Minggu, 08 April 2018

Tani


Tani iku, mangan ora nempur wis apik. Åjå diitung-itung. Cobå, buwuhan yå ora perlu tuku beras.1

Saya tersenyum ketika kawan saya, Mas Nastain, bercerita tentang prinsip hidup bertani yang disampaikan oleh buruh taninya itu. Duh, saya lupa menanyakan namanya. Yang saya ingat, buruh tani itu telah membantu mengelola sawah bapak mertuanya sejak beliau masih hidup.

Mas Nastain mengaku baru blajaran bertaniMertuanya meninggalkan sawah cukup luas untuk ia kelola. Mas Nastain sarjana. Sehari-hari, ia sebenarnya adalah Pendamping Desa (PD) P3MD.2 Sebelumnya, ia adalah Fasilitator Kecamatan (FK) PNPM Mandiri Perdesaan. Seangkatan, bahkan sekelas saat pelatihan pratugas, dengan saya. Ia biasa ngaji bareng, terutama, ibu-ibu di desa tentang mengelola keuangan keluarga dan usaha. Ngajari mencatat setiap pemasukan dan pengeluaran. Ia tentu berupaya menerapkan ilmu itu untuk diri sendiri. Eh, lha kok malah disalahne karo buruhe.

Saya jadi teringat masa kecil saya. Saya berusia sekira 3-4 tahun saat itu. Saya selalu senang melihat sawah terbentang ketika saya naik kereta api. Saya juga senang melihat orang-orang yang berangkat ke sawah dengan memakai caping dan memanggul cangkul di pundak. Saya membayangkan bahwa sawah adalah tempat yang damai dan petani adalah pekerjaan yang tenang dan menenangkan. Ayem. Piye yå, ora bakal kurang pangan. Kira-kira begitu. Maka, setiap pagi saya selalu berlari menuju jendela dan diam menunggu. Ketika petani itu lewat, saya akan melambaikan tangan dan berkata, “Pak Tani... Bu Tani... .

Mas Nastain mengolah sawah seluas 400 cengkal.3 Ia mengatakan bahwa sekarang manusia tak banyak diperlukan di sawah. Sejak 2015, kegiatan seperti tandur4 dan panen telah dilakukan oleh mesin. Namun, Mas Nastain bertahan menggunakan tenaga buruh tani—orang-orang menyebutnya preman—terutama saat tandur.

Buruh tani untuk tandur semuanya perempuan. Kata Mas Nastain, perempuan lebih cepat dan rapi ketika bekerja. Memang, mereka tak sanggup bekerja dalam durasi panjang, tetapi hasil yang didapatkan lebih banyak daripada lelaki. Buruh tani perempuan, bekerja pada 05.30 sampai dengan 12.00 WIB dengan upah Rp70.000 per hari. Sedangkan, buruh tani lelaki bekerja pada 05.30 sampai dengan 16.00 WIB dengan upah Rp100.000. Itu belum termasuk rokok, cemilan, dan minum. Jika mau sedikit jeli, pada 12.00 WIB, luasan sawah yang sudah dikerjakan oleh perempuan lebih banyak daripada lelaki. “Perempuan luwih rajin, Pak. Luwih temen nyambut gawe,” simpul Mas Nastain.

Soal penggunaan mesin panen, Mas Nastain punya cerita menarik. Mesin didesain (hanya) untuk menyisakan gabah yang utuh dan bagus. Gabah yang tak utuh akan beterbangan dan tergiling mesin. Ini berbeda dengan panen yang dilakukan secara manual menggunakan tenaga manusia. Semua gabah dapat diambil. Akibatnya, ada selisih pendapatan antara menggunakan mesin dan menggunakan tenaga buruh tani.

Padi di lahan seluas 400 cengkal akan selesai dipanen dalam 2 jam dengan mesin panen. Biayanya Rp1,6 juta. Rp400 ribu per 100 cengkal. Bandingkan dengan manual. Butuh tenaga 7 lelaki selama 3 hari untuk menyelesaikannya. Total biayanya Rp2,1 juta. Ada selisih Rp500.000. “Iku wis pekpuk itungane, Pak. Gabah sing ra utuh iku nek nggawe mesin kan ilang,” kata Mas Nastain, “Luwih cepet, luwih murah, tapi malih nggak iså berbagi karo buruh tani. Nilai sedekah-e berkurang.” Benar juga. Penggunaan mesin hanya unggul dalam hal waktu dan biaya, tidak dengan lainnya. Namun, bukankah itu yang dicari para kapitalis?

Mencari buruh tani bukan perkara mudah. Hari ini, banyak orang lebih memilih bekerja di sektor industri. Jadi buruh pabrik, misalnya. Pemuda malu menjadi petani. Tak ada anak yang bercita-cita menjadi petani. Mereka bercita-cita jadi pegawai, guru, dokter, dan sebagainya. Gajinya lebih besar, lebih pasti, lebih menjanjikan, dan lebih mengesankan. Maka, sawah-sawah dijual kepada pemilik modal. Persawahan segera digantikan oleh pabrik-pabrik. Petani dan buruh tani beralih profesi. Mereka tak perlu lagi berkubang lumpur dan terbakar matahari. “Nek wis ngunu Pak, kudu antre suwi nek arep gawe tenaga buruh tani. Upahe iså diundhaknå sakgeleme,” keluh Mas Nastain.

Mas Nastain mengaku bahwa ia dapat hasil sekira Rp8 juta per panen. Modal dan biaya produksi yang ia tanggung Rp5,3 juta. Jadi, ia untung Rp2,1 juta per panen atau sekira Rp900.000 per bulan. “Yå iku nggak dakdol kabeh, Pak. Sebagian besar sik rupå gabah dan beras. Dadi nggak ngarah entek kanggo mangan,” jelas Mas Nastain.

Itu petani ya; pemilik modal dan alat produksi. Apa kabar buruh taninya?

Jan-jane pancen pemerintah kudune wis mulai membuat terobosan-terobosan di bidang pertanian. Indonesia punya banyak ahli pertanian dari pelbagai jenjang. Måsåk tå mereka ora iså mewujudkan pertanian yang hebat?

Bangsa ini terlalu banyak ngurusi sing dudu bidange kuwi lo. Seneng ngumbar swårå sing dudu keahliane. Conto, ora tau ngaji kitab, ora tau nyantri, ning omong ngalår-ngidul bab agåmå. Kåyå sing bener-benerå dhewe. Ora tau måcå sastra, ning mårå-mårå macak jadi sastrawan. Kåyå sing ruh-ruhå. Njuk gemberah dhewe.

Dadi piye kae maeng, bagaimana cara memajukan sektor pertanian kita? Eh, ora menarik ding. Masih lebih menarik bahas #2019gantipresiden kan ya?•fgs



Catatan Kaki:
1Menjadi petani itu, tiap hari dapat makan tanpa harus membeli saja sudah bagus. Janganlah dihitung-hitung. Bayangkan, ketika ada orang punya hajat, petani dapat menyumbang beras tanpa perlu membelinya.

2P3MD (Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa) adalah program di bawah Kementerian Desa dan Transmigrasi. Sebagian masyarakat lebih mengenalnya sebagai program dana desa. Boleh dibilang bahwa sebenarnya program ini merupakan kelanjutan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan. Maka, dalam sosialisasi awal dulu, selalu disebutkan bahwa program dana desa (P3MD) adalah PNPM Perdesaan Plus.

3Ada banyak satuan tradisional dan lokal terkait dengan tanah dan sawah. Satu cengkal sekira 10 meter persegi.

4Tandur dalam bahasa Jawa merupakan keratabasa dari ditata kanthi mundur, ditata dengan mundur.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar