PENYETAN* atau
lalapan. Itulah makanan yang paling mudah ditemukan di Lamongan, selain soto
dan sega boranan tentu saja. Sebenarnya ada banyak menu penyetan: bebek, ayam,
lele, mujair, burung dara, telur, dll., tapi beberapa hari terakhir, saya
memilih tempe penyet. Murah meriah. Sekira Rp6 ribu. Cocok untuk kantong saya, anak
kos yang sedang berhemat demi membeli sebongkah berlian.
![]() |
Salah satu warung penyetan di Lamongan |
Omong-omong, ada
yang tahu, siapa penemu tempe? Kita ini, sering berbangga-bangga karena tahu penemu
bohlam, pencetus teori relativitas, dan sebagainya yang serbaasing itu. Namun,
kita tak tahu—apalagi bangga—tentang kekhasan sendiri. Ya, tempe itu contohnya.
Tempe dikenal
sebagai kekayaan kuliner di Jawa sejak zaman dulu. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa istilah tempe tersua di Serat Centhini, sebuah karya ensiklopedis tentang
Jawa yang diduga ditulis oleh beberapa orang atas perintah Raja Surakarta.
Berdasarkan sumber tersebut, artinya tempe telah dikonsumsi oleh rakyat
kebanyakan sekira Abad XVI. Sumber lain menyebutkan bahwa tempe telah dikenal
sejak zaman Majapahit.
Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya menyebutkan bahwa tempe berasal dari kata tape yang mengandung arti fermentasi. Wadah besar tempat produk fermentasi itu disebut dengan tempayan. Kata tempe dekat dengan dua kata tersebut.
Berdasarkan catatan
Anton D.H. Nugrahanto, versi sejarah yang lain menyatakan bahwa tempe ditemukan
sekira 1875 dengan meniru Koji, makanan Cina yang merupakan fermentasi kedelai.
Kala itu, Van Den Bosch menerapkan kerja rodi. Seluruh rakyat diharuskan
menanam tanaman perkebunan seperti tebu dan karet. Rakyat terus bekerja rodi
dan kelaparan. Mereka memakan makanan yang dihasilkan dari tanaman yang gampang
tumbuh, seperti ubi, singkong, dan kedelai. Tak hanya dimakan begitu saja, kedelai
diolah menjadi tempe layaknya koji. Namun, peniruan ini masih perlu diteliti
lebih lanjut.
![]() |
Warung penyetan yang lain |
Masih menurut Anton, tempe juga pernah menjadi penyelamat bangsa Eropa yang ditawan Jepang. Dalam penjara mereka diberi makan tempe. Ternyata, justru tempe itu yang membuat para para tawanan bertahan hidup, sebab tempe memiliki kandungan protein yang amat tinggi.
Apa pun riwayat
sejarahnya, tempe, seperti dikatakan oleh Onghokham, adalah sumbangan Jawa pada
seni masak dunia. Sayangnya, seperti banyak penemuan makanan sebelum zaman
paten, penemu tempe pun anonim.
Kini, ada 9 kata
turunan tempe yang tercatat dalam KBBI Edisi V, yaitu: tempe benguk, tempe
bongkrek, tempe bungkil, tempe gembus, tempe jagung, tempe kacang, tempe
kripik, tempe lamtoro, dan tempe turi. Saya percaya, olahan tempe yang kita
kenal jauh lebih banyak daripada itu.
Piye,
tibak-nya tempe
kuwi keren to? Eh, biasa?
Ya, ya, selama ini
Gusti Allah tampaknya terlalu memanjakan kita. Semua sarwa cumepak. Semua tersedia, sehingga kita menganggapnya biasa
dan lupa mensyukurinya. Coba, Gusti Allah tak menggerakkan hati orang untuk
terus menjual tempe. Akhirnya, pedagang memilih menjual sesuatu yang lebih gede
untungnya. Selanjutnya, umpama Gusti Allah juga iseng tak menggerakkan orang
membuat tempe, menanam kedelai, dan seterusnya. Serta merta tempe menjadi
langka, hilang, tak ada.
Kira-kira, apa
dampaknya? Hu-um, harga tempe mahal.
Lainnya? Pernahkah terbayang, anak merengek minta tempe goreng—bukan minta
proyek seperti anak papa siapa itu. Presiden prihatin dan mengutuk negara
tetangga karena menolak mengimpor bahan baku tempe. Lalu, segera bikin lagu,
vlog, dan sebagainya. Ini masih permisalan soal tempe lo, belum soal lainnya.
Tapi ya itu tadi, sekali lagi, ini hanya permisalan yang sayangnya juga asal
bunyi. Ndak masuk akal.
Lagipula, akal kita
biasanya tak memberi ruang kepada Tuhan pascasemesta tercipta. Setelah
penciptaan dunia seisinya, kita membayangkan bahwa Tuhan lalu cuci tangan.
Berserah kepada manusia. Pinter-pinter-nya
manusia bersiasat agar sintas. Masak iya Tuhan ngurusi hal remeh macam tempe itu. Kurang kerjaan banget. Tuhan
Maha Besar dan tentu saja Maha Sibuk sehingga mana sempat Ia iseng seperti
kita. Mmm... itu pun kalau kita masih percaya terhadap eksistensi Tuhan.
Namun, sungguh, saya
kadang geli dengan pikiran macam itu. Tuhan kok tinggal glanggang colong playu. Ndak
tanggung jawab gitu. Apa ya tumon?
Gusti Allah itu—kata
guru ngaji saya dulu—sesuai dengan
perkiraan hambanya dan punya sifat Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Atasnya,
saya lebih senang mengira bahwa Gusti Allah itu saking sayangnya kepada saya,
maka ndak rela jika saya terlalu
keras memikirkan dan mengurus hal mikro-nano yang sangat banyak dan bahkan ada
yang tersembunyi itu. Gusti Allah memberi kesempatan kepada saya untuk
memikirkan dan melakukan hal lain. Coba bayangkan, kalau tempe saja harus saya
urus sendiri, kapan saya ibadah? Ya, meski ngurusi
tempe juga dapat bernilai ibadah.
Nah, maka Gusti
Allah turut serta mengatur semuanya. Ia mengarahkan. Ia juga mengajarkan. Ya mesti wae ora njuk ngatur langsung,
tapi menggerakkan semesta secara sir.
Secara halus dan tersembunyi. Bahwa kemudian saya lagi-lagi salah paham, Ia toh
maklum dan mengampuni. Lha piye maneh, wong
namanya manusia. Ngerti dhewe to, bukankah
ia tempat salah dan dosa? Untung ia mau menjalani proses. Namun, kadang nek pas kebangeten, ya ditegur. Biasa. Ben ora adoh-adoh kesasare. Ben ora nemen-nemen ngawure. Piye ya, Gusti Allah kuwi pancen mbuh kok.
Saya katakan
sebagai pancen mbuh—mungkin lebih
tepatnya adalah Maha Mbuh—sebab
sejatinya, bagi saya, Tuhan itu tan kena
kinira. Tak terbayangkan. Tak terdefinisikan. Tak tersimpulkan. Apalagi
secara gampangan. Maka, begitu kita merasa Tuhan pasti begini-begitu, kita
telah meringkusnya dalam definisi, atau malah dalam wujud, tertentu. Mestinya,
itu ndak pas. Sama ndak pasnya dengan memanifestasikan
Tuhan dalam bentuk berhala.
Membahas tentang
Tuhan dalam perspektif ini, saya jadi teringat Voltaire. Seperti pernah diceritakan
kembali oleh Goenawan Mohamad, pada 1750-an, Voltaire mengatakan,
Seorang theis tak tahu
bagaimana cara Tuhan menghukum, bagaimana cara Tuhan menganugerahi, bagaimana
cara Tuhan mengampuni, sebab ia... tak menganggap dirinya mengerti laku Tuhan.
Yang ia ketahui... Tuhan itu adil... .
Itu baru cara Tuhan
lo. Belum yang lain-lainnya. Oh iya, apa kabar sebagian dari kita yang merasa
tahu kemauan Tuhan lalu merasa punya otoritas mengafirkan saudaranya,
memastikan ganjaran surga dan neraka, membidahkan, dan sebagainya itu?
Eh, tunggu dulu, kita
tadi membicarakan tempe, bukan? Kok melantur sampai sini? Duh, ngunu kok meneng wae. Intinya, meminjam ungkapan Pramoedya
Ananta Toer, saya hanya mau bilang: semua kaum—baik terpelajar maupun ndak terpelajar-terpelajar amat—harus bersyukur
sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Tentu saja, meski sehari-hari hanya makan
tempe penyet seperti saya. Itu!•fgs
Catatan Akhir:
*Penyet itu kata tak baku. Berdasarkan KBBI Edisi V, kata yang baku adalah penyek, yaitu adjektiva yang bermakna "pipih karena terinjak, terhimpit, dan sebagainya." Dalam tulisan ini, penyetan dipertahankan karena merupakan kekaprahan penyebutan di masyarakat belaka.
Catatan Akhir:
*Penyet itu kata tak baku. Berdasarkan KBBI Edisi V, kata yang baku adalah penyek, yaitu adjektiva yang bermakna "pipih karena terinjak, terhimpit, dan sebagainya." Dalam tulisan ini, penyetan dipertahankan karena merupakan kekaprahan penyebutan di masyarakat belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar