dalam pertanyaannya. “Allah itu siapa?” dia balik bertanya.
Mungkin
baginya Allah yang a itu bukan Tuhan.
Ia hanya mendaku Tuhan saja. Atau paling-paling, semacam Tuhan kualitas nomor
sekian. Lihat. Betapa mbèlgèdhès-nya.
Ampuni makhlukmu yang telah Engkau takdirkan sebagai tempatnya salah dan dosa
ini, Tuhan. Eh, Allah ding.
Lebih
lanjut, wartawan bertanya kepada napiter itu tentang objek pembunuhan yang
pantas menurutnya. “Mereka yang memerangi Islam atau mereka yang tak dihukum
dengan hukum Islam,” jawabnya.
Dia
ditanya lagi, “Jadi, kalau bertemu dengan orang kafir di jalan, Anda ingin
menembak mereka?” Dia tertawa. Apakah pandangannya sama dengan pelaku pemboman
gereja di Surabaya lalu? Entahlah.
Saya
bertanya kepada Mas Dhaya sebab ia ingin melihat gereja. “Itu kan tempat ibadah
juga,” jawabnya.
Saya
mengiakan.
“Muslim
salat di masjid. Orang kristen salat di gereja. Itu sama-sama tempat ibadah,”
lanjutnya.
Mungkin,
ia hendak mengatakan bahwa kita dapat bertemu Gusti Allah di mana pun. Seluas
semesta yang dihamparkan oleh-Nya. Tak semestinya kita tersekat. Lagipula,
mestinya manusia satu dan lainnya bagaikan cermin yang memantulkan citranya
sendiri. Berlakulah, kau adalah aku yang lain.
Maka,
apresiasi saya kepada dulur-dulur
Banser NU yang tetap menjaga gereja saat ada kegiatan peribadahan di dalamnya.
Meski perundungan kerap dialamatkan kepada mereka karenanya. Sejatinya, mereka
tak sekadar menjaga gereja. Mereka mengatasinya. Mereka menjaga bangunan yang
lebih luas. Bangsa ini.•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar