NAMANYA
Tolak Ani. Dia kawan saya. Entah mengapa, tetiba saya teringat padanya. Dia
perempuan baik. Sangat baik, malah. Dia menikah dengan lelaki yang sama baiknya
dan punya anak-anak yang baik. Saya mengenalnya sembilan tahun lalu saat saya bertugas
di Banyuputih, Situbondo.
Seingat
saya, dia lahir dan diberi nama Ani oleh orang tuanya. Ani kecil sering
sakit-sakitan. Maka, orang tuanya menambahkan kata tolak di depan namanya. Sejak itu, dia bernama Tolak Ani. Dan, dia
tak sakit-sakitan lagi.
Saya
tentu tak percaya kesehatannya membaik karena penambahan kata tolak. Itu hanya kepercayaan masyarakat setempat
saja. Akibat mitos itu, ada banyak orang bernama Tolak. Dan, semakin bertambah
sedikitnya dua kali lipat. Sebab, orang tua serta merta akan kehilangan namanya
dan disebut dengan nama anaknya. Pa’(na)
Tolak. Bapaknya Tolak.
Sampean
pernah dengar nama Pak Sakerah? Ia simbol keberanian dan perlawanan orang
Madura. Digambarkan, ia mengenakan baju longgar hitam dengan kancing terbuka
(baju pésa’an), kaus dalam bergaris
merah-putih, dan bercelana hitam cingkrang (celana gomboran). Ke mana-mana selalu membawa celurit.
Pak
Sakerah bernama asli Sadiman. Ia hidup dan tinggal di Bangil, Pasuruan, pada
1800-an. Mandor tebu, pekerjaannya. Ia beristri dua. Ginten dan Marlena. Yang
kedua itu, cantik tak terkira. Anak perempuannya bernama Syakirah. Dari bahasa
Arab yang berarti pandai bersyukur. Sama
dengan lazimnya orang Madura, Sadiman lalu disebut sebagai Pa’(na) Syakirah. Pak Sakerah. Nama itu melekat.
Sampai
dengan akhir 2014, saya masih kerap menjumpai anak-anak seusia sekolah dasar
yang tak tahu nama orang tuanya. Mereka mengenali orang tuanya dipanggil sesuai
nama anak pertama. Mereka kira, itulah nama orang tuanya. Itu di Situbondo dan Bondowoso.
Pernah, saya menanyakan alamat seseorang kepada anak 13 tahun. “Ta’ onéng,” akunya setelah agak lama mengingat. Ia tak tahu.
Saya
agak heran. Itu di desa. Biasanya, mudah saja menemukan alamat seseorang di
desa. Semua orang kenal. Apalagi, masyarakat berlatar Madura punya pola mukim
yang khas. Antartetangga berkerabat. Tanéyan
lanjhâng, namanya. Benar saja, saya segera menemukannya setelah bertanya
kepada orang lain.
Rupanya,
saya kurang cermat. Nama yang saya tanyakan adalah nama asli yang tertera dalam
identitas resmi. Nyama dâging,
istilahnya. Sedangkan, masyarakat mengenalnya dengan nama anaknya. Lucunya,
anak yang saya tanya pertama itu ternyata anaknya. Kali ini, anak itu
menghampiri saya, ékom—cium tangan,
dan tersipu.
Oh
ya, sebenarnya perubahan nama itu biasa saja. Di Jawa pada masa lampau, orang
tua juga akan mengubah nama bayi yang sering rewel atau sakit. Mereka percaya,
nama sebelumnya terlalu berat disandang oleh anaknya.
Ketika
masa kanak-kanak berakhir, orang Jawa dewasa pada masa lampau juga akan
mengganti namanya. Bèn rådå mêrbawani.
Ora ndéså bangêt. Kira-kira begitu. Ini juga berlaku di lingkungan keraton.
Wisuda kenaikan pangkat juga diikuti dengan perubahan nama. Yang ini, bukan
karena penyandangnya sakit atau rewel, tentu saja.
Contohnya,
Soekarno. Saat bayi, ia bernama Koesno Sosrodihardjo. Namanya diubah menjadi
Soekarno karena ia kerap sakit. Semacam malaria dan disentri.
Ada
versi lain. Soekarno kecil tak mau dipanggil dengan sebutan Koes. Seolah itu kependekan dari tikoes. Maka, ia meminta izin ayahnya
untuk mengubah namanya. Menjadi Soekarno itulah. Umurnya 11 tahun kala itu. Mungkin
inilah yang disebut ganti nama karena rewel.
Kisah perubahan nama
Soekarno selesai sampai di situ?
Tidak.
Presiden I Republik Indonesia itu juga mengubah (ejaan) namanya dari Soekarno
menjadi Sukarno. Menurutnya, ejaan lama yang menulis u sebagai oe (Ejaan van
Ophuysen) adalah warisan kolonialisme. Indonesia punya ejaan baru yang dikenal
sebagai Ejaan Soewandi. Ejaan tersebut diterapkan sejak 1947. Salah satu
cirinya, oe berubah menjadi u. Jadi, kali ini Sukarno mengubah namanya
karena nasionalisme.
Di
Timur Tengah, Soekarno tenar dengan nama lengkap Ahmad Soekarno. Ahmad kadang
dieja Achmad, Achmed, atau Ahmed. Pelajar Indonesia di Timur Tengah yang
menambahkan nama Ahmad itu. Memudahkan diplomasi, sebabnya. Teori lain
menyebutkan bahwa nama Ahmad dipakai oleh Soekarno saat ia masih indekos di
Surabaya dan sangat mengagumi K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Kita
lihat pentingnya perubahan nama saat Orde Baru. Kita ingat, ada peraturan yang
mengatur bahwa WNI yang masih memakai nama Cina dianjurkan mengubah nama
mereka.1 Alasannya, “proses asimilasi terutama untuk
mentjegah terdjadinya kehidupan eksklusif rasial.”2 WNI seperti tersebut
dalam aturan itu sulit mengelak. Mereka segera mengubah namanya. Contohnya, Soe
Hok Djin menjadi Arief Budiman.
Ada
juga yang menolak dan tetap bersikukuh menggunakan nama asli. Soe Hok Gie, adik
Soe Hok Djin, misalnya. Kenal aktivis yang mati muda di kawah Mahameru itu, kan?
Perubahan
nama sebagai penanda capaian keimanan juga acap dilakukan. Presiden Ke-2
Republik Indonesia menambahkan Muhammad
di depan namanya setelah menunaikan haji pada 1970-an. Nama lengkapnya menjadi
Haji Muhammad Soeharto.
Namun,
Soeharto tak mengubah ejaan namanya menjadi Suharto. Dengan mempertahankan
ejaan lama itu, ia khawatir dapat dituduh tak nasionalis. Tak seperti Sukarno. Ia
tak habis akal. Ia kembalikan nama Sukarno menjadi Soekarno sesuai dengan yang
tertera dalam teks proklamasi.
Soeharto
tak lantas merasa tenang dan aman dengan itu. Agar rakyat tak terlalu memuja Soekarno,
maka nama Soekarno selalu digandengkan dengan Hatta. Maka, nama jalan tertulis
Jalan Soekarno-Hatta. Bandara kita di Cengkareng, Jakarta, bernama Bandara
Soekarno-Hatta. Sampai sekarang, kita latah. Dalam uang pecahan seratus ribuan pun
mereka berdua. Hanya mereka itulah pahlawan yang ke mana-mana selalu berdua.
Demikianlah.
Nama itu penting. Saking pentingnya, nama kerap diubah sesuai dengan kebutuhan.
Meski demikian, politisi seyogianya tak menambahkan kata tolak di depan nama sendiri. Meski itu diniatkan untuk buang sial
akibat nyalon (tapi) tak jadi-jadi.
Tolak Jokowi atau Tolak Prabowo, misalnya. Itu dapat diartikan berbeda. Bahkan
tanpa berpikir sedikit pun. Apalagi jika ditambahkan tagar.•fgs
Catatan
Akhir:
1Lihat:
Peraturan Presiden Republik Indonesai
Nomor 240 Tahun 1967 tentang Kebidjaksanaan Pokok jang Menjangkut Warga Negara Indonesia
Keturunan Asing.
2Dalam
Perpres RI No. 240/1967, Bab II, Pasal 5, diatur: “Khusus terhadap warga Negara Indonesia keturunan asing jang masih
memakai nama Cina diandjurkan mengganti nama-namanja dengan nama Indonesia
sesuai dengan ketentuan jang berlaku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar