MASIH ingat, siapa
yang pernah mengajarkan sikap sabar kepada sampean?
Bagi
saya, salah satunya adalah bapak. Melalui ia, saya belajar bersabar dalam
menerima apa pun yang diberikan oleh Gusti Allah. Narimå ing pandum secara lêgå,
lilå, dan ikhlas.
Sejak
menikah, bapak tinggal di rumah mertua. Bapak dan mama saya belum punya rumah
sendiri. Rumah yang dibeli menggunakan uang hasil jerih payah sendiri. Bukan
rumah warisan. Mereka pasangan muda. Mama, 26 tahun usianya. Bapak 2 tahun
lebih tua.
Saya
lebih muda daripada mereka, ketika menikah. Umur saya 26 tahun. Istri saya 25
tahun.
Saat
itu, Jumat siang pada 2009, saya baru menyelesaikan pelatihan pratugas dan
mengerjakan soal-soal akhir di Batu. Petangnya, saya melangsungkan akad nikah
di Mojokerto. Sabtu, resepsinya. Pada Sabtu yang sama, hasil pelatihan pratugas
Fasilitator Kecamatan PNPM Mandiri Perdesaan diumumkan. Lengkap dengan lokasi
tugasnya. Nama saya ada dalam daftar penugasan. Banyuputih, Situbondo. Demikian
tertera di sana. Maka, Minggu pagi, saya berangkat. Sebab, Senin pagi, semua
fasilitator baru harus lapor diri dan mengikuti rapat koordinasi kabupaten.
Saya
segera mengontrak rumah. Milik keluarga tentara yang bertugas di koramil
setempat. Sederhana, namun nyaman. Pinggir jalan raya, letaknya. Dua bulan kemudian,
saya mengajak istri saya tinggal di rumah kontrakan tersebut. Lima tahun kami
di sana.
Bapak
dan mama saya berbeda. Mereka tidak mengontrak rumah dan membina keluarga
secara mandiri. Mereka memilih tinggal bersama orang tua. Tentu, mereka perlu
stok kesabaran yang berlimpah. Mereka muda. Sarjana. Mestinya, mereka punya
konsep ideal rumah tangga yang bisa jadi tak sama dengan orang tua. Toh,
nyatanya, bapak saya tak pernah sekali pun berkonflik dengan mertuanya.
Usia
saya hampir 3 tahun. Kurang 2 bulan. Bapak tak lagi menjadi guru. Ia memilih menjadi
birokrat. Ia ditugaskan di Situbondo. Sekira 260 kilometer dari rumah.
Dulu,
bapak baru punya dua anak. Saya dan adik perempuan saya yang berumur 1,5 tahun.
Mama sedang hamil tua. Saya tak dapat membayangkan suasana hati bapak saat itu.
Anak-anak sedang lucu-lucunya. Dalam istilah Jawa, tentu bapak kétån-kétånên setiap hari. Terbayang-bayang.
Ah, mungkin tidak. Bapak tak romantis dan melankolis seperti saya. Ia tak lahir
pada Paing—hari ke-2 dalam pasaran Jawa—seperti saya. Kata orang zaman dulu,
orang Paing itu mudah terbawa perasaan. Entahlah.
Bapak
dan mama memilih menjalani, dalam istilah kekinian, LDR. Long distance relationship. Hubungan jarak jauh. Mereka mau tak mau
harus bersabar. Masa itu belum ada ponsel. Belum ada Whatsapp dan sebagainya.
Mereka tak bisa video call.
Paling-paling, bapak telepon dari wartel. Itu pun antara subuh dan sebelum
pukul 06.00 WIB. Biar murah. Maklum, pegawai negeri. Gaji PNS dulu tak seperti
sekarang.
Bapak
harus punya sabar yang lebih besar lagi. Tiap akhir pekan, ia harus menempuh
tujuh hingga delapan jam perjalanan menggunakan bus umum. Sampean kira itu
biasa dan tanpa sabar bisa melakoninya?
Tinggalkan
mobilmu. Itu bikin macet saja. Cobalah bepergian naik bus umum. Khususnya saat jam pulang kantor atau
akhir pekan.
Pernah,
Februari 1989, saya—lebih tepatnya mama saya—merayakan hari kelahiran saya. Mungkin,
dia mengira anak lelakinya menginginkan itu. Dan umumnya, memenuhi keinginan seseorang
adalah salah satu jalan untuk membahagiakannya. Padahal, sebenarnya, saya tak
menganggap penting acara seperti itu. Bukan saya menolak. Namun, saya lebih
senang memaknai hari kelahiran saya dalam sunyi. Bermenung dan berdoa di depan jênang sêngkålå. Bubur merah-putih.
Guru-guru
dan kawan-kawan saya datang. Mereka ikut bersyukur dan berbahagia. Sedangkan, bapak
saya masih berdinas—mestinya, ia sibuk menghadiri musrenbang. Eyang putri saya pun
sedang bepergian ke Jakarta. Saya berkeringat dingin. Entahlah. Mungkin itu
kali pertama saya merasa sakit demi menginsafi bahwa ada yang lebih penting
daripada saya bagi orang-orang yang penting bagi saya. Mungkin itu kali pertama
saya belajar menanggung kecewa.
Terekam
dalam album foto acara itu, saya lemas dan bercucuran air mata. Mama—dengan
dibantu Ibu Supadmi, kepala sekolah—harus membujuk saya agar bersedia meniup
lilin yang sudah menyala agak lama. Kawan-kawan bahkan sudah berhenti menyanyi.
Mereka menatap saya tak mengerti. Akhirnya, pada tiupan ketiga, saya baru
berhasil memadamkan api di atas roti ulang tahun itu.
Saya
mengenakan seragam tentara saat itu. Jenderal. Lengkap dengan bintang tanda
jasa. Harusnya saya tampak gagah. Apalagi, itu baju baru. Bapak dan mama
membelikannya di Toko Aneka Seragam. Depan alun-alun Blitar. Nyatanya, saya
tertunduk lesu. Sama seperti Arjuna yang nglokro,
hilang semangat, ketika harus berperang melawan Kurawa, saudaranya sendiri.
Saya juga berperang. Saya melawan ego saya sendiri. Dan saya kalah. Telak.
Kado
dari guru-guru dan kawan-kawan tak lagi menggenapkan perasaan saya. Saya telanjur
terluka. Kado-kado itu saya buka. Sebagian bahkan sudah saya pinjamkan
kawan-kawan saat acara masih berlangsung. Saya punya banyak kado pistol. Semuanya
mainan.
Ada
2 kado yang berbeda. Sekardus air mineral, kira-kira ukurannya. Lebih besar,
malah. Isinya mainan bongkar pasang bangun. Semacam Lego. Yang satu, dari
guru-guru TK saya. Yang selainnya, entah dari siapa. Saya lupa. Lebih kecil
ukurannya. Namun, saya ingat, saya suka. Meskipun selama beberapa hari, mainan
itu hanya saya buka bungkusnya. Tak saya mainkan.
Seingat
saya, eyang putri pernah menasihati saya, “Kowé
kuwi Paing kåyå aku. Paing kuwi sabar. Lêmbah manah.” Nyatanya, saya tak
cukup bersabar. Rupanya, itu mitos belaka.
Bapak
datang beberapa hari setelahnya. Malam hari. Saya sudah tertidur di ruang
makan. Ketika bangun keesokan pagi, mama memberitahu saya bahwa bapak
membuatkan sesuatu. Saya cari di ruang makan. Ternyata, bapak membuatkan saya
miniatur tugu monas dan tank dari Lego kado ulang tahun saya. Mungkin itu cara
bapak menebus kekecewaan saya.
Bapak
memperhatikan dan menyayangi saya dengan caranya sendiri. Tak adil
memperbandingkannya dengan bapak-bapak lainnya.
Bapak.
Sesungguhnya ia dapat ditafsir secara beraneka. Itulah konsekuensi dari segala
yang berbentuk. Ia berbayang. Letak jatuh bayangan akan sesuai dengan cahaya
yang datang. Kekuatan cahayanya, jaraknya, serta sudutnya memengaruhi bayangan.
Salah satu hukumnya, semakin dekat benda dengan sumber cahaya, bayangannya akan
semakin besar.
Saya
senang menafsir bapak dari dekat sebagai manusia yang mencoba menjadi yang baik
sesuai keyakinannya. Pengalaman hidupnya. Dengannya, bayangan bapak tampak
lebih besar.
Pada
dasarnya, saya memang senang mengenang semua. Termasuk, mengenang orang-orang
yang menyertai dalam proses saya menjadi itu.
Apakah kelak anak, istri,
saudara belahan, kawan-kawan, dan barisan para mantan #eh
juga mengenang saya sebagai orang yang baik dan pernah mengajarkan kebaikan?
Saya
tak tahu. Yang pasti, sekarang, mari sejenak kita mengenang siapa pun yang
pernah mengajarkan kebaikan kepada kita. Untuk mereka, al-Fatihah.•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar