Data Buku
Judul: Celetuk Bahasa: Mengungkap 100+
Salah Kaprah
Penulis: Uu
Suhardi
Penerbit: Pusat
Data dan Analisa Tempo, Jakarta
Cetakan: I,
2017
Ukuran: 11
× 16 cm
Tebal: x
+ 174 hlm.
ISBN: 978-602-6773-15-9
ISBN: 978-602-6773-15-9
BERDASARKAN
pengalaman hampir 30 tahun menjadi editor, Uu Suhardi, penulis buku ini,
berkesimpulan bahwa “masalah dalam bahasa
Indonesia sebenarnya persoalan mudah, tapi kerap menjadi sulit karena dibikin
rumit atau justru digampang-gampangkan”. Lebih lanjut, koordinator redaksi
bahasa di grup Tempo ini menyimpulkan
bahwa di antara pelbagai masalah kebahasaan itu, yang terbanyak adalah
kesalahkaprahan.
Agar laras dengan kecenderungan
zaman, mulanya penulis bahas pelbagai kesalahkaprahan itu dalam kalimat pendek yang
ia unggah di linimasa media sosial Twitter pada 2014-2016 dan di Facebook mulai
akhir 2016. Ia menyebut unggahannya itu sebagai “celetuk”.
Celetuk penulis di
Facebook itulah yang kemudian dibukukan oleh Pusat Data dan Analisa Tempo
dengan tajuk Celetuk Bahasa: Mengungkap
100+ Salah Kaprah. Ivan Lanin, wikipediawan dan peneroka bahasa Indonesia
daring, menilai bahwa melalui penerbitan buku tersebut, pengetahuan kebahasaan
yang tadinya hanya dapat dinikmati oleh rekan dan pengikut penulis di media
sosial kini disusun dengan lebih sistematis dan dapat lebih luas tersebar.
Penulis membagi
bukunya dalam 8 pokok bahasan, yaitu: baku, ejaan, imbuhan, lesap, lewah,
makna, serapan, dan ilustrasi. Namun, itu bukanlah struktur penyusunan buku.
Celetuk tak dikelompokkan berdasarkan pokok bahasan itu. Layaknya gaya celetuk,
bahasan sengaja dibiarkan mengalir begitu saja, santai, dan bahkan tak jarang
dibumbui gurauan. Ini membuat pembaca lebih mudah memahami tanpa merasa digurui.
Dalam bahasan baku misalnya, penulis
menjelaskan bahwa pasangan “antara” adalah “dan”, bukan “dengan”. Agar mudah
diingat, ia mengajak pembaca untuk mengingat lagu Antara Anyer dan Jakarta atau Antara
Aku, Kau, dan Bekas Pacarmu. (hlm. 5)
Logika berbahasa
tak luput dari perhatian penulis. Ia mencontohkan, “Naik busway” itu keliru karena busway bukan bus melainkan jalur
bus. Contoh lain, pedestrian berarti pejalan kaki, jadi sungguh aneh kalau kita
mengatakan “berjalan di atas pedestrian”.
(hlm. 58)
Hal lain yang
jarang diketahui orang dan acap dibahas oleh penulis adalah pengaruh asal-usul
kata atau etimologi terhadap bentuk baku suatu kata. Misalnya, bentuk yang baku
itu “komplet” karena diserap dari bahasa Belanda, compleet (yang dilafalkan “komplèt”), bukan dari bahasa Inggris, complete (yang dilafalkan “komplit”).
(hlm. 150)
Kegemaran penulis
terhadap sepak bola kerap mewarnai celetuknya. Misalnya, saat menjelaskan
kelewahan berbahasa, ia mencontohkan, “Real
Madrid akan saling berhadapan dengan Atletico Madrid malam ini.” Kata saling dalam kalimat tersebut lewah
karena kata berhadapan telah
menunjukkan keberadaan dua pihak. (hlm. 141)
Melalui buku ini,
kita menginsafi bahwa dalam keseharian kita banyak kesalahkaprahan berbahasa
bertebaran, baik dalam ragam tulis maupun lisan. Hal itu menunjukkan bahwa keterampilan
kita dalam berbahasa secara baik dan benar masih rendah. Belum semua orang
memahami makna baik dan benar dalam berbahasa. Kecenderungan masyarakat,
terutama kaum muda, untuk mencampuradukkan kata dengan istilah asing semakin
memperumit persoalan.
Sebenarnya, bahasa
yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan situasi. Sebagai alat komunikasi, secara
pragmatis, bahasa harus berfungsi efektif dalam menyampaikan maksud kepada teman
bicara. Karenanya, kesesuaiaan ragam bahasa terpilih menjadi penting.
Dalam semua ragam
bahasa Indonesia, sebenarnya kata baku dan lafal baku adalah ciri bahasa baku yang
paling sulit. Dalam aras ini, 159 celetuk penulis yang dimuat di dalam buku ini
dapat menjadi pencerah yang mengasyikkan bagi pembaca.
Sebagai buku
bahasa, buku ini bukan berarti tanpa kesalahan. Di pagina 70 tersua contohnya,
“Sebagai ayah, saya kerap meneladani si
bungsu, Tapi, dalam beberapa hal, saya meneladan dia.” Penulisan tapi dalam contoh itu kurang tepat.
Mestinya, pilih “Sebagai ayah, saya kerap
meneladani si bungsu, tapi dalam beberapa hal, saya meneladan dia.” atau “Sebagai ayah, saya kerap meneladani si
bungsu. Namun, dalam beberapa hal, saya meneladan dia.”
Akhirnya, melalui buku
ini, penulis berhasil meyakinkan pembaca bahwa bahasa Indonesia sebenarnya
mudah dan menyenangkan dipelajari. Mungkin, benarlah kata pepatah, alah bisa
karena biasa. Jika bukan penuturnya, siapa lagi yang akan peduli terhadap
bahasa Indonesia?•fgs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar