Rabu, 28 Maret 2018

Merayakan Kepura-puraan


LENGANG. Tetiba jalur pedestrian kosong. Tak ada mbah-mbah yang biasa menjual nasi boranan di depan Hotel Elresas. Warung penyetan dan soto kaki lima tutup. Hanya ada satu mbak-mbak penjual nasi pecel yang tersisa. Saya hampiri.

Ngapunten, Mas. Nasinya sudah habis,” katanya.

Belum rezeki kami, rupanya. Belum rezeki saya diladeni sarapan nasi pecel oleh mbak-mbak manis dan belum rezeki mbaknya meladeni lelaki menyebalkan seperti saya.

Tenang. Tak perlu khawatir. Gusti Allah pasti telah menyediakan hal lain yang lebih pantas untuk kami berdua. Mungkin saya akan ditraktir makan ayam goreng oleh mbak-mbak yang tak hanya manis tapi juga setia. Siapa tahu. Wong Gusti Allah kuwi pancen mbuh kok...

“Ndak boleh sama Satpol PP, Mas. Mau ada penilaian adipura,” kata mbak penjual nasi pecel sambil bisik-bisik. Dia menambahkan informasi bahwa semua PKL telah didata serta dilarang berjualan di trotoar dan di pringgir jalan oleh Satpol PP. Lihat itu, dia sampai berbisik-bisik. Seolah khawatir jika dedaunan ikut mendengar pembicaraannya.

Lha iyå tå, pemerintah kuwi yå aneh. Menilai kebersihan, keteduhan, dan pengelolaan lingkungan perkotaan, kok hanya dalam hitungan hari. Direduksi menjadi soal ketertiban PKL pula. Lalu, apa kabar dengan hari-hari lain dalam setahun itu? Hari saat banjir setinggi lutut. Hari saat bau sampah menyengat. Hari saat terlontar sampah dari dalam mobil. Hari saat oknum aparatur negara meminta uang keamanan kepada PKL. Hari ketika... ah, sudahlah.

PKL itu kan bagian dari hal-hal yang belum selesai di negara ini. Sejak dulu. Mungkin pendekatan masalahnya yang kurang tepat. Bisa juga solusinya yang masih parsial dan jangka pendek. Coba, soal penilaian adipura saja misalnya, måsåk solusinya adalah melarang PKL berjualan. Itu kan menggemaskan. Setelah penilaian berakhir, PKL balik lagi, bukan?

Hal lain yang biasa ditempuh oleh pemerintah adalah relokasi. PKL dikumpulkan di suatu kawasan yang cukup jauh dari rumah atau jalur utama yang strategis. Akibatnya, seminggu berikutnya PKL kembali ke tempat semula. PKL tentu memilih begitu, karena: (1) tak mengeluarkan biaya ekstra untuk transportasi, (2) sudah dikenal dan punya pelanggan, (3) tak perlu membayar sewa, dan seterusnya.

Bagi PKL, itu adalah hal yang paling mungkin untuk mereka saat ini. Seandainya mereka punya modal, mereka tentu membangun toko, restoran, istana buah, dan sebagainya di lokasi yang paling strategis tanpa diganggu oleh Satpol PP. Berada di tempat strategis, secara ekonomis, pendapatan mereka memungkinkan berkembang lebih besar. Itu tentu nyaman sekali. Sementara, PKL bermodal rendah hanya begitu-begitu saja. Banyak lo yang hanya mampu bertahan beberapa hari saja. Omong-omong, sebenarnya ekonomi kita memihak siapa sih?

Lha iyå tå, pemerintah kuwi yå aneh. Bahkan untuk urusan pura-pura—seperti adipura—pun, pemerintah merasa harus mengganggu dan merugikan rakyatnya. Terutama kaum miskin kota, proletar, dan apa pun sebutannya itu.

Sekira 11.00 WIB, kemarin (28/3), ada dua kresek putih besar di atas meja. Kok koyok nasi bungkus ya isinya? Oh tentu saja, sebagai pria sejati, saya harus tetap tampak kalem meski asline penuh harap. Pemerintah mengajarkan itu lo: merayakan kepura-puraan! Dan, sebagian dari kita menikmatinya.

Månggå Mas Febrie. Itu untuk makan bareng-bareng,” kata Mbak Luthvia.

Nah, apa saya bilang. Gusti Allah wis nyepakne sembarange. Kita hanya perlu ikhtiar sakmampune, sabar sawetara, dan ikhlas saklawase. Bayangkan, nasi lauk ayam goreng, sambel yang maknyus, ditraktir oleh mbak-mbak manis dan setia, serta masih ditambah dengan bonus makan bersama. Ini kan hanya semacam sarapan yang agak siang. Minångkå gantine segå pecel pagi tadi. Gusti Allah begitu. Sering langsung diberi, bahkan tanpa kita minta. Kadang ditunda sebentar. Sekali-sekali diganti bentuk lain yang lebih pas.

Duh, maturnuwun sanget lho, Mbak Luthvia. Lemah teles inggih, Gusti Allah sing mbales.

Dhawuhe Kangjeng Nabi ngene to: sesiapa yang mau berterima kasih kepada sesamanya—juga kepada alam raya ini, saya kira—berarti ia juga bersyukur kepada Tuhannya.* Dan, nah ini penting, Tuhan berjanji akan menambah nikmat bagi siapa saja yang mau bersyukur. “Itu!” rungok­-kan, Rek. Iku aku wis macak koyok Mario Teduh lo. Ngetik karo men-duding-kan telunjuk dikirå gampang åpå...

Ini aku kebanyakan. Masnya mau?” tanya Mbak Siti.

Lo ya, baru saja dirasani. Fa bi ayyi ālā’i Rabbikumā tukażżibān, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?** Itu!•fgs



Catatan Akhir:
*”Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tak bersyukur kepada manusia.” (H.R. Ahmad)
**Dalam QS Ar Rahman ini, Allah swt menyindir manusia sebanyak 31 kali dengan cara bertanya demikian di akhir setiap ayat yang menjelaskan karunia yang diberikan-Nya kepada manusia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar