Minggu, 03 Juni 2018

Dosa


MBAH penjual Bobo meninggal. Kecelakaan. Tukang cukur yang mengabarkannya. Saya menyimak dan tak berkomentar kecuali ber-istirja’.

Setelahnya, Mas Dhaya yang berkomentar. Meski sambil lalu. Katanya, “Kok tumben meninggal?”

Saya agak kaget mendengarnya. Ia memahami kematian. Ia juga pernah menyaksikannya. Kosakatanya kaya. Struktur bahasanya cukup bagus. Namun, tumben meninggal itu hal ganjil. Mati itu bukan tindakan yang biasanya tak mau lalu tetiba mau.

Namun, ia tak mungkin hendak bertanya mengenai sebab kematian. Untuk maksud itu, ia biasanya bertanya, “Kok tiba-tiba meninggal. Sakit ?” Saya menyangka, melalui kalimat tak biasa itu, Gusti Allah mengingatkan saya bahwa kita pasti menemu kematian. Kapan pun.

Saya terkelu.

Sebenarnya, sejak kecil, saya berlatih untuk ora gumunan dan ora kagètan. Itu mungkin ekspresi emosional yang wajar bagi sebagian orang. Namun, orang Jawa yang ngugêmi ajaran itu percaya bahwa orang yang gampang heran dan kaget dapat melakukan tindakan cela. Apa pun bentuknya.

Misal. Heran dan kaget demi melihat keindahan. Sampean ingat kisah Batsyeba binti Eliam bin Ahitofel?

Dikisahkan, suatu petang, Raja Daud berjalan di atas sotoh istana. Ia melihat perempuan molek sedang mandi. Dada dan pinggulnya memantulkan cahaya keemasan. Batsyeba nama perempuan itu. Sang raja terpikat. Tekadnya bulat. Ia harus memilikinya.

Namun, Batsyeba telah bersuami. Sang raja bersiasat jahat. Ia kirim Uriah, suami Batsyeba, ke medan perang. Garis depan. Singkatnya, Uriah mati.

Batsyeba bersedih. Namun, dalam dirinya juga terbit desir yang ganjil. Ia gumun terhadap kemegahan dunia. Ia kagèt mendapati dirinya diinginkan raja. Maka, ia membentang di ranjang, menyediakan pucuk-pucuk hasratnya dilumat oleh sang raja yang menurutnya paling memiliki kemegahan dunia. Raja yang sebenarnya gumunan dan kagètan seperti dirinya.

Heran dan kaget atas ujian pengetahuan—termasuk di dalamnya ilmu agama, harta, atau kuasa yang dibebankan oleh Gusti Allah juga dapat menjadi sebab atas tindakan mångkåk, membusungkan dada, dan dumèh, mentang-mentang. Akal lenyap seketika dan budi menguap tak bersisa.

Sampean masih ingat ketika baru-baru ini orang menjadi gampang mencela, mengkafirkan, dan bahkan menolak menyalatkan jenazah sesama agamanya—dus saudaranya—karena mendengar isu bahwa sesamanya itu memihak calon pemimpin yang katanya menista ayat Alquran? Gumunan. Kagètan. Sikap itu menjadikan kita lebih sering menghukumi orang lain dan jarang mengoreksi diri sendiri. Kita itu... saya saja wis. Saya itu, jangankan berpribadi Alquran seperti Kangjeng Nabi, memahaminya pun tidak kecuali sedikit saja. Êmbuh nèk sampeyan.

Kalian semua suci. Aku penuh dosa. Halah!

Namun, ada benarnya. Coba ingat, berapa kali kita membaca dan mengkhatamkan Alquran? Berapa banyak hadis yang kita dengar? Kok tak jua menjadikan kita sebagai pribadi mulia? Hati kita tetap keras. Nafsu kita masih saja menggelegak panas.

Ada sebuah cerita. Suatu hari, Imam Syafi’i curhat kepada gurunya. Katanya, ia sulit mengulang hafalannya secara cepat. Gurunya memintanya meneliti dosanya. Katanya, “Al-‘ilmu nūrun. Wa nūrullahi lā yuhda lil 'ashy.” Ilmu itu cahaya. Dan cahaya Allah tak akan diberikan kepada pelaku maksiat. Ia sulit menerangi hati yang pekat oleh tumpukan dosa.

Imam Syafi’i bermenung. Ia ingat. Pernah tanpa sengaja, saat ia sedang berjalan, ia melihat paha—dalam kisah lain disebutkan betis atau mata kaki—perempuan tersingkap di depannya. Itu baru mata kaki. Imam Syafi’i awas. Ia bermohon ampunan kepada Gusti Allah.

Sekira 18 tahun lalu, saya baca buku Mansur bin Abdul Aziz al-'Ijyan. Jangan Benci Mengingat Mati. Buku terjemahan. Tajuk aslinya, Yā Hasratan 'ala al 'Ibad. Seingat saya, tersua nasihat di dalamnya, agar tak tergoda saat melihat perempuan cantik, kita perlu mengingat mati. Ingat juga bahwa di balik itu sesungguhnya hanyalah belulang belaka. Saya lupa redaksionalnya.

Kecantikan adalah sementara. Ia tak nyata. Sedangkan kematian, ia adalah gerbang hidup yang lama. Begitu kira-kira.

Dosa. Itulah intinya. Mungkin, itu juga biang hafalan Alquran dan hadis saya yang sedikit itu semakin kacau saja. Lha piyé, wong jika melihat perempuan cantik, alih-alih ingat mati, saya malah senang dan “hidup” kok.

Oalah, nyatalah bahwa saya belum merdeka dari gumunan dan kagètan secara kafah. Omong-omong, dosa itu apa, sih?•fgs


Tidak ada komentar:

Posting Komentar