Selasa, 22 Mei 2018

Tolak


NAMANYA Tolak Ani. Dia kawan saya. Entah mengapa, tetiba saya teringat padanya. Dia perempuan baik. Sangat baik, malah. Dia menikah dengan lelaki yang sama baiknya dan punya anak-anak yang baik. Saya mengenalnya sembilan tahun lalu saat saya bertugas di Banyuputih, Situbondo.

Seingat saya, dia lahir dan diberi nama Ani oleh orang tuanya. Ani kecil sering sakit-sakitan. Maka, orang tuanya menambahkan kata tolak di depan namanya. Sejak itu, dia bernama Tolak Ani. Dan, dia tak sakit-sakitan lagi.

Saya tentu tak percaya kesehatannya membaik karena penambahan kata tolak. Itu hanya kepercayaan masyarakat setempat saja. Akibat mitos itu, ada banyak orang bernama Tolak. Dan, semakin bertambah sedikitnya dua kali lipat. Sebab, orang tua serta merta akan kehilangan namanya dan disebut dengan nama anaknya. Pa’(na) Tolak. Bapaknya Tolak.

Sampean pernah dengar nama Pak Sakerah? Ia simbol keberanian dan perlawanan orang Madura. Digambarkan, ia mengenakan baju longgar hitam dengan kancing terbuka (baju pésa’an), kaus dalam bergaris merah-putih, dan bercelana hitam cingkrang (celana gomboran). Ke mana-mana selalu membawa celurit.

Pak Sakerah bernama asli Sadiman. Ia hidup dan tinggal di Bangil, Pasuruan, pada 1800-an. Mandor tebu, pekerjaannya. Ia beristri dua. Ginten dan Marlena. Yang kedua itu, cantik tak terkira. Anak perempuannya bernama Syakirah. Dari bahasa Arab yang berarti pandai bersyukur. Sama dengan lazimnya orang Madura, Sadiman lalu disebut sebagai Pa’(na) Syakirah. Pak Sakerah. Nama itu melekat.

Sampai dengan akhir 2014, saya masih kerap menjumpai anak-anak seusia sekolah dasar yang tak tahu nama orang tuanya. Mereka mengenali orang tuanya dipanggil sesuai nama anak pertama. Mereka kira, itulah nama orang tuanya. Itu di Situbondo dan Bondowoso. Pernah, saya menanyakan alamat seseorang kepada anak 13 tahun. “Ta’ onéng,” akunya setelah agak lama mengingat. Ia tak tahu.

Saya agak heran. Itu di desa. Biasanya, mudah saja menemukan alamat seseorang di desa. Semua orang kenal. Apalagi, masyarakat berlatar Madura punya pola mukim yang khas. Antartetangga berkerabat. Tanéyan lanjhâng, namanya. Benar saja, saya segera menemukannya setelah bertanya kepada orang lain.

Rupanya, saya kurang cermat. Nama yang saya tanyakan adalah nama asli yang tertera dalam identitas resmi. Nyama dâging, istilahnya. Sedangkan, masyarakat mengenalnya dengan nama anaknya. Lucunya, anak yang saya tanya pertama itu ternyata anaknya. Kali ini, anak itu menghampiri saya, ékom—cium tangan, dan tersipu.

Oh ya, sebenarnya perubahan nama itu biasa saja. Di Jawa pada masa lampau, orang tua juga akan mengubah nama bayi yang sering rewel atau sakit. Mereka percaya, nama sebelumnya terlalu berat disandang oleh anaknya.

Ketika masa kanak-kanak berakhir, orang Jawa dewasa pada masa lampau juga akan mengganti namanya. Bèn rådå mêrbawani. Ora ndéså bangêt. Kira-kira begitu. Ini juga berlaku di lingkungan keraton. Wisuda kenaikan pangkat juga diikuti dengan perubahan nama. Yang ini, bukan karena penyandangnya sakit atau rewel, tentu saja.

Contohnya, Soekarno. Saat bayi, ia bernama Koesno Sosrodihardjo. Namanya diubah menjadi Soekarno karena ia kerap sakit. Semacam malaria dan disentri.

Ada versi lain. Soekarno kecil tak mau dipanggil dengan sebutan Koes. Seolah itu kependekan dari tikoes. Maka, ia meminta izin ayahnya untuk mengubah namanya. Menjadi Soekarno itulah. Umurnya 11 tahun kala itu. Mungkin inilah yang disebut ganti nama karena rewel.

Kisah perubahan nama Soekarno selesai sampai di situ?

Tidak. Presiden I Republik Indonesia itu juga mengubah (ejaan) namanya dari Soekarno menjadi Sukarno. Menurutnya, ejaan lama yang menulis u sebagai oe (Ejaan van Ophuysen) adalah warisan kolonialisme. Indonesia punya ejaan baru yang dikenal sebagai Ejaan Soewandi. Ejaan tersebut diterapkan sejak 1947. Salah satu cirinya, oe berubah menjadi u. Jadi, kali ini Sukarno mengubah namanya karena nasionalisme.

Di Timur Tengah, Soekarno tenar dengan nama lengkap Ahmad Soekarno. Ahmad kadang dieja Achmad, Achmed, atau Ahmed. Pelajar Indonesia di Timur Tengah yang menambahkan nama Ahmad itu. Memudahkan diplomasi, sebabnya. Teori lain menyebutkan bahwa nama Ahmad dipakai oleh Soekarno saat ia masih indekos di Surabaya dan sangat mengagumi K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Kita lihat pentingnya perubahan nama saat Orde Baru. Kita ingat, ada peraturan yang mengatur bahwa WNI yang masih memakai nama Cina dianjurkan mengubah nama mereka.1 Alasannya,proses asimilasi terutama untuk mentjegah terdjadinya kehidupan eksklusif rasial.”2 WNI seperti tersebut dalam aturan itu sulit mengelak. Mereka segera mengubah namanya. Contohnya, Soe Hok Djin menjadi Arief Budiman.

Ada juga yang menolak dan tetap bersikukuh menggunakan nama asli. Soe Hok Gie, adik Soe Hok Djin, misalnya. Kenal aktivis yang mati muda di kawah Mahameru itu, kan?

Perubahan nama sebagai penanda capaian keimanan juga acap dilakukan. Presiden Ke-2 Republik Indonesia menambahkan Muhammad di depan namanya setelah menunaikan haji pada 1970-an. Nama lengkapnya menjadi Haji Muhammad Soeharto.

Namun, Soeharto tak mengubah ejaan namanya menjadi Suharto. Dengan mempertahankan ejaan lama itu, ia khawatir dapat dituduh tak nasionalis. Tak seperti Sukarno. Ia tak habis akal. Ia kembalikan nama Sukarno menjadi Soekarno sesuai dengan yang tertera dalam teks proklamasi.

Soeharto tak lantas merasa tenang dan aman dengan itu. Agar rakyat tak terlalu memuja Soekarno, maka nama Soekarno selalu digandengkan dengan Hatta. Maka, nama jalan tertulis Jalan Soekarno-Hatta. Bandara kita di Cengkareng, Jakarta, bernama Bandara Soekarno-Hatta. Sampai sekarang, kita latah. Dalam uang pecahan seratus ribuan pun mereka berdua. Hanya mereka itulah pahlawan yang ke mana-mana selalu berdua.

Demikianlah. Nama itu penting. Saking pentingnya, nama kerap diubah sesuai dengan kebutuhan. Meski demikian, politisi seyogianya tak menambahkan kata tolak di depan nama sendiri. Meski itu diniatkan untuk buang sial akibat nyalon (tapi) tak jadi-jadi. Tolak Jokowi atau Tolak Prabowo, misalnya. Itu dapat diartikan berbeda. Bahkan tanpa berpikir sedikit pun. Apalagi jika ditambahkan tagar.•fgs




Catatan Akhir:
1Lihat: Peraturan Presiden Republik Indonesai Nomor 240 Tahun 1967 tentang Kebidjaksanaan Pokok jang Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing.

2Dalam Perpres RI No. 240/1967, Bab II, Pasal 5, diatur: “Khusus terhadap warga Negara Indonesia keturunan asing jang masih memakai nama Cina diandjurkan mengganti nama-namanja dengan nama Indonesia sesuai dengan ketentuan jang berlaku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar