Minggu, 06 Mei 2018

Hanya Mi Instan, Bukan yang Lain


SYAHDAN, seorang lelaki bercanda dengan anaknya. Kamar berukuran 3 x 4 meter itu memantulkan tawa mereka.

Sebagian rambut lelaki itu telah memutih. Sepertiga abad lebih umurnya. Mestinya, rambutnya tak secepat itu berubah warna. Ia ingat, perubahan itu mulai tampak saat usianya 27 tahun. Satu-dua saja, kala itu. Bertambah satu-dua lagi saat ia berusia 30-31 tahun. Mungkin, itu seturut tanggung jawabnya yang bertambah.

Memasuki usia 34 tahun, rambut putih itu semakin banyak. Tak hanya di kepala, tapi juga di sebagian besar hidung dan 5 helai di janggutnya. Suatu ketika, seorang kawannya, Yogi namanya, berkomentar, “Cahayanya tambah, Om.”

Ia tersenyum. Cahaya. “Uban adalah cahaya bagi seorang mukmin. Tidaklah seseorang beruban, walau hanya sehelai, kecuali setiap ubannya akan dihitung sebagai kebaikan yang akan meninggikan derajatnya,” demikian sabda Kangjeng Nabi.1 Maka, sekali lagi ia tersenyum.

Ia ingat, pada ketika yang lain, saat melihat ubannya, kawan lain, Heri Sugiarto, menilai, “Sampéan iku wis tuwå tênan yå, Pak.” Reaksi lelaki itu sama. Ia tersenyum. Menjadi tua adalah niscaya. Itu hanya soal pertambahan dalam deret hitung waktu saja. Sedangkan menjadi dewasa, sampéan mêsti wis kêrêp måcå ning media sosial, itu pilihan.

Duh, kata-kata bijak. Ia bertebaran. Sejatinya, itu justru gambaran bahwa orang-orang semakin jauh dari kebijaksanaan. Andai banyak orang telah memilikinya, kata-kata bijak tentu tak disiarkan untuk diambil hikmahnya.

Namun, benarlah kata kawannya itu. Ia bertambah tua. Uban itu tandanya. Umumnya, uban mulai muncul saat seseorang berusia 40 tahun. Rupanya, ia jauh lebih cepat memperolehnya. Bagi kaum beriman, tentu uban bermakna peringatan bahwa hidup di dunia tak lama. “Uban merupakan tanda perpisahan dengan masa kanak-kanak,” demikian penjelasan Imam Al-Qurthubi.

Dalam sebuah riwayat, saya pernah membacanya di Republika, Kangjeng Nabi beruban. Abu Bakar bahkan bertanya kepada beliau perihal rambut beliau yang begitu lekas beruban. Beliau menjawab, “Surat Hud, al-Waqiah, al-Mursalat, an-Naba, dan at-Takwir, itulah yang menyebabkan rambutku lekas putih.”

Lelaki itu bersyukur. Setidaknya, Gusti Allah membuat rambutnya cepat memutih seperti Kangjeng Nabi. Maka, lagi-lagi, ia tersenyum.

Dalam hadis lain disebutkan bahwa manusia yang pertama kali melihat uban di kepala adalah Nabi Ibrahim a.s.. Ketika itu, Nabi Ibrahim lantas bertanya kepada Gusti Allah, “Ya Tuhanku, apakah ini?” Gusti Allah menjawab, “Ini adalah kemuliaan dan kelembutan wahai Ibrahim.”

Mengingat hadis itu, kali ini, lelaki itu tersenyum malu. Ia memiliki tanda kemulian dan kelembutan di atas kepalanya, tapi ia merasa belum memiliki itu di dalam hatinya.

Beberapa minggu yang lalu, istri lelaki itu bercerita. Masih soal uban. Katanya, berdasarkan penemuan terkini, beruban sebelum waktunya merupakan tanda peningkatan risiko penyakit jantung. Lelaki itu masih tersenyum. Kali ini untuk menenangkan istrinya. Ia tahu, setahun yang lalu, seorang ahli jantung di Universitas Kairo, Mesir, mengumumkan hasil penelitiannya. Persis seperti diceritakan oleh istrinya.

Sekadar cerita, lelaki itu telah biasa makan enak sejak kecil. Kebuk (paru), otak sapi, hati, usus, dan lain-lain adalah menu makan tiap hari baginya. Ia tak banyak makan sayur. Paling-paling jika dimasakkan sop. Itu pun banyak potongan daging atau ayamnya. Ia hampir tak pernah makan ikan. “Panganané wång bodho,” kata eyang putrinya untuk menyebut orang-orang yang tak dapat membeli jenis makanan mahal itu.

Maafkanlah eyang putri lelaki itu. Ia tak bermaksud sombong atau menghina kaum papa. Ia hanya ingin menyenangkan dan meyakinkan cucunya bahwa memakan segala menu mewah itu bukanlah hal hina. Asal bukan hasil laku rasuah saja, tentu.

Maka, sejak memasuki usia kepala tiga, ia sebenarnya punya banyak pantangan. Itu kata dokter. Kolesterolnya jauh di atas ambang normal. Namun, ia bukan orang yang mudah dilarang. Kemarin, sepulang dari Jakarta, lelaki itu membeli nasi krawu dan otak sapi sebagai menu buka puasa. Lelaki itu lupa. Mestinya, ia cukup berbuka dengan yang manis (lagi setia). Bukan begitu?

Lomba Makan Mi Instan

Lelaki itu tertawa. Ia masih saja asyik bercanda dengan anaknya ketika istrinya bertanya, “Mau dibuatkan apa?”

“Mi instan!” jawabnya. Serempak dengan anaknya.

Istrinya mengomel. Namun, toh tetap menyajikannya. Mungkin, itu bukti baktinya. Lelaki itu makan mi instan sepiring dengan anaknya. Beberapa sendok saja. Anaknya yang menandaskan.

“Hore, aku menang. Abi kalah. Abi nggak (ked)uman,” seru anaknya, “Mi instan sedap sekali ya, Abi?”

Lelaki itu tersenyum. Ia usap kepala anaknya. Anak-bapak dari generasi yang sama: Generasi Micin.•fgs



Catatan Akhir:
1H.R. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al-Albani dalam Al Jami’ ash-Shagir mengatakan bahwa hadis ini hasan. Disebutkan dalam hadis yang lain, “Barangsiapa yang telah beruban dalam Islam, maka dia akan mendapatkan cahaya di hari kiamat.” (H.R. Tirmidzi No. 1634)

Kangjeng Nabi juga pernah melarang mencabut uban. Beliau dhawuh:

“Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.” (H.R. Ibnu Hibban)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar