“Nèk lêmu, iså tênang nèk kêtêmu wång tuwå,”
kata Ariyo, “wång tuwå ora mikir rênå-
rênå. ‘Anakku kok kuru, åpå (o)ra tau
di(we)nèhi mangan karo bojoné?’”
Siang
itu, kami sedang makan di kantor. Jemuwah
Kliwon. Dua puluh April 2018. Obrolan itu bumbunya.
Saya
kisahkan kepada Ariyo, kawan saya, bahwa ada orang tua yang justru tak senang
jika anaknya gemuk, karena: (1) khawatir anaknya berisiko menderita sakit
tertentu, semisal jantung, hipertensi, atau kolesterol, dan (2) merasa bahwa
mereka tak berhasil mendidik anaknya menjadi manusia yang asketik.
“Bapakku, pas pirså nèk aku lêmu, ngêndikå, ‘Kowé kok bêngêp kabèh ngunu, Feb. Kowé rak ora åpå-åpå tå?’” cerita saya.
Begitulah.
Di Jawa, tubuh memang mendapat perhatian khusus. Pewayangan, cerminannya. Dunia
bayang-bayang. Idealisasi kehidupan manusia Jawa.
Para
kesatria wayang umumnya langsing. Itulah yang dianggap baik. Lihat, Arjuna.
Tubuhnya ramping. Sikap tubuhnya merendah. Perangainya halus. Di balik itu, ia
sakti mandraguna. Sebaliknya, yang gembrot adalah pihak selainnya. Butå. Raksasa. Bukan manusia. Disematkanlah
kepada mereka sifat tamak, rakus, kasar, ora duwé dugå, dan sebagainya. Maka, tubuh bukan dipandang
sebagai estetika belaka, tetapi moral. Akhlak.
Menjadi
kesatria seperti Arjuna tak mudah. Ia kerap melakukan persemadian ketika ingin
mendapatkan anugerah dewa berupa ilmu kesaktian atau senjata. Dalam tapanya, ia
digoda dengan berbagai-bagai coba. Dalam Wanaparwa
misalnya, dikisahkan Arjuna bertapa di Indrakila. Ia diuji dengan penampakan bidadari pimpinan Dewi Supraba. Empat bidadari lainnya adalah Warsiki, Gagarmayang, Surendra, dan Wilotama. Arjuna lulus goda. Dewa Indra mengaruniakan
senjata kepadanya.
Bertapa
sejatinya adalah pengekangan hasrat. Laku itu bukan sekadar menahan lapar dan
dahaga, tetapi juga hasrat seksual, pengakuan, dan lainnya. Setelah menjalaninya,
pelakunya mengalami transformasi. Perilakunya berubah. Kesaktiannya bertambah.
Bagi
saya, ada irisan antara tapa dan puasa, baik dalam arti umum maupun khusus. Yaitu,
sikap sabar dalam: (1) menahan diri dari
segala hasrat yang membatalkannya dan (2) menahan
diri untuk tetap istikamah melakukan kebaikan. Dalam aras ini, tentu ada
yang perlu direnungkan kembali jika puasa yang telah dilakukan tak berdampak apa
pun, kecuali penurunan berat badan.
Itu
wayang. Ndak nyata. Bertapa atau
berpuasakah lainnya?
Akèh yang semisalnya. Karena, sesungguhnya,
semua makhluk pada segala masa mempraktikkan laku puasa. Yang terkenal, sering
dibuat contoh, ulêr. Ulat. Ia
bertapa, berpuasa, saat fase kepompong agar menjadi kupu-kupu bersayap indah.
Elok dipandang mata.
Dengan
laku itu, maqam ulat naik. Tak hanya
merayap di dimensi yang terbatas. Ia terbang. Di ketinggian, ia dapat melihat
segala secara berbeda. Lebih luas. Semua serbabeda. Bahkan, makanannya pun ikut
berubah dari yang sebelumnya.
Kupu.
Itu terlalu mainstream.
Percayalah,
puasa itu termasuk ibadah yang paling purba, selain kurban dan salat. Para nabi
berpuasa. Filsuf, seperti Plato dan Socrates, berpuasa. Hewan, selain ulat
tadi, ada ikan salmon, beruang, dan lain-lain yang berpuasa. Juga tumbuhan.
Jadi, sebenarnya, puasa memang perlu untuk diri kita sendiri. Gusti Allah Maha Tahu.
Termasuk mengenai kebutuhan kita, makhluknya. Kitalah yang sok tahu.
Namun,
kecuali semua itu, menurut Al-Ghazali, puasa punya banyak dimensi. Secara
bertingkat: kepatuhan, pelatihan, pengorbanan, penyucian, perjuangan,
keikhlasan, serta hikmah dan i’tibar. Bahwa setelah berpuasa kita jadi lebih
kurus, lebih sehat, lebih peka sosial, dan lain-lain sebenarnya hanyalah
bagian dari dimensi yang terakhir, hikmah dan i’tibar. Bonus.
Sejatinya,
dimensi utama puasa adalah kepatuhan terhadap Tuhan di atas segalanya. Anggêr wis memenuhi syarat, meski telah
merasa langsing, sehat, peka sosial, dan seterusnya, tak serta merta
membatalkan kewajiban berpuasa.
Jadi,
yå kuwi maêng, nèk påså njuk ora tambah ketakwaan-é marang Gusti Allah, ora tambah apik
akhlak-é, mêstiné ada yang kurang pas. Mergå
dhawuhé Gusti Allah, “Ya ayyuhalladzina
amanu kutiba ‘alaikumush shiyamu kama kutiba ‘alalladzina min qablikum la’alakum
tattaqun.” Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa,
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Q.S.
al-Baqarah: 183)
Maka,
selamat berpuasa, Kawan. Selamat berproses menjadi.•fgs
Mantap Gan Artikelnya, websitenya rapih gan, klo mau kunjung balik gan
BalasHapusGolden Gamat
Terima kasih atas kunjungan dan komentar sampean. Salam. 😊🙏
BalasHapus