Selasa, 08 Mei 2018

Dinosaurus, Roti Bakar, dan Guling


DUA puluh sembilan April 2018. Saya sedang membaca. Mas Dhaya sedang mewarnai robot, Optimus Prime, gambaran saya. Tetiba, ia teringat sesuatu.

“Abi masih seneng lihat foto Mas Dhaya di kos-kos Abi?” tanyanya. Ia menyebut indekos sebagai kos-kosan dengan pelesapan sufiks -an.

Saya mengiakan. Ia bergegas mencari sesuatu di lemarinya.

Sembari menyerahkan selembar kertas bekas, ia berkata, “Ini dikasih gambar sama Mas Dhaya. Biar Abi ingat (Mas Dhaya).”

Ada gambar bulat-bulat di kertas itu. Tertulis namanya juga. Katanya, itu gambar dinosaurus dan telur dinosaurus. Saya memujinya. Meski, sejujurnya, saat seusianya, saya dapat menggambar hewan dan manusia jauh lebih baik. Saya merasa wis kåyå Pak Tino Sidin1 . Semua-muanya dinilai bagus. Eh, sampean rak weruh Pak Tino Sidin ?


Dinosaurus dan Telurnya
  
Oh ya, saya ingat. Dulu, gambaran saya kaku dan datar. Hampir tanpa ekspresi. Beda dengan gambaran Mas Dhaya. Ia menggambar Upin-Ipin yang gundul dengan mata dan bibir tertawa atau tersenyum. Kak Ros, kakak Upin-Ipin, yang marah dengan gigi bertaring.

Keesokan harinya, Senin Kliwon, 14 Ruwah 1951. Nganu, dalam tarikh masehi itu tepat pada 30 April 2018. Piyé, penanggalan Jawa aé ora ngêrti. Wång Jåwå ilang Jåwåné.

“Ini, tadi Mas Dhaya belikan roti bakar untuk bekal Abi di jalan,” kata Mas Dhaya. Ia sodorkan 2 bungkus roti bakar yang dibelinya di pesantren. Seribuan. Rasa cokelat dan stroberi. Ia tahu, saya akan kembali ke Lamongan. “Itu enak sekali, Abi.”

Dua Roti Bakar dan Gambar Upin-Ipin

Mas Dhaya sangat perhatian. Saat sesi telepon pagi dan saya sedang berpuasa, ia pasti ingat dan menanyakan menu sahur saya. Ia akan menambahkan komentar, “Oalah, mêsakné Abi. Sahur (be)gitu thok. Nanti mau ke desa, padahal.”

Pukul 12.00 WIB. Satu jam menjelang keberangkatan saya, Mas Dhaya mengangsurkan guling ke dekat saya. “Aku mau tidur dulu, Abi. Dekat Abi,” katanya. Beberapa detik kemudian, anak lucu berbaju biru itu telah mendengkur.

Ada 4 buah. Guling yang biasa saya pakai. “Guling (milik) Abi,” katanya. Lalu, 3 guling lain yang ia namai: Adik Guling, Kakak Guling, dan Kakek Guling. Ia memperlakukan 3 guling terakhir itu sebagai makhluk hidup. Terutama Adik Guling. Ke mana-mana, ia selalu mengajaknya serta.

Dari Kiri ke Kanan: Kakek Guling, Kakak Guling, Mas Dhaya, Guling Abi, dan Adik Guling

Semua guling itu lelaki. Kakak Guling mungkin wujud keinginannya untuk selalu disayang dan dilindungi oleh seorang kakak. Ia tak punya kakak. Ia anak tunggal. Di keluarga besar saya dan istri saya, ia malah seorang kakak.

Kakek Guling. Mungkin, alam bawah sadarnya menghendaki kedekatan dengan kakek. Tempat bermanja. Ia tak terlalu dekat dengan mbah kakungnya. Papa istri saya. Sayangnya, ia juga jarang bertemu dengan eyang kakungnya. Bapak saya. Padahal, ia selalu menegaskan bahwa ia mirip saya dan eyang kakungnya.

Guling saya dipakainya sebagai wujud keinginan untuk selalu bersama saya. Saat ini, belum memungkinkan bagi kami untuk bertemu setiap saat. Padahal, saya tahu bahwa anak seumurannya membutuhkan figur ayah.

Adik Guling. Mungkin, sudah waktunya Mas Dhaya punya seorang adik, ya?•fgs



Catatan Akhir:
1Pak Tino Sidin adalah pelukis dan guru gambar terkenal. Ia punya acara bertajuk Gemar Menggambar di TVRI pada 1980-an.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar