Tani iku, mangan ora
nempur wis apik. Åjå diitung-itung. Cobå, buwuhan yå ora perlu tuku beras.1
Saya
tersenyum ketika kawan saya, Mas Nastain, bercerita tentang prinsip
hidup bertani yang disampaikan oleh buruh taninya itu. Duh, saya lupa menanyakan namanya. Yang saya ingat, buruh tani itu telah membantu mengelola
sawah bapak mertuanya sejak beliau masih hidup.
Mas
Nastain mengaku baru blajaran bertani. Mertuanya meninggalkan
sawah cukup luas untuk ia kelola. Mas Nastain sarjana. Sehari-hari, ia sebenarnya adalah
Pendamping Desa (PD) P3MD.2 Sebelumnya, ia adalah Fasilitator
Kecamatan (FK) PNPM Mandiri Perdesaan. Seangkatan, bahkan sekelas saat
pelatihan pratugas, dengan saya. Ia biasa ngaji
bareng, terutama, ibu-ibu di desa tentang mengelola keuangan keluarga dan
usaha. Ngajari mencatat setiap
pemasukan dan pengeluaran. Ia tentu berupaya menerapkan ilmu itu untuk diri sendiri.
Eh, lha kok malah disalahne karo buruhe.
Saya
jadi teringat masa kecil saya. Saya berusia sekira 3-4 tahun saat itu. Saya selalu senang melihat sawah terbentang ketika saya naik kereta api. Saya
juga senang melihat orang-orang yang berangkat ke sawah dengan memakai caping
dan memanggul cangkul di pundak. Saya membayangkan bahwa sawah adalah tempat
yang damai dan petani adalah pekerjaan yang tenang dan menenangkan. Ayem. Piye yå, ora bakal kurang pangan. Kira-kira begitu. Maka, setiap pagi saya selalu berlari menuju jendela dan diam
menunggu. Ketika petani itu lewat, saya akan melambaikan tangan dan berkata, “Pak Tani... Bu Tani... .”
Mas
Nastain mengolah sawah seluas 400 cengkal.3 Ia mengatakan bahwa sekarang
manusia tak banyak diperlukan di sawah. Sejak 2015, kegiatan seperti tandur4
dan panen telah dilakukan oleh mesin. Namun, Mas Nastain bertahan menggunakan
tenaga buruh tani—orang-orang menyebutnya preman—terutama
saat tandur.
Buruh
tani untuk tandur semuanya perempuan. Kata Mas Nastain, perempuan lebih cepat
dan rapi ketika bekerja. Memang, mereka tak sanggup bekerja dalam durasi
panjang, tetapi hasil yang didapatkan lebih banyak daripada lelaki. Buruh tani
perempuan, bekerja pada 05.30 sampai dengan 12.00 WIB dengan upah Rp70.000 per
hari. Sedangkan, buruh tani lelaki bekerja pada 05.30 sampai dengan 16.00 WIB
dengan upah Rp100.000. Itu belum termasuk rokok, cemilan, dan minum. Jika mau
sedikit jeli, pada 12.00 WIB, luasan sawah yang sudah dikerjakan oleh perempuan
lebih banyak daripada lelaki. “Perempuan
luwih rajin, Pak. Luwih temen nyambut
gawe,” simpul Mas Nastain.
Soal
penggunaan mesin panen, Mas Nastain punya cerita menarik. Mesin didesain (hanya)
untuk menyisakan gabah yang utuh dan bagus. Gabah yang tak utuh akan
beterbangan dan tergiling mesin. Ini berbeda dengan panen yang dilakukan secara
manual menggunakan tenaga manusia. Semua gabah dapat diambil. Akibatnya, ada
selisih pendapatan antara menggunakan mesin dan menggunakan tenaga buruh tani.
Padi
di lahan seluas 400 cengkal akan selesai dipanen dalam 2 jam dengan mesin
panen. Biayanya Rp1,6 juta. Rp400 ribu per 100 cengkal. Bandingkan dengan
manual. Butuh tenaga 7 lelaki selama 3 hari untuk menyelesaikannya. Total
biayanya Rp2,1 juta. Ada selisih Rp500.000. “Iku wis pekpuk itungane, Pak. Gabah sing ra utuh iku nek nggawe mesin
kan ilang,” kata Mas Nastain, “Luwih
cepet, luwih murah, tapi malih nggak iså berbagi karo buruh tani. Nilai sedekah-e
berkurang.” Benar juga. Penggunaan mesin hanya unggul dalam hal waktu dan
biaya, tidak dengan lainnya. Namun, bukankah itu yang dicari para kapitalis?
Mencari
buruh tani bukan perkara mudah. Hari ini, banyak orang lebih memilih bekerja di
sektor industri. Jadi buruh pabrik, misalnya. Pemuda malu menjadi
petani. Tak ada anak yang bercita-cita menjadi petani. Mereka bercita-cita jadi pegawai, guru, dokter, dan sebagainya. Gajinya lebih besar,
lebih pasti, lebih menjanjikan, dan lebih mengesankan. Maka, sawah-sawah dijual
kepada pemilik modal. Persawahan segera digantikan oleh pabrik-pabrik. Petani
dan buruh tani beralih profesi. Mereka tak perlu lagi berkubang lumpur dan
terbakar matahari. “Nek wis ngunu Pak,
kudu antre suwi nek arep gawe tenaga buruh tani. Upahe iså diundhaknå sakgeleme,”
keluh Mas Nastain.
Mas
Nastain mengaku bahwa ia dapat hasil sekira Rp8 juta per panen. Modal dan biaya
produksi yang ia tanggung Rp5,3 juta. Jadi, ia untung Rp2,1 juta per panen atau
sekira Rp900.000 per bulan. “Yå iku nggak
dakdol kabeh, Pak. Sebagian besar sik rupå gabah dan beras. Dadi nggak ngarah
entek kanggo mangan,” jelas Mas Nastain.
Itu
petani ya; pemilik modal dan alat produksi. Apa kabar buruh taninya?
Jan-jane pancen pemerintah kudune wis mulai membuat terobosan-terobosan di bidang pertanian. Indonesia punya banyak ahli pertanian dari pelbagai jenjang. Måsåk tå mereka ora iså mewujudkan pertanian yang hebat?
Jan-jane pancen pemerintah kudune wis mulai membuat terobosan-terobosan di bidang pertanian. Indonesia punya banyak ahli pertanian dari pelbagai jenjang. Måsåk tå mereka ora iså mewujudkan pertanian yang hebat?
Bangsa
ini terlalu banyak ngurusi sing dudu
bidange kuwi lo. Seneng ngumbar swårå
sing dudu keahliane. Conto, ora tau
ngaji kitab, ora tau nyantri, ning omong ngalår-ngidul bab agåmå. Kåyå sing bener-benerå dhewe. Ora tau måcå sastra, ning mårå-mårå macak
jadi sastrawan. Kåyå sing ruh-ruhå. Njuk
gemberah dhewe.
Dadi piye kae maeng, bagaimana cara memajukan sektor
pertanian kita? Eh, ora menarik ding. Masih lebih menarik bahas #2019gantipresiden kan ya?•fgs
Catatan
Kaki:
1Menjadi
petani itu, tiap hari dapat makan tanpa harus membeli saja sudah bagus.
Janganlah dihitung-hitung. Bayangkan, ketika ada orang punya hajat, petani
dapat menyumbang beras tanpa perlu membelinya.
2P3MD
(Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa) adalah program di bawah
Kementerian Desa dan Transmigrasi. Sebagian masyarakat lebih mengenalnya
sebagai program dana desa. Boleh dibilang bahwa sebenarnya program ini
merupakan kelanjutan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri Perdesaan. Maka, dalam sosialisasi awal dulu, selalu disebutkan bahwa program
dana desa (P3MD) adalah PNPM Perdesaan Plus.
3Ada
banyak satuan tradisional dan lokal terkait dengan tanah dan sawah. Satu
cengkal sekira 10 meter persegi.
4Tandur
dalam bahasa Jawa merupakan keratabasa dari ditata
kanthi mundur, ditata dengan mundur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar