Selasa, 01 Mei 2018

Dari Soal Jembatan Widang Sampai Hari Buruh


SEHARI sebelum peringatan Hari Buruh hari ini. Pagi. Lebih kurang pukul 05.25 WIB. Kaum buruh, kaum marhaen, rakyat pekerja, kaum miskin kota, proletar, atau apa pun sebutannya sudah bergelut dengan kemacetan, bising dan sesaknya jalanan, dan segala rupa ketakadilan. Mungkin, usai salat subuh, di antara mereka ada yang memacu adrenalin dengan menyelinap agar tak bertemu pemilik indekos dan ditagih uang sewa. Di tempat lain, diam-diam, pemimpin perusahaan, borjuis, menyeruput kopi. Melihat sekilas ke luar. Mobil mewahnya sudah disiapkan oleh sopirnya sejak tadi. Rencananya, ia akan berlibur bersama dengan keluarganya. Memacetkan jalan bersama dengan buruh-buruhnya yang lain yang bermental borjuis. Alah, apa salahnya menikmati hidup?

Benar. Mungkin, ilustrasi saya saja yang terlalu berlebihan. Yang pasti, pada saat yang sama dengan cerita fiktif itu, Mas Dhaya—masih ingat tentangnya? Esok Juni, ia genap 5 tahun. Ia pernah saya ceritakan di sini—bertanya, “Jembatan yang ambruk itu (jembatan) yang (dilewati ketika) mau ke Tuban itukah?

Saya mengiakan.

Harusnya pabrik-pabrik itu kalau (me)ngangkut barang sedikit-sedikit . Bukan banyak-banyak. Jalannya jadi rusak. Jembatannya jadi roboh. Itu kasihan sopirnya kan, Abi? Jadi meninggal. Polisi-polisi biasa itu memang nggak disiplin,” tukasnya.

Ia selalu membebankan segala permasalahan di jalan raya kepada polisi. Ia menyebut polisi sebagai polisi biasa. Polisi yang seragam dan lain-lainnya berbeda dengan polisi militer. Polisi biasa baginya tak disiplin dan tak mau bekerja sungguh-sungguh. Pasalnya, ia sering melihat polisi tak mengacuhkan pelanggaran lalu lintas. Misalnya, anak-anak di bawah umur (yang telah diatur dalam perundang-undangan) yang mengendarai sepeda motor, orang dewasa yang tak mengenakan helm, dan sebagainya.

Saat berhenti karena lampu merah menyala, ia sering mengomel, “Itu, lihat, Abi! Ngawur itu, nggak pakai helm. Nah, itu juga. Pasti mereka nggak punya SIM.”

Lo, Mas Dhaya tahu dari mana, mereka nggak punya SIM?” tanya saya.

Dengan meyakinkan ia jawab, “Hèlèh, helm aja nggak punya pun. Måsåk punya SIM?

Agaknya, ia cenderung terlalu cepat menyimpulkan. Itu saya katakan kepadanya, tentu saja. Skeptis itu perlu. Ia diam saja mendengar nasihat saya.

Kembali ke soal tadi. Mas Dhaya lanjut bertanya, “Itu makam sopirnya, di mana, Abi?

Abi nggak tahu, Nak...,” jawab saya seraya bergegas menuju kamar mandi.

Sekilas, saya lihat ia diam. Tercenung.

Di kamar mandi, saya memenungkan percakapan dengan Mas Dhaya. Ia, mungkin saking menghayati bahwa abi-nya bekerja di tempat yang jauh dengannya, menanyakan pertanyaan yang bisa jadi tampak remeh: letak makam sopir yang meninggal akibat truk yang dikemudikannya tercebur Bengawan Solo. Bagi Mas Dhaya, mungkin sopir itu bisa jadi adalah abi dari anak-anak seusianya. Tentu menyedihkan kehilangan seorang abi

Bagi saya, Mas Dhaya terbukti lebih awas dan waras. Ia lebih peduli terhadap sopir, buruh, serta—secara lebih luas—manusia dan kemanusiaan. Padahal, saya menganggapnya peristiwa biasa.

Saya tentu dapat berdalih bahwa sikap toleransi terhadap peristiwa semacam itu akibat derasnya arus informasi serupa di internet. Tiap hari. Namun, diam-diam saya menyadari bahwa ada yang salah dengan diri saya.

Masih kemarin. Sore hari. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Lamongan, dari Bungurasih, saya mampir rumah om saya. Tak jauh dari Bungurasih. Cukup naik ojek. Ongkosnya Rp12-15 ribu sekali jalan. Pergi-pulang total Rp24-30 ribu. Saya beri tukang ojek itu Rp35 ribu. Yang Rp5 ribu, minångkå ganti waktu tunggu sekira 10 menit.

Om saya itu adalah adik kandung mama saya. Anaknya yang sulung, perempuan, melahirkan bayi laki pada 10 hari yang lalu. Bayinya cukup besar. Wajar, berat badannya 3,7 kilogram saat dilahirkan secara sesar.

Om saya sempat bertanya beberapa hal tentang pekerjaan saya. Di antaranya, ia bertanya, “Berarti, kamu juga bisa saja bertugas di lembaga yang sama di negara lain?

Bisa saja, kalau mau,” jawab saya. Tentu saja, kalau mampu juga. Namun, itu hanya saya sampaikan dalam hati.

Saya memilih bekerja di tanah air saja. Negeri ini masih memiliki banyak persoalan. Kemiskinan, ketakadilan, dan lain-lain. Mengapa saya harus mengurus negeri orang lain, sedangkan negeri saya sendiri masih tak terurus? Idealisme macam ini saya kira kok perlu dipertahankan, Om,” pungkas saya. Entah dari mana saya punya ide jawaban macam itu.

Selamat hari buruh. Merdeka!•fgs



Tidak ada komentar:

Posting Komentar