Kamis, 17 Mei 2018

Puasa


Nèk lêmu, iså tênang nèk kêtêmu wång tuwå,” kata Ariyo, “wång tuwå ora mikir rênå- rênå. ‘Anakku kok kuru, åpå (o)ra tau di(we)nèhi mangan karo bojoné?’”

Siang itu, kami sedang makan di kantor. Jemuwah Kliwon. Dua puluh April 2018. Obrolan itu bumbunya.

Saya kisahkan kepada Ariyo, kawan saya, bahwa ada orang tua yang justru tak senang jika anaknya gemuk, karena: (1) khawatir anaknya berisiko menderita sakit tertentu, semisal jantung, hipertensi, atau kolesterol, dan (2) merasa bahwa mereka tak berhasil mendidik anaknya menjadi manusia yang asketik.

Bapakku, pas pirså nèk aku lêmu, ngêndikå, Kowé kok bêngêp kabèh ngunu, Feb. Kowé rak ora åpå-åpå tå?’” cerita saya.

Begitulah. Di Jawa, tubuh memang mendapat perhatian khusus. Pewayangan, cerminannya. Dunia bayang-bayang. Idealisasi kehidupan manusia Jawa.

Para kesatria wayang umumnya langsing. Itulah yang dianggap baik. Lihat, Arjuna. Tubuhnya ramping. Sikap tubuhnya merendah. Perangainya halus. Di balik itu, ia sakti mandraguna. Sebaliknya, yang gembrot adalah pihak selainnya. Butå. Raksasa. Bukan manusia. Disematkanlah kepada mereka sifat tamak, rakus, kasar, ora duwé dugå, dan sebagainya. Maka, tubuh bukan dipandang sebagai estetika belaka, tetapi moral. Akhlak.

Menjadi kesatria seperti Arjuna tak mudah. Ia kerap melakukan persemadian ketika ingin mendapatkan anugerah dewa berupa ilmu kesaktian atau senjata. Dalam tapanya, ia digoda dengan berbagai-bagai coba. Dalam Wanaparwa misalnya, dikisahkan Arjuna bertapa di Indrakila. Ia diuji dengan penampakan bidadari pimpinan Dewi Supraba. Empat bidadari lainnya adalah Warsiki, Gagarmayang, Surendra, dan Wilotama. Arjuna lulus goda. Dewa Indra mengaruniakan senjata kepadanya.

Bertapa sejatinya adalah pengekangan hasrat. Laku itu bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga hasrat seksual, pengakuan, dan lainnya. Setelah menjalaninya, pelakunya mengalami transformasi. Perilakunya berubah. Kesaktiannya bertambah.

Bagi saya, ada irisan antara tapa dan puasa, baik dalam arti umum maupun khusus. Yaitu, sikap sabar dalam: (1) menahan diri dari segala hasrat yang membatalkannya dan (2) menahan diri untuk tetap istikamah melakukan kebaikan. Dalam aras ini, tentu ada yang perlu direnungkan kembali jika puasa yang telah dilakukan tak berdampak apa pun, kecuali penurunan berat badan.

Itu wayang. Ndak nyata. Bertapa atau berpuasakah lainnya?

Akèh yang semisalnya. Karena, sesungguhnya, semua makhluk pada segala masa mempraktikkan laku puasa. Yang terkenal, sering dibuat contoh, ulêr. Ulat. Ia bertapa, berpuasa, saat fase kepompong agar menjadi kupu-kupu bersayap indah. Elok dipandang mata.

Dengan laku itu, maqam ulat naik. Tak hanya merayap di dimensi yang terbatas. Ia terbang. Di ketinggian, ia dapat melihat segala secara berbeda. Lebih luas. Semua serbabeda. Bahkan, makanannya pun ikut berubah dari yang sebelumnya.

Kupu. Itu terlalu mainstream.

Percayalah, puasa itu termasuk ibadah yang paling purba, selain kurban dan salat. Para nabi berpuasa. Filsuf, seperti Plato dan Socrates, berpuasa. Hewan, selain ulat tadi, ada ikan salmon, beruang, dan lain-lain yang berpuasa. Juga tumbuhan. Jadi, sebenarnya, puasa memang perlu untuk diri kita sendiri. Gusti Allah Maha Tahu. Termasuk mengenai kebutuhan kita, makhluknya. Kitalah yang sok tahu.

Namun, kecuali semua itu, menurut Al-Ghazali, puasa punya banyak dimensi. Secara bertingkat: kepatuhan, pelatihan, pengorbanan, penyucian, perjuangan, keikhlasan, serta hikmah dan i’tibar. Bahwa setelah berpuasa kita jadi lebih kurus, lebih sehat, lebih peka sosial, dan lain-lain sebenarnya hanyalah bagian dari dimensi yang terakhir, hikmah dan i’tibar. Bonus.

Sejatinya, dimensi utama puasa adalah kepatuhan terhadap Tuhan di atas segalanya. Anggêr wis memenuhi syarat, meski telah merasa langsing, sehat, peka sosial, dan seterusnya, tak serta merta membatalkan kewajiban berpuasa.

Jadi, yå kuwi maêng, nèk påså njuk ora tambah ketakwaan-é marang Gusti Allah, ora tambah apik akhlak-é, mêstiné ada yang kurang pas. Mergå dhawuhé Gusti Allah, “Ya ayyuhalladzina amanu kutiba ‘alaikumush shiyamu kama kutiba ‘alalladzina min qablikum la’alakum tattaqun.” Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Q.S. al-Baqarah: 183)

Maka, selamat berpuasa, Kawan. Selamat berproses menjadi.•fgs



2 komentar:

  1. Mantap Gan Artikelnya, websitenya rapih gan, klo mau kunjung balik gan
    Golden Gamat

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas kunjungan dan komentar sampean. Salam. 😊🙏

    BalasHapus