Sabtu, 14 April 2018

Maafkan Kedunguan Saya. Itu saja.


THALABUL ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin. Rawāhu Ibnu Mājah,” kata Mas Dhaya. Lancar. Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim (H.R. Ibnu Majah).

Itu hadis kesembilan yang ia hafal. Saat itu usianya baru 3 tahun. Ia baru nyantri di pondok pesantren di Pungging, Mojokerto. Sekira 7 km dari rumah mertua; tempat kami menumpang tinggal. Sebenarnya, tak jauh dari rumah mertua, lebih kurang 100 m, ada pondok pesantren lain. Lebih lama didirikan. Namun, di antara beberapa pesantren yang kami nilai pas dengan kriteria kami, Mas Dhaya memilih pesantren tempat nyantri-nya sekarang. Jadi ya, sudahlah.

Di pesantren itu, santri usia PAUD, ditarget hafal sekurangnya 60 hadis dan 2 juz al-Quran. Perlu disiplin dan pembiasaan, memang. Namun, karena suasana saat ziyadah dan muraja’ah dibikin santai, berbasis alam, tampaknya santri-santri kecil itu, termasuk Mas Dhaya, tak merasa terbebani.

Hasilnya, alhamdulillah, saat berusia sekira 4 tahun, Mas Dhaya juara II tahfiz al-Hadits tingkat PAUD. Lalu, beberapa bulan berikutnya, 23 Januari 2018, ia juara II tahfiz al-Quran tingkat PAUD. Itu lomba untuk semua tingkat (PAUD, SD/MI, SMP/MTs, dan SMU/MA) se-Jawa Timur yang diselenggarakan di pesantrennya.

Memang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Nah, nèk iki asli ngapusi. Seumur-umur saya tak pernah juara lomba ngunu kuwi. Ummi-nya juga. Itu murni paringané Gusti Allah serta gemblengan ummi dan ustazahnya.

Dulu, saya memang beberapa kali mewakili sekolah untuk ikut lomba. Tentu, bukan karena saya pintar dan berbakat, tapi mergå kawan-kawan saya tak ada yang mau. Macam-macam: Lomba baca puisi, lomba mewarnai/menggambar, lomba siswa teladan, lomba mahasiswa perprestasi utama, dan lomba karya tulis ilmiah. Éh dakcritani, saya pernah lulus seleksi hingga ikut Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) XIX di Malang.1 Ora sombong lho iki.

Menang dhéwé. Lalu, sok-sokan. Wah, itu jelas bukan saya banget. Maka, zaman SD, bèn ora kétok piyé ngunu, saya juga pernah ikut lomba beregu. Lomba cerdas cermat. Zaman Orde Baru, itu lomba yang keren sekali. Kalau beruntung, bisa “masuk TV”. Diliput TVRI.

Karena saya bukan anak sok-sokan kuwi maeng, maka saya beruntung, meski ndak masuk TV. Saat lomba, saya diapit 2 teman perempuan yang pintar. Astha dan Puji. Praktis, saya hanya kebagian memperkenalkan diri dan teman di samping kiri-kanan saya. Heran. Mundhak arep perkenalan aé kok kudu ngapalné RPUL, RPAL, dan lain-lain. Kok gelemen.

Jadi gitu. Singkatnya, lomba yang pernah saya ikuti adalah lomba seni dan pengetahuan umum. Bukan lomba langitan model Mas Dhaya itu.

Namun, nèk dipikir-pikir, tetap ada persamaannya yaitu niat, kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan. Apa pun, termasuk belajar, mesti dilakukan dengan niat lillahi ta’ala, kesungguhan dan kesabaran berikhtiar, serta keikhlasan menerima hasilnya. Åjå diniatkan untuk kesombongan. Apalagi politik remeh-temeh. Itu kunci.

Oh ya, satu lagi, agar tepat hasil dan (oleh sebab itu) ora ngisin-ngisini, semua-muanya harus serbapas. Nèk arep ujian atau lomba tahfiz hadis, kuduné fokus sinau hadis. Åjå  sinau menghayati puisi. Nèk pas istirahat lèh sinau, lalu kålå-kålå måcå puisi, menikmati, mengapresiasinya, boleh saja. Apa manèh nèk pancèn dhasaré seneng. Nanging yå ora njuk bergaya seperti yang paling tahu soal puisi, lalu adol omong di sana-sini. Itu kurang elok. Sebab, ya kuwi maeng, ora duwé ilmuné. Bukan bidang keahliannya. Iya nèk ndilalah kersaning Allah, bener. Nèk klèru?

Iki kåyå critané sebagian orang, termasuk pemandu acara pengajian di salah satu stasiun televisi, kuwi lho. Reaktif. Ketika Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo membaca puisi, mårå-mårå dicela. Puisi tersebut dianggap melecehkan Islam, “murah nan tidak bermutu”, dan “dungu.” Lantas, mereka mengancam akan melaporkannya ke polisi.

Belakangan, mereka baru mengetahui bahwa ternyata puisi tersebut ditulis oleh Gus Mus, kiai sepuh, pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin, Rembang, pada 1987. Lha wong pancen puisi terkenal dan sering dibacakan oleh banyak orang ngunu lo. Yå mergå nganu kuwi, dadi maklum nèk ora ngerti.

Setelah tahu dan mendapat reaksi keras dari masyarakat, njuk bingung dhéwé. Kisinan. Wedi. Minta maaf kepada Gus Mus. Mendungukan diri sendiri. Ora sidå lapor polisi. Alasané, seperti dilansir Tribunnews.com, “Puisi karangan Gus Mus tak secara gamblang menyinggung soal azan bagi umat Islam.” Lo, jaré wingi menista Islam. Kok ndak konsisten?

Itu blunder, menurut saya. Semacam menguatkan dugaan bahwa: pertama, sebagian dari kita menggunakan standar ganda dalam menilai sesuatu. Kita hanya menilai orangnya, sampulnya, bukan isinya. Soal lain, asal yang menyampaikan orang dengan latar belakang tertentu, apalagi tak punya basis massa, langsung dicela, difitnah, dan seterusnya. Namun, tidak sebaliknya. Mari kita berandai-andai. Jika puisi yang dibacakan oleh Sukmawati tempo hari juga karya Gus Mus, apakah masih sedemikian hebohnya?

Kedua, sebagian dari kita belum dapat membedakan antara penistaan agama dan kritik (atas praktik) beragama. Kritik itu bagus. Ia dapat memperkaya, mengindahkan, dan meningkatkan peradaban. Kritik tak serta merta menjadikan, setidaknya saya, tak percaya Gusti Allah dan Kangjeng Nabi. Ujug-ujug jadi ateis. Tidak.

Ketiga, sebagian aktivitas selama ini tak murni sebagai pembelaan terhadap agama. Ada politisasi kebencian di sana. Ada hidden agenda.

Apa benar begitu? Lha mbuh. Itu kan dugaan. “Tidak gamblang. Kebenaran hanya milik Gusti Allah, sedang kedunguan, itulah saya.

Saya malih kèlingan salah sijiné profesor zaman saya masih nyantri di Fakultas Sastra dulu. Sekarang namanya berubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya. Ia bercerita bahwa ia pernah menjadi saksi ahli atas tuduhan, kira-kira nèk saiki ngunu, penistaan agama dalam karya sastra apa ngunu. Rada lali saya. Profesor itu lebih kurang berkata, “Karya sastra itu boleh jadi bernilai kritik terhadap realitas sosial. Namun, ia pada dasarnya tetaplah karya imajinatif. Maka, jika ingin mengadilinya, boleh, bawalah ke persidangan imajinatif.” Kami tertawa.

Nganu, omong-omong, nèk umpåmå 2019, capres-cawapresnya pasangan Pak Jokowi dan Pak Prabowo njuk piyé yå?•fgs



Catatan Akhir:
1Pimnas adalah ajang perlombaan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diikuti oleh seluruh mahasiswa Indonesia--yang lulus seleksi berjenjang--yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dikti) setiap tahun. Ini merupakan kompetisi ilmiah mahasiswa yang utama, satu-satunya, dan paling bergengsi di Indonesia.

Mulanya, Pimnas bernama Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa (LKIM). Kegiatan ini pertama kali digelar di Universitas Indonesia (UI) Jakarta pada 1988. LKIM berganti nama menjadi Pimnas pada 1990.

Pelaksanaan PIMNAS dimaksudkan untuk meningkatkan wawasan dan kemampuan akademik mahasiswa, mengembangkan komunikasi ilmiah, memacu dan membudayakan kreativitas dan penalaran dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS). Dengan jiwa, semangat, budaya, dan tradisi ilmiah, mahasiswa diharapkan akan memiliki kekuatan yang berlandaskan kreativitas dan penalaran sebagai cerminan masyarakat ilmiah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar