DUA puluh sembilan April 2018. Saya sedang membaca. Mas Dhaya sedang mewarnai
robot, Optimus Prime, gambaran saya. Tetiba, ia teringat sesuatu.
“Abi
masih seneng lihat foto Mas Dhaya di kos-kos Abi?” tanyanya. Ia menyebut
indekos sebagai kos-kosan dengan
pelesapan sufiks -an.
Saya
mengiakan. Ia bergegas mencari sesuatu di lemarinya.
Sembari
menyerahkan selembar kertas bekas, ia berkata, “Ini dikasih gambar sama Mas
Dhaya. Biar Abi ingat (Mas Dhaya).”
Ada
gambar bulat-bulat di kertas itu. Tertulis namanya juga. Katanya, itu gambar
dinosaurus dan telur dinosaurus. Saya memujinya. Meski, sejujurnya, saat
seusianya, saya dapat menggambar hewan dan manusia jauh lebih baik. Saya merasa
wis kåyå Pak Tino Sidin1 aé. Semua-muanya dinilai bagus. Eh,
sampean rak weruh Pak Tino Sidin tå?
![]() |
Dinosaurus dan Telurnya |
Oh
ya, saya ingat. Dulu, gambaran saya kaku dan datar. Hampir tanpa ekspresi. Beda
dengan gambaran Mas Dhaya. Ia menggambar Upin-Ipin yang gundul dengan mata dan
bibir tertawa atau tersenyum. Kak Ros, kakak Upin-Ipin, yang marah dengan gigi
bertaring.
Keesokan
harinya, Senin Kliwon, 14 Ruwah 1951. Nganu,
dalam tarikh masehi itu tepat pada 30 April 2018. Piyé, penanggalan Jawa aé ora
ngêrti. Wång Jåwå ilang Jåwåné.
“Ini,
tadi Mas Dhaya belikan roti bakar untuk bekal Abi di jalan,” kata Mas Dhaya. Ia
sodorkan 2 bungkus roti bakar yang dibelinya di pesantren. Seribuan. Rasa
cokelat dan stroberi. Ia tahu, saya akan kembali ke Lamongan. “Itu enak sekali,
Abi.”
![]() |
Dua Roti Bakar dan Gambar Upin-Ipin |
Mas
Dhaya sangat perhatian. Saat sesi telepon pagi dan saya sedang berpuasa, ia pasti
ingat dan menanyakan menu sahur saya. Ia akan menambahkan komentar, “Oalah, mêsakné Abi. Sahur (be)gitu
thok. Nanti mau ke desa, padahal.”
Pukul
12.00 WIB. Satu jam menjelang keberangkatan saya, Mas Dhaya mengangsurkan
guling ke dekat saya. “Aku mau tidur dulu, Abi. Dekat Abi,” katanya. Beberapa detik kemudian, anak lucu berbaju biru itu telah mendengkur.
Ada
4 buah. Guling yang biasa saya pakai. “Guling (milik) Abi,” katanya. Lalu, 3
guling lain yang ia namai: Adik Guling, Kakak Guling, dan Kakek Guling. Ia
memperlakukan 3 guling terakhir itu sebagai makhluk hidup. Terutama Adik
Guling. Ke mana-mana, ia selalu mengajaknya serta.
![]() |
Dari Kiri ke Kanan: Kakek Guling, Kakak Guling, Mas Dhaya, Guling Abi, dan Adik Guling |
Semua
guling itu lelaki. Kakak Guling mungkin wujud keinginannya untuk selalu
disayang dan dilindungi oleh seorang kakak. Ia tak punya kakak. Ia anak
tunggal. Di keluarga besar saya dan istri saya, ia malah seorang kakak.
Kakek
Guling. Mungkin, alam bawah sadarnya menghendaki kedekatan dengan kakek. Tempat
bermanja. Ia tak terlalu dekat dengan mbah kakungnya. Papa istri saya.
Sayangnya, ia juga jarang bertemu dengan eyang kakungnya. Bapak saya. Padahal,
ia selalu menegaskan bahwa ia mirip saya dan eyang kakungnya.
Guling
saya dipakainya sebagai wujud keinginan untuk selalu bersama saya. Saat ini, belum
memungkinkan bagi kami untuk bertemu setiap saat. Padahal, saya tahu bahwa anak
seumurannya membutuhkan figur ayah.
Adik
Guling. Mungkin, sudah waktunya Mas Dhaya punya seorang adik, ya?•fgs
Catatan Akhir:
1Pak Tino Sidin adalah pelukis dan guru
gambar terkenal. Ia punya acara bertajuk Gemar
Menggambar di TVRI pada 1980-an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar