Kamis, 05 April 2018

Mirip


DADAH, Abi...,” teriak Mas Dhaya sambil melambaikan tangan kepada saya. Saya membalasnya dari dalam bus. Sambil tersenyum dan menyembunyikan kesedihan, tentu saja. Berpisah dengan anak-istri itu berat. Kamu nggak akan kuat. Biar aku saja. Halah!

Mas Dhaya dan ummi-nya mengantarkan saya nyegat bus. (dokpri)

Namanya Widhayaka Ujjwala Mahaprasiddha. Ia anak tunggal kami—saya dan istri saya. Sejak kecil, ia biasa kami panggil Mas Dhaya. Saya dan istri saya sama-sama sulung. Saya memiliki 4 adik—semua perempuan—dan istri saya memiliki seorang adik laki. Dalam budaya Jawa, anak adik-adik kami, meski mereka lebih tua, harus memanggil anak kami dengan sebutan mas. Anak kami sangat suka sebutan itu. Ia selalu memperkenalkan diri kepada siapa pun dengan percaya diri, “Mas Dhaya.” Bahkan ia tak segan memprotes keras jika ia dipanggil dengan sebutan dik, “Adik, adik, Mas Dhaya itu kakak, mas, bukan adik. Piye seh!

Cermati kalimatnya. Piye seh. Itu perpaduan subkultur abi-ummi-nya. Saya lahir dan besar di Kota Blitar yang termasuk dalam subkultur mataraman. Piye, nyapå, dan adalah sebagian dari dialek khas kulånan. Dialek mataraman. Istri saya lahir dan besar di Kabupaten Mojokerto yang termasuk dalam subkultur arek. Yåk åpå, lapå, dan seh adalah sebagian dari dialek khas arek.

Mas Dhaya sangat mirip dengan saya. Setidaknya, demikian kata teman-teman saya. Sebenarnya, itu tak seluruhnya benar. Mas Dhaya memiliki tulang dan postur tubuh yang besar. Sama seperti istri saya dan sebagian besar keluarganya dari pihak ayah. Ia lincah, ceria, dan supel. Ia suka bermain di luar ruangan. Ia suka jalan-jalan. Itu juga sama dengan istri saya. Bentuk telinga, hidung, kepala, dan jemarinya persis saya. Wataknya keras. Pemarah. Berdisiplin. Persis saya. “Mas Dhaya kan memang sayangannya Abi,” katanya selalu.

Kemarin, sejak pagi sampai sore, baik di pesantren maupun di rumah, Mas Dhaya menangis. Ketika ditanya oleh ustazah di sekolah, ia bergeming. Rupanya, ia kecewa dan jengkel karena rencana menjenguk Abdullah, temannya di pesantren, urung. Sehari sebelumnya, ia bercerita, “Kasihan Mas Abdullah, Bi. Dhe’e sakit. Kata ustazah, besok mau menjenguk bareng-bareng.”

Mas Dhaya mengatakan bahwa ia akan membawa jeli dan susu kotak untuk temannya yang sakit itu. Kemarin, sebelum berangkat ke pesantren, ia telah membelinya di toko swalayan terdekat. Wajar saja ia kecewa. Seingat saya, itu akan menjadi pengalaman pertamanya dalam hal mengunjungi teman yang sakit. Ia meyakini bahwa itu adalah perbuatan baik yang harus ia lakukan.*

Benarlah bahwa anak harus diperlakukan dengan hati-hati. Karena, pengalaman negatif dan traumatis semasa kecil akan terus membekas dan memengaruhi corak kepribadian seseorang hingga dewasa.

Kangjeng Nabi telah menunjukkan cara memperlakukan anak-anak. Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa pernah suatu kali, Ummu Qais binti Mihshan datang menemui Kangjeng Nabi dengan membawa bayi. Kangjeng Nabi mengambil dan memangku bayi itu. Tak lama kemudian, bayi itu buang air kecil. Ummu Qais segera merenggut bayi itu. Kangjeng Nabi menasihatinya, “Kencing ini dapat hilang hanya dengan mengguyurkan air. Tetapi betapa sulitnya menghilangkan renggutanmu yang kasar itu dari benaknya.”

Soal berkunjung ke rumah teman atau kerabat, saya memiliki teman-teman yang sangat gemar melakukannya. Mbak Devi (dan Mas Dono, suaminya) dan Mas Bustanul, contohnya. Mas Bus berdomisili di Pati, Jawa Tengah. Saat libur, ia sering menggunakan waktunya untuk dolan ke rumah temannya di Bojonegoro, Jawa Timur. Mbak Devi sering melakukan perjalanan Tuban-Surabaya-Pacitan-Yogya-Tuban demi mengunjungi kerabatnya. Bisa jadi, mereka termasuk orang yang berhasil meniru Kangjeng Nabi dalam hal ini.** Itu luar biasa.

Memang, Mas Dhaya sangat mirip dengan saya dalam banyak hal. Namun, dalam beberapa hal ia lebih mirip dengan ummi-nya. Sekira dua pekan yang lalu, Mas Dhaya menyampaikan kepada ummi-nya bahwa ia minta dibuatkan sate ayam. Ummi-nya mengaku belum bisa memasak itu. Mas Dhaya lantas berkata, “Lo, buat ae, Mi. (Nggak enak pun) Nggak papa. Nanti  Mas Dhaya bilang, ‘Mmm... enak, Mi. Sedap ini.’”

Istri saya tertawa. Lalu, dia bertanya, “Lo, (me)niru såpå ngunu iku Bi, hobi-ne ngrayu (dan) bikin baper?

Saya rasa, saya tak pandai merayu, apalagi membikin baper. Biasanya, saya hanya menyampaikan penilaian saya, semisal cantik dan enak, secara jujur. Itu saja. Maka, saya tak begitu paham, siapa sebenarnya yang dimaksud oleh istri saya. Jangan-jangan, yang dia maksud adalah mantannya. Ah!•fgs




Catatan Kaki:
*Banyak hadis Kangjeng Nabi tentang kunjungan terhadap orang sakit, di antaranya:

Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan yang bersin.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Apabila seseorang menjenguk saudaranya yang muslim (yang sedang sakit), maka (seakan-akan) ia berjalan sambil memetik buah-buahan surga hingga ia duduk. Apabila sudah duduk maka diturunkan kepadanya rahmat dengan deras. Apabila menjenguknya di pagi hari, maka tujuh puluh ribu malaikat mendoakannya agar mendapat rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya sore hari, maka tujuh puluh ribu malaikat mendoakannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba.” (H.R. at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad)

Siapa yang menjenguk orang sakit, maka ada seorang yang berseru dari langit: kamu orang baik, dan langkahmu juga baik, dan engkau berhak menempati satu tempat di surga.” (H.R. Ibnu Majah, at-Tirmizi, dan Ahmad)

**Kangjeng Nabi pernah dhawuh, “Siapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturahmi.” (H.R. Bukhari No. 5985 dan Muslim No. 2557)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar