Senin, 19 Maret 2018

Tuhan dan Penyetan Lamongan


PENYETAN* atau lalapan. Itulah makanan yang paling mudah ditemukan di Lamongan, selain soto dan sega boranan tentu saja. Sebenarnya ada banyak menu penyetan: bebek, ayam, lele, mujair, burung dara, telur, dll., tapi beberapa hari terakhir, saya memilih tempe penyet. Murah meriah. Sekira Rp6 ribu. Cocok untuk kantong saya, anak kos yang sedang berhemat demi membeli sebongkah berlian.


Salah satu warung penyetan di Lamongan

Omong-omong, ada yang tahu, siapa penemu tempe? Kita ini, sering berbangga-bangga karena tahu penemu bohlam, pencetus teori relativitas, dan sebagainya yang serbaasing itu. Namun, kita tak tahu—apalagi bangga—tentang kekhasan sendiri. Ya, tempe itu contohnya.

Tempe dikenal sebagai kekayaan kuliner di Jawa sejak zaman dulu. Beberapa sumber menyebutkan bahwa istilah tempe tersua di Serat Centhini, sebuah karya ensiklopedis tentang Jawa yang diduga ditulis oleh beberapa orang atas perintah Raja Surakarta. Berdasarkan sumber tersebut, artinya tempe telah dikonsumsi oleh rakyat kebanyakan sekira Abad XVI. Sumber lain menyebutkan bahwa tempe telah dikenal sejak zaman Majapahit.



Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya menyebutkan bahwa tempe berasal dari kata tape yang mengandung arti fermentasi. Wadah besar tempat produk fermentasi itu disebut dengan tempayan. Kata tempe dekat dengan dua kata tersebut.

Berdasarkan catatan Anton D.H. Nugrahanto, versi sejarah yang lain menyatakan bahwa tempe ditemukan sekira 1875 dengan meniru Koji, makanan Cina yang merupakan fermentasi kedelai. Kala itu, Van Den Bosch menerapkan kerja rodi. Seluruh rakyat diharuskan menanam tanaman perkebunan seperti tebu dan karet. Rakyat terus bekerja rodi dan kelaparan. Mereka memakan makanan yang dihasilkan dari tanaman yang gampang tumbuh, seperti ubi, singkong, dan kedelai. Tak hanya dimakan begitu saja, kedelai diolah menjadi tempe layaknya koji. Namun, peniruan ini masih perlu diteliti lebih lanjut.

Warung penyetan yang lain

Masih menurut Anton, tempe juga pernah menjadi penyelamat bangsa Eropa yang ditawan Jepang.  Dalam penjara mereka diberi makan tempe. Ternyata, justru tempe itu yang membuat para para tawanan bertahan hidup, sebab tempe memiliki kandungan protein yang amat tinggi.

Apa pun riwayat sejarahnya, tempe, seperti dikatakan oleh Onghokham, adalah sumbangan Jawa pada seni masak dunia. Sayangnya, seperti banyak penemuan makanan sebelum zaman paten, penemu tempe pun anonim.

Kini, ada 9 kata turunan tempe yang tercatat dalam KBBI Edisi V, yaitu: tempe benguk, tempe bongkrek, tempe bungkil, tempe gembus, tempe jagung, tempe kacang, tempe kripik, tempe lamtoro, dan tempe turi. Saya percaya, olahan tempe yang kita kenal jauh lebih banyak daripada itu.

Piye, tibak-nya tempe kuwi keren to? Eh, biasa?

Ya, ya, selama ini Gusti Allah tampaknya terlalu memanjakan kita. Semua sarwa cumepak. Semua tersedia, sehingga kita menganggapnya biasa dan lupa mensyukurinya. Coba, Gusti Allah tak menggerakkan hati orang untuk terus menjual tempe. Akhirnya, pedagang memilih menjual sesuatu yang lebih gede untungnya. Selanjutnya, umpama Gusti Allah juga iseng tak menggerakkan orang membuat tempe, menanam kedelai, dan seterusnya. Serta merta tempe menjadi langka, hilang, tak ada.

Kira-kira, apa dampaknya? Hu-um, harga tempe mahal. Lainnya? Pernahkah terbayang, anak merengek minta tempe goreng—bukan minta proyek seperti anak papa siapa itu. Presiden prihatin dan mengutuk negara tetangga karena menolak mengimpor bahan baku tempe. Lalu, segera bikin lagu, vlog, dan sebagainya. Ini masih permisalan soal tempe lo, belum soal lainnya. Tapi ya itu tadi, sekali lagi, ini hanya permisalan yang sayangnya juga asal bunyi. Ndak masuk akal.

Lagipula, akal kita biasanya tak memberi ruang kepada Tuhan pascasemesta tercipta. Setelah penciptaan dunia seisinya, kita membayangkan bahwa Tuhan lalu cuci tangan. Berserah kepada manusia. Pinter-pinter-nya manusia bersiasat agar sintas. Masak iya Tuhan ngurusi hal remeh macam tempe itu. Kurang kerjaan banget. Tuhan Maha Besar dan tentu saja Maha Sibuk sehingga mana sempat Ia iseng seperti kita. Mmm... itu pun kalau kita masih percaya terhadap eksistensi Tuhan.

Namun, sungguh, saya kadang geli dengan pikiran macam itu. Tuhan kok tinggal glanggang colong playu. Ndak tanggung jawab gitu. Apa ya tumon?

Gusti Allah itu—kata guru ngaji saya dulu—sesuai dengan perkiraan hambanya dan punya sifat Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Atasnya, saya lebih senang mengira bahwa Gusti Allah itu saking sayangnya kepada saya, maka ndak rela jika saya terlalu keras memikirkan dan mengurus hal mikro-nano yang sangat banyak dan bahkan ada yang tersembunyi itu. Gusti Allah memberi kesempatan kepada saya untuk memikirkan dan melakukan hal lain. Coba bayangkan, kalau tempe saja harus saya urus sendiri, kapan saya ibadah? Ya, meski ngurusi tempe juga dapat bernilai ibadah.

Nah, maka Gusti Allah turut serta mengatur semuanya. Ia mengarahkan. Ia juga mengajarkan. Ya mesti wae ora njuk ngatur langsung, tapi menggerakkan semesta secara sir. Secara halus dan tersembunyi. Bahwa kemudian saya lagi-lagi salah paham, Ia toh maklum dan mengampuni. Lha piye maneh, wong namanya manusia. Ngerti dhewe to, bukankah ia tempat salah dan dosa? Untung ia mau menjalani proses. Namun, kadang nek pas kebangeten, ya ditegur. Biasa. Ben ora adoh-adoh kesasare. Ben ora nemen-nemen ngawure. Piye ya, Gusti Allah kuwi pancen mbuh kok.

Saya katakan sebagai pancen mbuh—mungkin lebih tepatnya adalah Maha Mbuh—sebab sejatinya, bagi saya, Tuhan itu tan kena kinira. Tak terbayangkan. Tak terdefinisikan. Tak tersimpulkan. Apalagi secara gampangan. Maka, begitu kita merasa Tuhan pasti begini-begitu, kita telah meringkusnya dalam definisi, atau malah dalam wujud, tertentu. Mestinya, itu ndak pas. Sama ndak pasnya dengan memanifestasikan Tuhan dalam bentuk berhala.

Membahas tentang Tuhan dalam perspektif ini, saya jadi teringat Voltaire. Seperti pernah diceritakan kembali oleh Goenawan Mohamad, pada 1750-an, Voltaire mengatakan,  

Seorang theis tak tahu bagaimana cara Tuhan menghukum, bagaimana cara Tuhan menganugerahi, bagaimana cara Tuhan mengampuni, sebab ia... tak menganggap dirinya mengerti laku Tuhan. Yang ia ketahui... Tuhan itu adil... .

Itu baru cara Tuhan lo. Belum yang lain-lainnya. Oh iya, apa kabar sebagian dari kita yang merasa tahu kemauan Tuhan lalu merasa punya otoritas mengafirkan saudaranya, memastikan ganjaran surga dan neraka, membidahkan, dan sebagainya itu?

Eh, tunggu dulu, kita tadi membicarakan tempe, bukan? Kok melantur sampai sini? Duh, ngunu kok meneng wae. Intinya, meminjam ungkapan Pramoedya Ananta Toer, saya hanya mau bilang: semua kaum—baik terpelajar maupun ndak terpelajar-terpelajar amat—harus bersyukur sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Tentu saja, meski sehari-hari hanya makan tempe penyet seperti saya. Itu!fgs



Catatan Akhir:
*Penyet itu kata tak baku. Berdasarkan KBBI Edisi V, kata yang baku adalah penyek, yaitu adjektiva yang bermakna "pipih karena terinjak, terhimpit, dan sebagainya." Dalam tulisan ini, penyetan dipertahankan karena merupakan kekaprahan penyebutan di masyarakat belaka.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar