MBAH
penjual Bobo meninggal. Kecelakaan. Tukang
cukur yang mengabarkannya. Saya menyimak dan tak berkomentar kecuali ber-istirja’.
Setelahnya,
Mas Dhaya yang berkomentar. Meski sambil lalu. Katanya, “Kok tumben meninggal?”
Saya
agak kaget mendengarnya. Ia memahami kematian. Ia juga pernah menyaksikannya.
Kosakatanya kaya. Struktur bahasanya cukup bagus. Namun, tumben meninggal itu hal ganjil. Mati itu bukan tindakan yang biasanya
tak mau lalu tetiba mau.
Namun,
ia tak mungkin hendak bertanya mengenai sebab kematian. Untuk maksud itu, ia biasanya
bertanya, “Kok tiba-tiba meninggal. Sakit tå?”
Saya menyangka, melalui kalimat tak biasa itu, Gusti Allah mengingatkan saya
bahwa kita pasti menemu kematian. Kapan pun.
Saya
terkelu.
Sebenarnya,
sejak kecil, saya berlatih untuk ora
gumunan dan ora kagètan. Itu
mungkin ekspresi emosional yang wajar bagi sebagian orang. Namun, orang Jawa
yang ngugêmi ajaran itu percaya bahwa
orang yang gampang heran dan kaget dapat melakukan tindakan cela. Apa pun bentuknya.
Misal.
Heran dan kaget demi melihat keindahan. Sampean ingat kisah Batsyeba binti
Eliam bin Ahitofel?
Dikisahkan,
suatu petang, Raja Daud berjalan di atas sotoh istana. Ia melihat perempuan
molek sedang mandi. Dada dan pinggulnya memantulkan cahaya keemasan. Batsyeba
nama perempuan itu. Sang raja terpikat. Tekadnya bulat. Ia harus memilikinya.
Namun,
Batsyeba telah bersuami. Sang raja bersiasat jahat. Ia kirim Uriah, suami
Batsyeba, ke medan perang. Garis depan. Singkatnya, Uriah mati.
Batsyeba
bersedih. Namun, dalam dirinya juga terbit desir yang ganjil. Ia gumun terhadap kemegahan dunia. Ia kagèt mendapati dirinya diinginkan raja.
Maka, ia membentang di ranjang, menyediakan pucuk-pucuk hasratnya dilumat oleh sang
raja yang menurutnya paling memiliki kemegahan dunia. Raja yang sebenarnya gumunan dan kagètan seperti dirinya.
Heran
dan kaget atas ujian pengetahuan—termasuk di dalamnya ilmu agama, harta, atau
kuasa yang dibebankan oleh Gusti Allah juga dapat menjadi sebab atas tindakan mångkåk, membusungkan dada, dan dumèh, mentang-mentang. Akal lenyap seketika
dan budi menguap tak bersisa.
Sampean
masih ingat ketika baru-baru ini orang menjadi gampang mencela, mengkafirkan,
dan bahkan menolak menyalatkan jenazah sesama agamanya—dus saudaranya—karena mendengar isu bahwa sesamanya itu memihak calon
pemimpin yang katanya menista ayat Alquran? Gumunan.
Kagètan. Sikap itu menjadikan kita lebih
sering menghukumi orang lain dan jarang mengoreksi diri sendiri. Kita itu...
saya saja wis. Saya itu, jangankan
berpribadi Alquran seperti Kangjeng Nabi, memahaminya pun tidak kecuali sedikit
saja. Êmbuh nèk sampeyan.
Kalian
semua suci. Aku penuh dosa. Halah!
Namun,
ada benarnya. Coba ingat, berapa kali kita membaca dan mengkhatamkan Alquran?
Berapa banyak hadis yang kita dengar? Kok tak jua menjadikan kita sebagai
pribadi mulia? Hati kita tetap keras. Nafsu kita masih saja menggelegak panas.
Ada
sebuah cerita. Suatu hari, Imam Syafi’i curhat kepada gurunya. Katanya, ia
sulit mengulang hafalannya secara cepat. Gurunya memintanya meneliti dosanya.
Katanya, “Al-‘ilmu nūrun. Wa nūrullahi lā yuhda lil 'ashy.” Ilmu
itu cahaya. Dan cahaya Allah tak akan diberikan kepada pelaku maksiat. Ia sulit
menerangi hati yang pekat oleh tumpukan dosa.
Imam
Syafi’i bermenung. Ia ingat. Pernah tanpa sengaja, saat ia sedang berjalan, ia melihat
paha—dalam kisah lain disebutkan betis atau mata kaki—perempuan tersingkap di
depannya. Itu baru mata kaki. Imam Syafi’i awas. Ia bermohon ampunan kepada
Gusti Allah.
Sekira
18 tahun lalu, saya baca buku Mansur bin Abdul Aziz al-'Ijyan. Jangan Benci Mengingat Mati. Buku
terjemahan. Tajuk aslinya, Yā Hasratan 'ala
al 'Ibad. Seingat saya, tersua nasihat di dalamnya, agar tak tergoda saat
melihat perempuan cantik, kita perlu mengingat mati. Ingat juga bahwa di balik
itu sesungguhnya hanyalah belulang belaka. Saya lupa redaksionalnya.
Kecantikan
adalah sementara. Ia tak nyata. Sedangkan kematian, ia adalah gerbang hidup
yang lama. Begitu kira-kira.
Dosa.
Itulah intinya. Mungkin, itu juga biang hafalan Alquran dan hadis saya yang
sedikit itu semakin kacau saja. Lha piyé,
wong jika melihat perempuan cantik, alih-alih ingat mati, saya malah senang
dan “hidup” kok.
Oalah,
nyatalah bahwa saya belum merdeka dari
gumunan dan kagètan secara kafah.
Omong-omong, dosa itu apa, sih?•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar