“DADAH, Abi...,” teriak Mas Dhaya sambil melambaikan tangan kepada saya. Saya
membalasnya dari dalam bus. Sambil tersenyum dan menyembunyikan kesedihan,
tentu saja. Berpisah dengan anak-istri itu berat. Kamu nggak akan kuat. Biar
aku saja. Halah!
![]() |
Mas Dhaya dan ummi-nya mengantarkan saya nyegat bus. (dokpri) |
Namanya
Widhayaka Ujjwala Mahaprasiddha. Ia anak tunggal kami—saya dan istri saya. Sejak
kecil, ia biasa kami panggil Mas Dhaya.
Saya dan istri saya sama-sama sulung. Saya memiliki 4 adik—semua perempuan—dan istri
saya memiliki seorang adik laki. Dalam budaya Jawa, anak adik-adik kami, meski
mereka lebih tua, harus memanggil anak kami dengan sebutan mas. Anak kami sangat suka sebutan itu. Ia selalu memperkenalkan
diri kepada siapa pun dengan percaya diri, “Mas
Dhaya.” Bahkan ia tak segan memprotes keras jika ia dipanggil dengan
sebutan dik, “Adik, adik, Mas Dhaya itu kakak, mas, bukan adik. Piye seh!”
Cermati
kalimatnya. Piye seh. Itu perpaduan
subkultur abi-ummi-nya. Saya lahir
dan besar di Kota Blitar yang termasuk dalam subkultur mataraman. Piye, nyapå, dan tå adalah
sebagian dari dialek khas kulånan. Dialek
mataraman. Istri saya lahir dan besar di Kabupaten Mojokerto yang termasuk
dalam subkultur arek. Yåk åpå, lapå, dan seh adalah sebagian dari dialek khas arek.
Mas
Dhaya sangat mirip dengan saya. Setidaknya, demikian kata teman-teman saya.
Sebenarnya, itu tak seluruhnya benar. Mas Dhaya memiliki tulang dan postur
tubuh yang besar. Sama seperti istri saya dan sebagian besar keluarganya dari
pihak ayah. Ia lincah, ceria, dan supel. Ia suka bermain di luar ruangan. Ia
suka jalan-jalan. Itu juga sama dengan istri saya. Bentuk telinga, hidung,
kepala, dan jemarinya persis saya. Wataknya keras. Pemarah. Berdisiplin. Persis
saya. “Mas Dhaya kan memang sayangannya Abi,” katanya selalu.
Kemarin,
sejak pagi sampai sore, baik di pesantren maupun di rumah, Mas Dhaya menangis.
Ketika ditanya oleh ustazah di sekolah, ia bergeming. Rupanya, ia kecewa dan
jengkel karena rencana menjenguk Abdullah, temannya di pesantren, urung. Sehari
sebelumnya, ia bercerita, “Kasihan Mas
Abdullah, Bi. Dhe’e sakit. Kata
ustazah, besok mau menjenguk bareng-bareng.”
Mas
Dhaya mengatakan bahwa ia akan membawa jeli dan susu kotak untuk temannya yang
sakit itu. Kemarin, sebelum berangkat ke pesantren, ia telah membelinya di toko
swalayan terdekat. Wajar saja ia kecewa. Seingat saya, itu akan menjadi
pengalaman pertamanya dalam hal mengunjungi teman yang sakit. Ia meyakini bahwa
itu adalah perbuatan baik yang harus ia lakukan.*
Benarlah
bahwa anak harus diperlakukan dengan hati-hati. Karena, pengalaman negatif dan traumatis
semasa kecil akan terus membekas dan memengaruhi corak kepribadian seseorang
hingga dewasa.
Kangjeng
Nabi telah menunjukkan cara memperlakukan anak-anak. Bukhari dan Muslim
meriwayatkan bahwa pernah suatu kali, Ummu Qais binti Mihshan datang menemui
Kangjeng Nabi dengan membawa bayi. Kangjeng Nabi mengambil dan memangku bayi itu.
Tak lama kemudian, bayi itu buang air kecil. Ummu Qais segera merenggut bayi
itu. Kangjeng Nabi menasihatinya, “Kencing
ini dapat hilang hanya dengan mengguyurkan air. Tetapi betapa sulitnya
menghilangkan renggutanmu yang kasar itu dari benaknya.”
Soal
berkunjung ke rumah teman atau kerabat, saya memiliki teman-teman yang sangat gemar
melakukannya. Mbak Devi (dan Mas Dono, suaminya) dan Mas Bustanul, contohnya.
Mas Bus berdomisili di Pati, Jawa Tengah. Saat libur, ia sering menggunakan
waktunya untuk dolan ke rumah temannya di Bojonegoro, Jawa Timur. Mbak Devi
sering melakukan perjalanan Tuban-Surabaya-Pacitan-Yogya-Tuban demi mengunjungi
kerabatnya. Bisa jadi, mereka termasuk orang yang berhasil meniru Kangjeng Nabi
dalam hal ini.** Itu luar biasa.
Memang,
Mas Dhaya sangat mirip dengan saya dalam banyak hal. Namun, dalam beberapa hal
ia lebih mirip dengan ummi-nya.
Sekira dua pekan yang lalu, Mas Dhaya menyampaikan kepada ummi-nya bahwa ia minta dibuatkan sate ayam. Ummi-nya mengaku belum bisa memasak itu. Mas Dhaya lantas berkata,
“Lo, buat ae, Mi. (Nggak enak pun) Nggak
papa. Nanti Mas Dhaya bilang, ‘Mmm...
enak, Mi. Sedap ini.’”
Istri
saya tertawa. Lalu, dia bertanya, “Lo,
(me)niru såpå ngunu iku Bi, hobi-ne
ngrayu (dan) bikin baper?”
Saya
rasa, saya tak pandai merayu, apalagi membikin baper. Biasanya, saya hanya
menyampaikan penilaian saya, semisal cantik dan enak, secara jujur. Itu saja. Maka,
saya tak begitu paham, siapa sebenarnya yang dimaksud oleh istri saya.
Jangan-jangan, yang dia maksud adalah mantannya. Ah!•fgs
Catatan
Kaki:
*Banyak hadis
Kangjeng Nabi tentang kunjungan terhadap orang sakit, di antaranya:
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada
lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar jenazah, memenuhi
undangan, dan mendoakan yang bersin.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
”Apabila seseorang menjenguk saudaranya yang
muslim (yang sedang sakit), maka (seakan-akan) ia berjalan sambil memetik
buah-buahan surga hingga ia duduk. Apabila sudah duduk maka diturunkan
kepadanya rahmat dengan deras. Apabila menjenguknya di pagi hari, maka tujuh
puluh ribu malaikat mendoakannya agar mendapat rahmat hingga waktu sore tiba.
Apabila menjenguknya sore hari, maka tujuh puluh ribu malaikat mendoakannya
agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba.” (H.R. at-Tirmizi, Ibnu Majah,
dan Imam Ahmad)
“Siapa yang menjenguk orang sakit, maka ada
seorang yang berseru dari langit: kamu orang baik, dan langkahmu juga baik, dan
engkau berhak menempati satu tempat di surga.” (H.R. Ibnu Majah,
at-Tirmizi, dan Ahmad)
**Kangjeng Nabi
pernah dhawuh, “Siapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya
hendaklah dia menyambung silaturahmi.” (H.R. Bukhari No. 5985 dan Muslim
No. 2557)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar