TELAT
1 jam dari rencana. Ummu Mas Dhaya berencana balik ke Mojokerto kemarin,
Minggu, 15 April 2018, sekira pukul 12.00 WIB. Namun, Mas Dhaya masih umek aé. Owel jawané. Apa ya bahasa Indonesianya? Entahlah.
Sehari
sebelumnya, Mas Dhaya sudah bilang, “Besok,
kalau Mas Dhaya nangis, berarti nggak jadi balik Minggu, ya. Senin pagi saja.”
Ummi-nya mencibir. “Hèlèh, pancèn Mas
Dhaya berencana balik Senin, kan?”
Sabtu
malam. Seperti biasa, Mas Dhaya tidur sambil memeluk saya. Lebih erat daripada
malam-malam sebelumnya.
Minggu.
Pukul 11.30 WIB. Setelah bermain bersama dengan saya sejak pagi, tetiba Mas
Dhaya naik ke pangkuan dan memeluk saya. Ia menangis. “Mas Dhaya masih kangen sama Abi. Baliknya besok-besok saja ya, Abi? Mas
Dhaya sayang Abi,” katanya.
Saya
tentu saja ikut menangis. Wong saya sakjané pancèn gembèng. Gampang menangis. Mudah terharu. Namun, saya bilang, “Sabar, Mas Dhaya. Abi harus bekerja. Mas
Dhaya harus sekolah. Ini namanya berjuang, Anak Pinter. Jihad. Allah suka.”
“Tapi, Mas Dhaya masih kangen sama Abi,”
keluhnya.
“Abi juga masih kangen Mas Dhaya. Besok, 26
April, Mas Dhaya ke Lamongan lagi. Tapi, Mas Dhaya harus hafalkan hadis dan
Alquran lebih banyak daripada teman-teman dulu. Ada waktu 10 hari. Bisa?”
Ia
mengangguk. Ia turun dari pangkuan. Ia bersiap mandi.
Lama
sekali. Keran, slang pancuran, sebagian dinding kamar mandi, dan tempat sabun
ia cuci pakai sabun mandi. “Mumpung Mas
Dhaya masih di Lamongan,” dalihnya. Pukul 13.00 WIB, acara mandi baru
selesai.
Kami
tetap berangkat. Sampai alun-alun, Mas Dhaya berupaya mengulur waktu lagi. “Mas Dhaya lapar, Bi. Kita makan di Depot 2R
dulu, ya?” katanya. Ummi-nya bereaksi. “Nggak
usah. Kamu alasan thok. Nanti saja beli
di bus.”
Upayanya
selesai? Jelas tidak. Dua jam kami nyegat
bus di nDapur. Depan stasiun. Semua bus penuh. Bahkan bus patas. “Penuh semua, Abi. Bahaya itu. Apalagi
pintunya dibuka gitu. Bahaya. Besok pagi saja baliknya,” kata Mas Dhaya.
![]() |
Sesak-Menyesak (Dokpri) |
Memang
agak mengkhawatirkan. Busnya tak imbang. Condong ke kiri. Itu karena terlalu
banyak muatan, ya. Bukan simbol condong ke Partai Setan. Saingannya
Partai Allah. Astagfirullāh al-‘ażīm. Allah kok dibayangkan bikin partai. Bersaing akèh-akèhan pendukung dengan setan pula.
Kembali ke soal bus tadi, ya. Ada bus kesekian yang berhenti. Penuh. Namun, masih bisa
ditambah dua-tiga penumpang. Saya menganjurkan mereka naik. Mas Dhaya langsung menggeleng dan berderai
air mata.
“Emoh, Abi. Mas Dhaya nggak mau,”
isaknya. Saya tak tega. Maka, saya ajak kembali ke indekos saya.
Senin
pagi. Saya kira, sama dengan beberapa minggu sebelumnya. Pukul 04.30 WIB sudah menuju
nDapur. Nyatanya tidak. Mas Dhaya masih bermalas-malasan. “Sini Abi, keloni Mas Dhaya,” katanya. Pukul 05.30 WIB, ia baru
mandi. Kali ini, ia mencuci bak mandi. Selesai?
“Ayo Abi, kita lomba cuci tangan. Berani? Pasti menang Mas Dhaya,” katanya. Lo
yå, ènèk aé acarané.
Sampai
nDapur, depan stasiun, banyak orang yang telah berdiri nyegat bus. Semua bus penuh sesak. Saking lamanya menunggu, Mas
Dhaya sampai tiduran di trotoar berbantal paha saya.
Pukul
07.55 WIB, saya pamit ke kantor. Mas Dhaya menangis. “Mas Dhaya mau ditunggu
Abi,” katanya.
Saya cium pipi dan dahinya. Lalu, segera berangkat sambil prembeng-prembeng. Berkaca-kaca. Hampir pukul 09.00 WIB ummu Mas Dhaya berkirim pesan whatsapp. Mereka sudah di dalam bus. Mereka berdiri sekira 5 menit. Lalu, ada seorang lelaki berusia 40-an yang mempersilakan mereka duduk. Padahal, sama-sama akan ke Bungurasih.
Saya cium pipi dan dahinya. Lalu, segera berangkat sambil prembeng-prembeng. Berkaca-kaca. Hampir pukul 09.00 WIB ummu Mas Dhaya berkirim pesan whatsapp. Mereka sudah di dalam bus. Mereka berdiri sekira 5 menit. Lalu, ada seorang lelaki berusia 40-an yang mempersilakan mereka duduk. Padahal, sama-sama akan ke Bungurasih.
Mari ngéné lak ènèk
Pilgub séh, Rèk. Adakah
calon gubernur dan calon wakil gubernur yang punya solusi transportasi di
Jawa Timur?•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar