SYAHDAN,
seorang lelaki bercanda dengan anaknya. Kamar berukuran 3 x 4 meter itu memantulkan
tawa mereka.
Sebagian
rambut lelaki itu telah memutih. Sepertiga abad lebih umurnya. Mestinya, rambutnya
tak secepat itu berubah warna. Ia ingat, perubahan itu mulai tampak saat
usianya 27 tahun. Satu-dua saja, kala itu. Bertambah satu-dua lagi saat ia berusia
30-31 tahun. Mungkin, itu seturut tanggung jawabnya yang bertambah.
Memasuki
usia 34 tahun, rambut putih itu semakin banyak. Tak hanya di kepala, tapi juga
di sebagian besar hidung dan 5 helai di janggutnya. Suatu ketika, seorang
kawannya, Yogi namanya, berkomentar, “Cahayanya tambah, Om.”
Ia
tersenyum. Cahaya. “Uban adalah cahaya bagi seorang mukmin. Tidaklah seseorang
beruban, walau hanya sehelai, kecuali setiap ubannya akan dihitung sebagai
kebaikan yang akan meninggikan derajatnya,” demikian sabda Kangjeng Nabi.1
Maka, sekali lagi ia tersenyum.
Ia
ingat, pada ketika yang lain, saat melihat ubannya, kawan lain, Heri Sugiarto, menilai,
“Sampéan iku wis tuwå tênan yå, Pak.”
Reaksi lelaki itu sama. Ia tersenyum. Menjadi tua adalah niscaya. Itu hanya
soal pertambahan dalam deret hitung waktu saja. Sedangkan menjadi dewasa, sampéan mêsti wis kêrêp måcå ning media sosial,
itu pilihan.
Duh,
kata-kata bijak. Ia bertebaran. Sejatinya, itu justru gambaran bahwa orang-orang
semakin jauh dari kebijaksanaan. Andai banyak orang telah memilikinya,
kata-kata bijak tentu tak disiarkan untuk diambil hikmahnya.
Namun,
benarlah kata kawannya itu. Ia bertambah tua. Uban itu tandanya. Umumnya, uban
mulai muncul saat seseorang berusia 40 tahun. Rupanya, ia jauh lebih cepat
memperolehnya. Bagi kaum beriman, tentu uban bermakna peringatan bahwa hidup di
dunia tak lama. “Uban merupakan tanda perpisahan dengan masa kanak-kanak,”
demikian penjelasan Imam Al-Qurthubi.
Dalam
sebuah riwayat, saya pernah membacanya di Republika,
Kangjeng Nabi beruban. Abu Bakar bahkan bertanya kepada beliau perihal rambut beliau
yang begitu lekas beruban. Beliau menjawab, “Surat Hud, al-Waqiah, al-Mursalat,
an-Naba, dan at-Takwir, itulah yang menyebabkan rambutku lekas putih.”
Lelaki
itu bersyukur. Setidaknya, Gusti Allah membuat rambutnya cepat memutih seperti
Kangjeng Nabi. Maka, lagi-lagi, ia tersenyum.
Dalam
hadis lain disebutkan bahwa manusia yang pertama kali melihat uban di kepala
adalah Nabi Ibrahim a.s.. Ketika itu, Nabi Ibrahim lantas bertanya kepada Gusti
Allah, “Ya Tuhanku, apakah ini?” Gusti Allah menjawab, “Ini adalah kemuliaan
dan kelembutan wahai Ibrahim.”
Mengingat
hadis itu, kali ini, lelaki itu tersenyum malu. Ia memiliki tanda kemulian dan
kelembutan di atas kepalanya, tapi ia merasa belum memiliki itu di dalam
hatinya.
Beberapa
minggu yang lalu, istri lelaki itu bercerita. Masih soal uban. Katanya,
berdasarkan penemuan terkini, beruban sebelum waktunya merupakan tanda peningkatan
risiko penyakit jantung. Lelaki itu masih tersenyum. Kali ini untuk menenangkan
istrinya. Ia tahu, setahun yang lalu, seorang ahli jantung di Universitas
Kairo, Mesir, mengumumkan hasil penelitiannya. Persis seperti diceritakan oleh istrinya.
Sekadar
cerita, lelaki itu telah biasa makan enak sejak kecil. Kebuk (paru), otak sapi, hati, usus, dan lain-lain adalah menu makan tiap
hari baginya. Ia tak banyak makan sayur. Paling-paling jika dimasakkan sop. Itu
pun banyak potongan daging atau ayamnya. Ia hampir tak pernah makan ikan. “Panganané wång bodho,” kata eyang
putrinya untuk menyebut orang-orang yang tak dapat membeli jenis makanan mahal itu.
Maafkanlah eyang putri lelaki itu. Ia tak bermaksud sombong atau menghina kaum papa. Ia hanya ingin menyenangkan dan meyakinkan cucunya bahwa memakan segala menu mewah itu bukanlah hal hina. Asal bukan hasil laku rasuah saja, tentu.
Maafkanlah eyang putri lelaki itu. Ia tak bermaksud sombong atau menghina kaum papa. Ia hanya ingin menyenangkan dan meyakinkan cucunya bahwa memakan segala menu mewah itu bukanlah hal hina. Asal bukan hasil laku rasuah saja, tentu.
Maka,
sejak memasuki usia kepala tiga, ia sebenarnya punya banyak pantangan. Itu kata
dokter. Kolesterolnya jauh di atas ambang normal. Namun, ia bukan orang yang
mudah dilarang. Kemarin, sepulang dari Jakarta, lelaki itu membeli nasi krawu
dan otak sapi sebagai menu buka puasa. Lelaki itu lupa. Mestinya, ia cukup
berbuka dengan yang manis (lagi setia). Bukan begitu?
![]() |
Lomba Makan Mi Instan |
Lelaki
itu tertawa. Ia masih saja asyik bercanda dengan anaknya ketika istrinya
bertanya, “Mau dibuatkan apa?”
“Mi
instan!” jawabnya. Serempak dengan anaknya.
Istrinya
mengomel. Namun, toh tetap menyajikannya. Mungkin, itu bukti baktinya. Lelaki itu makan
mi instan sepiring dengan anaknya. Beberapa sendok saja. Anaknya yang menandaskan.
“Hore,
aku menang. Abi kalah. Abi nggak (ked)uman,”
seru anaknya, “Mi instan sedap sekali ya, Abi?”
Lelaki
itu tersenyum. Ia usap kepala anaknya. Anak-bapak dari generasi yang sama:
Generasi Micin.•fgs
Catatan Akhir:
1H.R. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al-Albani dalam Al Jami’ ash-Shagir mengatakan bahwa
hadis ini hasan. Disebutkan dalam hadis yang lain, “Barangsiapa yang telah
beruban dalam Islam, maka dia akan mendapatkan cahaya di hari kiamat.” (H.R.
Tirmidzi No. 1634)
Kangjeng
Nabi juga pernah melarang mencabut uban. Beliau dhawuh:
“Janganlah
mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang
beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya
satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya
akan ditinggikan satu derajat.” (H.R. Ibnu Hibban)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar