Selasa, 15 Mei 2018

Bom Surabaya


SAYA tak takut kepada bom. Sama sekali. Itu hanya semacam mercon impling, petasan cabe atau ceplik, yang lebih besar saja. Namun, saya takut kepada kebencian.

Minggu pagi, 4 hari menjelang Ramadan, seperti diwartakan media, 3 bom bunuh diri meledak di 3 gereja di Surabaya. Diduga, bom itu diledakkan oleh keluarga yang terdiri atas bapak, ibu, 2 anak lelaki (18 dan 16 tahun), dan 2 anak perempuan (12 dan 9 tahun). Piyé mereka itu, Minggu wayahe siram-siram tanduran utåwå silaturahim ke rumah kerabat atau kawan-kawan, malah dolanan bom.

Saya sedang dalam perjalanan dari Malang ke Mojokerto saat itu. Ponsel saya matikan dan masukkan ransel. Saya enggan menerima panggilan telepon saat dalam perjalanan. Surabaya siaga satu. Beberapa kawan, di antaranya Bro GA, Mbak SAR, Mbak GS, dan Pak K, berupaya menelepon saya. Mereka ingin memastikan bahwa saya baik-baik saja.

Perhatian sekali, mereka. Jadi terharu. Semoga Gusti Allah juga memperhatikan mereka. Itu doa saya. Eh, ternyata, di antara mereka sebenarnya ada yang hanya ingin memastikan bahwa bukan saya pelakunya. Asêm tênan. Tiwas dakdungakné.

Terorisme tersebar. Syak wasangka mematikan nalar. Kebencian membakar habis kemanusiaan.

Mestinya, kita menyadari bahwa ada yang salah dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara kita. Terorisme—jika itu dianggap oleh pelakunya sebagai bentuk jihad atau perlawanan—biasanya mudah tumbuh di atas lahan kemiskinan, kesadaran atas ketakadilan, dan/atau pemahaman menyimpang atas ajaran agama—untuk tak menyebutnya sebagai kebodohan.

Bayangkan, bapak-ibu itu menjadikan 4 anak mereka berani meledakkan bom bunuh diri. Demi apa? Mungkin, sebelumnya, mereka ajak anak-anak itu mengandaikan kehidupan setelah kematian yang menyenangkan di surga. Mereka akan terlepas dari dunia yang membelenggu dan penuh tipu daya. Dan, anak-anak itu pun manut.

Mereka anak-anak. Dalam imajinasi saya, mereka tak sempat ragu dan bertanya, benarkah mereka akan diganjar surga? Jangan-jangan, mencium harumnya pun, tidak. Lalu, mereka njepipis di pojokan di alam sana sambil menunggu hari perhitungan. Hampa. Kecewa. Sedangkan korban bom, yang menurut mereka kafir itu, berlarian dengan riang menemui Tuhannya, melewati mereka yang njepipis di pojokan itu, berhenti sejenak, tersenyum, lalu menyalami mereka satu per satu. Damai.

Lha iyå tå, lalu demi apa? Nèk suwargå aé, jaré banyak unggahan di media sosial kuwi rak gampang tå, tinggal klik like, share, atau ketik amin di kolom komentar. Mudah. Murah. Hanya butuh jempol dan otak kosong.

Kemarin, menjelang isya, seorang kawan menelepon. Ia berkata, “Itu bisa jadi muaranya pengesahan RUU Terorisme. Jika itu gagal, toh akan jadi Perppu.

Éalah êmbuh. Bisa jadi. Bisa jadi pula itu sekadar khayalannya. Yang pasti, seperti tagar #kamitidaktakut, saya tak takut kepada teroris. Mereka lucu dan menggemaskan. Malahan, kalau dipikir-pikir, sejatinya mereka perlu dikasihani. Namun, sungguh, saya takut kepada kebencian.•fgs



Tidak ada komentar:

Posting Komentar