“THALABUL ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli
muslimin. Rawāhu Ibnu Mājah,” kata Mas Dhaya. Lancar. Menuntut ilmu itu
wajib bagi setiap muslim (H.R. Ibnu Majah).
Itu
hadis kesembilan yang ia hafal. Saat itu usianya baru 3 tahun. Ia baru nyantri di pondok pesantren di Pungging,
Mojokerto. Sekira 7 km dari rumah mertua; tempat kami menumpang tinggal.
Sebenarnya, tak jauh dari rumah mertua, lebih kurang 100 m, ada pondok
pesantren lain. Lebih lama didirikan. Namun, di antara beberapa pesantren yang
kami nilai pas dengan kriteria kami, Mas Dhaya memilih pesantren tempat nyantri-nya sekarang. Jadi ya, sudahlah.
Di
pesantren itu, santri usia PAUD, ditarget hafal sekurangnya 60 hadis dan 2 juz
al-Quran. Perlu disiplin dan pembiasaan, memang. Namun, karena suasana saat ziyadah dan muraja’ah dibikin santai, berbasis alam, tampaknya santri-santri
kecil itu, termasuk Mas Dhaya, tak merasa terbebani.
Hasilnya,
alhamdulillah, saat berusia sekira 4 tahun, Mas Dhaya juara II tahfiz al-Hadits
tingkat PAUD. Lalu, beberapa bulan berikutnya, 23 Januari 2018, ia juara II
tahfiz al-Quran tingkat PAUD. Itu lomba untuk semua tingkat (PAUD, SD/MI,
SMP/MTs, dan SMU/MA) se-Jawa Timur yang diselenggarakan di pesantrennya.
Memang,
buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Nah, nèk
iki asli ngapusi. Seumur-umur
saya tak pernah juara lomba ngunu kuwi.
Ummi-nya juga. Itu murni paringané Gusti Allah serta gemblengan ummi dan ustazahnya.
Dulu,
saya memang beberapa kali mewakili sekolah untuk ikut lomba. Tentu, bukan
karena saya pintar dan berbakat, tapi mergå
kawan-kawan saya tak ada yang mau. Macam-macam: Lomba baca puisi, lomba
mewarnai/menggambar, lomba siswa teladan, lomba mahasiswa perprestasi utama,
dan lomba karya tulis ilmiah. Éh
dakcritani, saya pernah lulus seleksi hingga ikut Pekan Ilmiah Mahasiswa
Nasional (Pimnas) XIX di Malang.1 Ora sombong lho iki.
Menang
dhéwé. Lalu, sok-sokan. Wah, itu
jelas bukan saya banget. Maka, zaman SD, bèn
ora kétok piyé ngunu, saya juga pernah ikut lomba beregu. Lomba cerdas
cermat. Zaman Orde Baru, itu lomba yang keren sekali. Kalau beruntung, bisa
“masuk TV”. Diliput TVRI.
Karena
saya bukan anak sok-sokan kuwi maeng,
maka saya beruntung, meski ndak masuk
TV. Saat lomba, saya diapit 2 teman perempuan yang pintar. Astha dan Puji. Praktis,
saya hanya kebagian memperkenalkan diri dan teman di samping kiri-kanan saya.
Heran. Mundhak arep perkenalan aé kok kudu ngapalné RPUL, RPAL, dan
lain-lain. Kok gelemen.
Jadi
gitu. Singkatnya, lomba yang pernah
saya ikuti adalah lomba seni dan pengetahuan umum. Bukan lomba langitan model Mas Dhaya itu.
Namun,
nèk dipikir-pikir, tetap ada persamaannya
yaitu niat, kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan. Apa pun, termasuk belajar,
mesti dilakukan dengan niat lillahi
ta’ala, kesungguhan dan kesabaran berikhtiar, serta keikhlasan menerima
hasilnya. Åjå diniatkan untuk
kesombongan. Apalagi politik remeh-temeh. Itu kunci.
Oh
ya, satu lagi, agar tepat hasil dan (oleh sebab itu) ora ngisin-ngisini, semua-muanya harus serbapas. Nèk arep ujian atau lomba tahfiz hadis, kuduné fokus sinau hadis. Åjå sinau menghayati puisi. Nèk pas istirahat lèh sinau, lalu kålå-kålå måcå
puisi, menikmati, mengapresiasinya, boleh saja. Apa manèh nèk pancèn dhasaré seneng. Nanging yå ora njuk bergaya seperti yang paling tahu soal puisi,
lalu adol omong di sana-sini. Itu
kurang elok. Sebab, ya kuwi maeng, ora duwé ilmuné. Bukan bidang
keahliannya. Iya nèk ndilalah kersaning
Allah, bener. Nèk klèru?
Iki kåyå critané sebagian orang, termasuk pemandu acara
pengajian di salah satu stasiun televisi, kuwi
lho. Reaktif. Ketika Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo membaca puisi, mårå-mårå dicela. Puisi tersebut
dianggap melecehkan Islam, “murah nan
tidak bermutu”, dan “dungu.”
Lantas, mereka mengancam akan melaporkannya ke polisi.
Belakangan,
mereka baru mengetahui bahwa ternyata puisi tersebut ditulis oleh Gus Mus, kiai
sepuh, pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin, Rembang, pada 1987. Lha wong pancen puisi terkenal dan
sering dibacakan oleh banyak orang ngunu
lo. Yå mergå nganu kuwi, dadi maklum
nèk ora ngerti.
Setelah
tahu dan mendapat reaksi keras dari masyarakat, njuk bingung dhéwé. Kisinan.
Wedi. Minta maaf kepada Gus Mus. Mendungukan
diri sendiri. Ora sidå lapor polisi. Alasané, seperti dilansir Tribunnews.com, “Puisi karangan Gus Mus tak secara gamblang menyinggung soal azan bagi
umat Islam.” Lo, jaré wingi
menista Islam. Kok ndak konsisten?
Itu
blunder, menurut saya. Semacam menguatkan dugaan bahwa: pertama, sebagian dari kita menggunakan standar ganda dalam menilai
sesuatu. Kita hanya menilai orangnya, sampulnya, bukan isinya. Soal lain, asal
yang menyampaikan orang dengan latar belakang tertentu, apalagi tak punya basis
massa, langsung dicela, difitnah, dan seterusnya. Namun, tidak sebaliknya. Mari kita berandai-andai. Jika puisi yang dibacakan oleh Sukmawati tempo hari juga karya Gus Mus, apakah masih sedemikian hebohnya?
Kedua, sebagian dari kita belum dapat membedakan antara penistaan agama dan kritik (atas praktik) beragama. Kritik itu bagus. Ia dapat memperkaya, mengindahkan, dan meningkatkan peradaban. Kritik tak serta merta menjadikan, setidaknya saya, tak percaya Gusti Allah dan Kangjeng Nabi. Ujug-ujug jadi ateis. Tidak.
Ketiga, sebagian aktivitas selama ini tak murni sebagai pembelaan terhadap agama. Ada politisasi kebencian di sana. Ada hidden agenda.
Kedua, sebagian dari kita belum dapat membedakan antara penistaan agama dan kritik (atas praktik) beragama. Kritik itu bagus. Ia dapat memperkaya, mengindahkan, dan meningkatkan peradaban. Kritik tak serta merta menjadikan, setidaknya saya, tak percaya Gusti Allah dan Kangjeng Nabi. Ujug-ujug jadi ateis. Tidak.
Ketiga, sebagian aktivitas selama ini tak murni sebagai pembelaan terhadap agama. Ada politisasi kebencian di sana. Ada hidden agenda.
Apa benar begitu? Lha
mbuh. Itu kan dugaan. “Tidak gamblang”
jé. Kebenaran hanya milik Gusti
Allah, sedang kedunguan, itulah saya.
Saya
malih kèlingan salah sijiné profesor
zaman saya masih nyantri di Fakultas
Sastra dulu. Sekarang namanya berubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya. Ia
bercerita bahwa ia pernah menjadi saksi ahli atas tuduhan, kira-kira nèk saiki ngunu, penistaan agama dalam karya sastra apa ngunu. Rada lali saya. Profesor itu lebih kurang berkata, “Karya sastra itu boleh jadi bernilai kritik
terhadap realitas sosial. Namun, ia pada dasarnya tetaplah karya imajinatif.
Maka, jika ingin mengadilinya, boleh, bawalah ke persidangan imajinatif.”
Kami tertawa.
Nganu, omong-omong, nèk umpåmå 2019, capres-cawapresnya pasangan Pak Jokowi dan Pak
Prabowo njuk piyé yå?•fgs
Catatan
Akhir:
1Pimnas
adalah ajang perlombaan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diikuti oleh
seluruh mahasiswa Indonesia--yang lulus seleksi berjenjang--yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perguruan
Tinggi (Dikti) setiap tahun. Ini merupakan kompetisi ilmiah mahasiswa yang
utama, satu-satunya, dan paling bergengsi di Indonesia.
Mulanya, Pimnas
bernama Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa (LKIM). Kegiatan ini pertama kali digelar
di Universitas Indonesia (UI) Jakarta pada 1988. LKIM berganti nama menjadi Pimnas
pada 1990.
Pelaksanaan PIMNAS
dimaksudkan untuk meningkatkan wawasan dan kemampuan akademik mahasiswa,
mengembangkan komunikasi ilmiah, memacu dan membudayakan kreativitas dan
penalaran dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS).
Dengan jiwa, semangat, budaya, dan tradisi ilmiah, mahasiswa diharapkan akan memiliki
kekuatan yang berlandaskan kreativitas dan penalaran sebagai cerminan
masyarakat ilmiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar