Kamis
lalu. Pukul 03.00 WIB. Ponsel saya berdering. Saya terima.
“Bangun, Abi. Sahur. Abi sahur sama apa?”
tanya Mas Dhaya di ujung sana.
Saya
agak kaget. Jika saya sedang berada di rumah, ia memang biasa ikut bangun saat
saya sahur. Sejak belum genap setahun usianya. Namun, ia jarang bangun sepagi
itu, lebih-lebih membangunkan saya, ketika saya tak sedang berada di rumah.
Kemarin
lusa, ia melakukan hal serupa. Ia telepon saya. Pagi-pagi. “Bangun, Abi. Katanya mau jalan-jalan,”
katanya, “Mas Dhaya agak panas, Abi. Flu.
Tapi, nggak apa-apa kok. Insya Allah cepat sembuh.”
Saya
belum menanggapi. Ia sudah melanjutkan, “Sudah
dulu ya, Abi. Boleh dimatikan, Abi? Aku sayang sama Abi.”
Telepon
ditutup. Singkat. Padat. Seperti mimpi saja.
Saya
gerakkan jemari saya. Kaku. Pasti gegara makan tahu campur itu. Kikil dan embuh åpå aé isinya itu memang enak di
lidah tapi memiliki potensi risiko menumpuk kolesterol bagi penikmatnya. Nah,
dua malam berturut-turut saya makan malam dengan menu itu. Memanjakan hasrat. Blas ora niru Kangjeng Nabi nèk ngunu kuwi. Oh, tapi saya meniru Gus
Dur. Dikisahkan, beliau santai saja menabrak pantangan. Dalam konteks yang
sama, kira-kira redaksional perkataan beliau jadi begini, “Ya kikilnya saja yang dimakan, kolesterolnya nggak usah. Gitu aja kok
repot.”
Beliau
itu orang luar biasa. Pemikirannya sangat maju. Sikapnya terhadap manusia dan
kemanusiaan sulit dicari serupanya di negeri ini. Lha nèk hanya model saya begini kan agak mustahil menyamai beliau.
Meniru aé angèl kok, apalagi
menyamai. Jadi, alhamdulillah, setidaknya dalam hal êmoh répot soal makanan, saya sudah berhasil meniru gaya beliau. Gayané thok. Kolesterolnya tetap
menumpuk.
Maka,
jadilah, selesai salat subuh, saya jalan kaki. Ngubêngi alun-alun Lamongan. Secukupnya. Ora usah suwé-suwé. Sampean rak
wis ngêrti dhéwé tå, sebaik-baik urusan adalah yang sedang-sedang saja.
Semadyanya.
Itu
modus saja sih. Asliné saya ingin
segera balik ke indekos. Lalu, telepon Mas Dhaya. Ngglèthèké Mas Dhaya malah ndak
mau ditelepon. “Lo, tadi kan sudah...,”
katanya kepada ummi-nya. Ealah. Sok jual mahal. Niru såpå cah kuwi...
Padahal,
saya ingin memuaskan hasrat yang lain. Ngobrol.
Beruntung.
Mbak Dahro, salah satu kawan di kantor, mengajak makan pagi bersama. Dengan
kawan sekantor, tentu saja. Ini kesempatan bagus untuk ngobrol. Untuk gojèkan.
Ada saja yang kami bicarakan. Mulai vegetarian dan hubungannya dengan ajaran
tertentu. Juga pengaruhnya bagi karakter. Ngaji kitab yang paling digemari di
pesantren. Kitab mujarobat. Jimat bèn
kuat berjam-jam dalam beribadah dengan istri. Sampai soal cuplikan video Rocky
Gerung (RG) yang menyebut bahwa kitab suci adalah fiksi.
Saya
belum menonton video itu secara utuh, jadi sangat mungkin pemahaman saya atas maksud
RG berbias. Bahkan, walaupun saya menontonnya secara utuh, saya kok ndak yakin akan mendapatkan pemahaman
yang memadai. Itu disampaikan oleh RG dalam acara di televisi, bukan? Kåyå ora paham karakteristik televisi
saja.
Namun,
tentu saja, ada yang menarik darinya. Pertama,
RG berani menyampaikan gagasan itu secara terbuka. Dulu, saat masih sekolah di
Fakultas Sastra, saya beberapa kali mendengar pendapat serupa. Memang lebih tepatnya
tak menyebut kitab suci sebagai fiksi,
melainkan sastra. Itu berbeda. Itu pun
disampaikan di lingkungan akademik, bukan di televisi yang ditonton oleh banyak
orang dengan latar majemuk.
Kedua, itu tadi, sastra dan fiksi itu
berbeda secara definisi. Kita ndak usah
pakai teori macam-macamlah. Kita rujuk KBBI saja. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi V. Fiksi adalah nomina bermakna “rekaan”,
“khayalan”, dan “tidak berdasarkan kenyataan”. Fiktif adalah adjektiva yang bermakna "bersifat fiksi". Jadi, perbedaan definisi
fiksi dan fiktif terletak pada kelas katanya. Bukan seperti yang dikatakan oleh
RG itu.
Oleh
sebab itu, saya tak berani menyebut kitab suci sebagai fiksi atau fiktif. Kitab
suci juga memuat peristiwa historis. Tentu ada yang belum terbukti secara
nalar. Contohnya, kiamat. Apakah kiamat fiktif belaka? Tak semua hal yang belum
dibuktikan secara ilmiah dapat kita sebut sebagai fiktif. Apalagi, yakinlah, iman
pasti punya jawaban lain.
Itu
satu hal. Di sisi lain, fiksi tetaplah fiktif meski ia faktual. Pembuktian pada
kemudian hari tak serta merta menggugurkan karakteristik fiktif dari karya
fiksi masa sebelumnya.
Sastra,
lain lagi. Ia, dalam KBBI, dimaknai sebagai “bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari)”.
Ia juga bermakna “kitab suci Hindu”,
“kitab ilmu pengetahuan”, bahkan “primbon”. Ada gabungan kata kitab suci di sana, meski secara
spesifik disebutkan kitab suci Hindu,
bukan kitab suci yang lain. Nah gênah tå,
nèk arep protes, protes saja ke
penyusun KBBI.
Hikmahnya
dari peristiwa ini, kita mesti menginsafi bahwa ketepatan definisi itu penting.
Seingat saya, seorang dosen saya pernah meninggi nada bicaranya gegara
seorang kawan saya menyamakan antara khayalan dan imajinasi. Dua hal yang berbeda menurut
dosen saya.
Kecuali
itu semua, saya kira, meski kita menemukan beberapa kelemahan argumentatif
dalam pernyataan RG, kita toh masih bersepakat bahwa dalam kenyataannya unsur
imajinatif, dus kita sebut sebagai
fiksi, adalah hal yang penting. Bangsa misalnya, kata Benedict Anderson, adalah “an imagined political community”. Sebuah komunitas politik yang
dibayangkan. Diimajinasikan. Ini juga berlaku dalam hal lainnya.
Namun,
dalam iklim saat ini, penyampaian gagasan semacam yang dilakukan oleh RG dalam acara
televisi itu mungkin kurang bijak. Banyak orang belum siap menerimanya dengan
pikiran dan sikap yang layak. Paling-paling, yang jamak dilakukan, akan melaporkan
RG kepada polisi atas tuduhan ujaran kebencian atau penistaan agama. Tak lebih.•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar