Rabu, 30 Mei 2018

Sabar


MASIH ingat, siapa yang pernah mengajarkan sikap sabar kepada sampean?

Bagi saya, salah satunya adalah bapak. Melalui ia, saya belajar bersabar dalam menerima apa pun yang diberikan oleh Gusti Allah. Narimå ing pandum secara lêgå, lilå, dan ikhlas.

Sejak menikah, bapak tinggal di rumah mertua. Bapak dan mama saya belum punya rumah sendiri. Rumah yang dibeli menggunakan uang hasil jerih payah sendiri. Bukan rumah warisan. Mereka pasangan muda. Mama, 26 tahun usianya. Bapak 2 tahun lebih tua.

Saya lebih muda daripada mereka, ketika menikah. Umur saya 26 tahun. Istri saya 25 tahun.

Saat itu, Jumat siang pada 2009, saya baru menyelesaikan pelatihan pratugas dan mengerjakan soal-soal akhir di Batu. Petangnya, saya melangsungkan akad nikah di Mojokerto. Sabtu, resepsinya. Pada Sabtu yang sama, hasil pelatihan pratugas Fasilitator Kecamatan PNPM Mandiri Perdesaan diumumkan. Lengkap dengan lokasi tugasnya. Nama saya ada dalam daftar penugasan. Banyuputih, Situbondo. Demikian tertera di sana. Maka, Minggu pagi, saya berangkat. Sebab, Senin pagi, semua fasilitator baru harus lapor diri dan mengikuti rapat koordinasi kabupaten.

Saya segera mengontrak rumah. Milik keluarga tentara yang bertugas di koramil setempat. Sederhana, namun nyaman. Pinggir jalan raya, letaknya. Dua bulan kemudian, saya mengajak istri saya tinggal di rumah kontrakan tersebut. Lima tahun kami di sana.

Bapak dan mama saya berbeda. Mereka tidak mengontrak rumah dan membina keluarga secara mandiri. Mereka memilih tinggal bersama orang tua. Tentu, mereka perlu stok kesabaran yang berlimpah. Mereka muda. Sarjana. Mestinya, mereka punya konsep ideal rumah tangga yang bisa jadi tak sama dengan orang tua. Toh, nyatanya, bapak saya tak pernah sekali pun berkonflik dengan mertuanya.

Usia saya hampir 3 tahun. Kurang 2 bulan. Bapak tak lagi menjadi guru. Ia memilih menjadi birokrat. Ia ditugaskan di Situbondo. Sekira 260 kilometer dari rumah.

Dulu, bapak baru punya dua anak. Saya dan adik perempuan saya yang berumur 1,5 tahun. Mama sedang hamil tua. Saya tak dapat membayangkan suasana hati bapak saat itu. Anak-anak sedang lucu-lucunya. Dalam istilah Jawa, tentu bapak kétån-kétånên setiap hari. Terbayang-bayang. Ah, mungkin tidak. Bapak tak romantis dan melankolis seperti saya. Ia tak lahir pada Paing—hari ke-2 dalam pasaran Jawa—seperti saya. Kata orang zaman dulu, orang Paing itu mudah terbawa perasaan. Entahlah.

Bapak dan mama memilih menjalani, dalam istilah kekinian, LDR. Long distance relationship. Hubungan jarak jauh. Mereka mau tak mau harus bersabar. Masa itu belum ada ponsel. Belum ada Whatsapp dan sebagainya. Mereka tak bisa video call. Paling-paling, bapak telepon dari wartel. Itu pun antara subuh dan sebelum pukul 06.00 WIB. Biar murah. Maklum, pegawai negeri. Gaji PNS dulu tak seperti sekarang.

Bapak harus punya sabar yang lebih besar lagi. Tiap akhir pekan, ia harus menempuh tujuh hingga delapan jam perjalanan menggunakan bus umum. Sampean kira itu biasa dan tanpa sabar bisa melakoninya?

Tinggalkan mobilmu. Itu bikin macet saja. Cobalah bepergian naik bus umum. Khususnya saat jam pulang kantor atau akhir pekan.

Pernah, Februari 1989, saya—lebih tepatnya mama saya—merayakan hari kelahiran saya. Mungkin, dia mengira anak lelakinya menginginkan itu. Dan umumnya, memenuhi keinginan seseorang adalah salah satu jalan untuk membahagiakannya. Padahal, sebenarnya, saya tak menganggap penting acara seperti itu. Bukan saya menolak. Namun, saya lebih senang memaknai hari kelahiran saya dalam sunyi. Bermenung dan berdoa di depan jênang sêngkålå. Bubur merah-putih.

Guru-guru dan kawan-kawan saya datang. Mereka ikut bersyukur dan berbahagia. Sedangkan, bapak saya masih berdinas—mestinya, ia sibuk menghadiri musrenbang. Eyang putri saya pun sedang bepergian ke Jakarta. Saya berkeringat dingin. Entahlah. Mungkin itu kali pertama saya merasa sakit demi menginsafi bahwa ada yang lebih penting daripada saya bagi orang-orang yang penting bagi saya. Mungkin itu kali pertama saya belajar menanggung kecewa.

Terekam dalam album foto acara itu, saya lemas dan bercucuran air mata. Mama—dengan dibantu Ibu Supadmi, kepala sekolah—harus membujuk saya agar bersedia meniup lilin yang sudah menyala agak lama. Kawan-kawan bahkan sudah berhenti menyanyi. Mereka menatap saya tak mengerti. Akhirnya, pada tiupan ketiga, saya baru berhasil memadamkan api di atas roti ulang tahun itu.

Saya mengenakan seragam tentara saat itu. Jenderal. Lengkap dengan bintang tanda jasa. Harusnya saya tampak gagah. Apalagi, itu baju baru. Bapak dan mama membelikannya di Toko Aneka Seragam. Depan alun-alun Blitar. Nyatanya, saya tertunduk lesu. Sama seperti Arjuna yang nglokro, hilang semangat, ketika harus berperang melawan Kurawa, saudaranya sendiri. Saya juga berperang. Saya melawan ego saya sendiri. Dan saya kalah. Telak.

Kado dari guru-guru dan kawan-kawan tak lagi menggenapkan perasaan saya. Saya telanjur terluka. Kado-kado itu saya buka. Sebagian bahkan sudah saya pinjamkan kawan-kawan saat acara masih berlangsung. Saya punya banyak kado pistol. Semuanya mainan.

Ada 2 kado yang berbeda. Sekardus air mineral, kira-kira ukurannya. Lebih besar, malah. Isinya mainan bongkar pasang bangun. Semacam Lego. Yang satu, dari guru-guru TK saya. Yang selainnya, entah dari siapa. Saya lupa. Lebih kecil ukurannya. Namun, saya ingat, saya suka. Meskipun selama beberapa hari, mainan itu hanya saya buka bungkusnya. Tak saya mainkan.

Seingat saya, eyang putri pernah menasihati saya, “Kowé kuwi Paing kåyå aku. Paing kuwi sabar. Lêmbah manah.” Nyatanya, saya tak cukup bersabar. Rupanya, itu mitos belaka.

Bapak datang beberapa hari setelahnya. Malam hari. Saya sudah tertidur di ruang makan. Ketika bangun keesokan pagi, mama memberitahu saya bahwa bapak membuatkan sesuatu. Saya cari di ruang makan. Ternyata, bapak membuatkan saya miniatur tugu monas dan tank dari Lego kado ulang tahun saya. Mungkin itu cara bapak menebus kekecewaan saya.

Bapak memperhatikan dan menyayangi saya dengan caranya sendiri. Tak adil memperbandingkannya dengan bapak-bapak lainnya.

Bapak. Sesungguhnya ia dapat ditafsir secara beraneka. Itulah konsekuensi dari segala yang berbentuk. Ia berbayang. Letak jatuh bayangan akan sesuai dengan cahaya yang datang. Kekuatan cahayanya, jaraknya, serta sudutnya memengaruhi bayangan. Salah satu hukumnya, semakin dekat benda dengan sumber cahaya, bayangannya akan semakin besar.

Saya senang menafsir bapak dari dekat sebagai manusia yang mencoba menjadi yang baik sesuai keyakinannya. Pengalaman hidupnya. Dengannya, bayangan bapak tampak lebih besar.

Pada dasarnya, saya memang senang mengenang semua. Termasuk, mengenang orang-orang yang menyertai dalam proses saya menjadi itu.

Apakah kelak anak, istri, saudara belahan, kawan-kawan, dan barisan para mantan #eh juga mengenang saya sebagai orang yang baik dan pernah mengajarkan kebaikan?

Saya tak tahu. Yang pasti, sekarang, mari sejenak kita mengenang siapa pun yang pernah mengajarkan kebaikan kepada kita. Untuk mereka, al-Fatihah.•fgs




Tidak ada komentar:

Posting Komentar