SEHARI
sebelum peringatan Hari Buruh hari ini. Pagi. Lebih kurang pukul 05.25 WIB. Kaum
buruh, kaum marhaen, rakyat pekerja, kaum miskin kota, proletar, atau apa pun
sebutannya sudah bergelut dengan kemacetan, bising dan sesaknya jalanan, dan segala
rupa ketakadilan. Mungkin, usai salat subuh, di antara mereka ada yang memacu
adrenalin dengan menyelinap agar tak bertemu pemilik indekos dan ditagih uang sewa.
Di tempat lain, diam-diam, pemimpin perusahaan, borjuis, menyeruput kopi. Melihat
sekilas ke luar. Mobil mewahnya sudah disiapkan oleh sopirnya sejak tadi. Rencananya, ia akan berlibur bersama dengan
keluarganya. Memacetkan jalan bersama dengan buruh-buruhnya yang lain yang
bermental borjuis. Alah, apa salahnya
menikmati hidup?
Benar.
Mungkin, ilustrasi saya saja yang terlalu berlebihan. Yang pasti, pada saat
yang sama dengan cerita fiktif itu, Mas Dhaya—masih ingat tentangnya? Esok Juni, ia genap 5 tahun. Ia pernah
saya ceritakan di sini—bertanya, “Jembatan
yang ambruk itu (jembatan) yang (dilewati ketika) mau ke Tuban itukah?”
Saya
mengiakan.
“Harusnya pabrik-pabrik itu kalau
(me)ngangkut barang sedikit-sedikit aé.
Bukan banyak-banyak. Jalannya jadi rusak. Jembatannya jadi roboh. Itu kasihan
sopirnya kan, Abi? Jadi meninggal. Polisi-polisi biasa itu memang nggak
disiplin,” tukasnya.
Ia
selalu membebankan segala permasalahan di jalan raya kepada polisi. Ia menyebut
polisi sebagai polisi biasa. Polisi yang
seragam dan lain-lainnya berbeda dengan polisi militer. Polisi biasa baginya
tak disiplin dan tak mau bekerja sungguh-sungguh. Pasalnya, ia sering melihat polisi
tak mengacuhkan pelanggaran lalu lintas. Misalnya, anak-anak di bawah umur
(yang telah diatur dalam perundang-undangan) yang mengendarai sepeda motor, orang
dewasa yang tak mengenakan helm, dan sebagainya.
Saat
berhenti karena lampu merah menyala, ia sering mengomel, “Itu, lihat, Abi! Ngawur itu, nggak pakai helm. Nah, itu juga. Pasti mereka
nggak punya SIM.”
“Lo, Mas Dhaya tahu dari mana, mereka nggak punya SIM?”
tanya saya.
Dengan
meyakinkan ia jawab, “Hèlèh, helm aja
nggak punya pun. Måsåk punya SIM?”
Agaknya,
ia cenderung terlalu cepat menyimpulkan. Itu saya katakan kepadanya, tentu
saja. Skeptis itu perlu. Ia diam saja mendengar nasihat saya.
Kembali ke soal tadi. Mas Dhaya lanjut bertanya, “Itu makam sopirnya, di mana, Abi?”
“Abi nggak tahu, Nak...,” jawab saya
seraya bergegas menuju kamar mandi.
Sekilas,
saya lihat ia diam. Tercenung.
Di
kamar mandi, saya memenungkan percakapan dengan Mas Dhaya. Ia, mungkin saking
menghayati bahwa abi-nya bekerja di
tempat yang jauh dengannya, menanyakan pertanyaan yang bisa jadi tampak remeh:
letak makam sopir yang meninggal akibat truk yang dikemudikannya tercebur Bengawan
Solo. Bagi Mas Dhaya, mungkin sopir itu bisa jadi adalah abi dari anak-anak seusianya. Tentu menyedihkan kehilangan seorang abi.
Bagi saya, Mas Dhaya terbukti lebih awas dan waras. Ia lebih peduli terhadap sopir, buruh, serta—secara lebih luas—manusia dan kemanusiaan. Padahal, saya menganggapnya peristiwa biasa.
Bagi saya, Mas Dhaya terbukti lebih awas dan waras. Ia lebih peduli terhadap sopir, buruh, serta—secara lebih luas—manusia dan kemanusiaan. Padahal, saya menganggapnya peristiwa biasa.
Saya
tentu dapat berdalih bahwa sikap toleransi terhadap peristiwa semacam itu
akibat derasnya arus informasi serupa di internet. Tiap hari. Namun, diam-diam
saya menyadari bahwa ada yang salah dengan diri saya.
Masih
kemarin. Sore hari. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Lamongan, dari
Bungurasih, saya mampir rumah om saya. Tak jauh dari Bungurasih. Cukup naik
ojek. Ongkosnya Rp12-15 ribu sekali jalan. Pergi-pulang total Rp24-30 ribu. Saya
beri tukang ojek itu Rp35 ribu. Yang Rp5 ribu, minångkå ganti waktu tunggu sekira 10 menit.
Om
saya itu adalah adik kandung mama saya. Anaknya yang sulung, perempuan, melahirkan
bayi laki pada 10 hari yang lalu. Bayinya cukup besar. Wajar, berat badannya 3,7 kilogram saat
dilahirkan secara sesar.
Om
saya sempat bertanya beberapa hal tentang pekerjaan saya. Di antaranya, ia
bertanya, “Berarti, kamu juga bisa saja
bertugas di lembaga yang sama di negara lain?”
“Bisa saja, kalau mau,” jawab saya. Tentu
saja, kalau mampu juga. Namun, itu hanya saya sampaikan dalam hati.
“Saya memilih bekerja di tanah air saja.
Negeri ini masih memiliki banyak persoalan. Kemiskinan, ketakadilan, dan
lain-lain. Mengapa saya harus mengurus negeri orang lain, sedangkan negeri saya
sendiri masih tak terurus? Idealisme macam ini saya kira kok perlu
dipertahankan, Om,” pungkas saya. Entah dari mana saya punya ide jawaban macam
itu.
Selamat
hari buruh. Merdeka!•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar