Senin, 26 Maret 2018

Berjalanmu, Kepribadianmu?


SAMPEAN pernah memperhatikan cara sampean atau orang lain berjalan? Semasa sekolah dulu, kawan-kawan saya senang sekali memperhatikan orang lain berjalan. Lawan jenisnya, tentu saja. Kami menyebutnya sebagai objek estetik. Tak hanya memperhatikan, kawan-kawan juga senang menggoda. Contohnya, dengan berucap “kiri, kiri, kiri, kiri,” seperti aba-aba dalam baris-berbaris. Saya, meski tak ikut menggoda tapi membiarkan perbuatan itu terjadi, sama saja turut mendukungnya. Perilaku macam itu dapat masuk kategori kekerasan. Sekurang-kurangnya perundungan. Jangan ditiru. Lagipula, itu sama sekali berbeda dengan memperhatikan.

Sebenarnya, sejak lama sekali, orang mulai menaruh perhatian terhadap ciri fisik sebagai penanda kepribadian demi keselarasan hidup--termasuk dalam urusan asmara--dengan orang lain. Disusunlah kitab yang memuat ciri kepribadian itu oleh orang-orang tertentu berdasarkan ilmu titen, saya kira. Ilmu titen itu lebih kurang adalah sekumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui aktivitas mengamati dan mengingat sesuatu. Tentu saja dengan galat pemepatan yang tak terukur.

Dalam perkembangannya, ahli psikologi membahas tema itu dengan pendekatan yang “lebih ilmiah.” Misalnya, orang yang berjalan dengan menundukkan wajahnya, seperti saya,  dipercaya sebagai orang yang introver. Karakternya cenderung misterius. Terkesan cuek dan dingin. Namun, ia sebenarnya cukup dikagumi karena tak hanya kerap membuat orang penasaran, ia juga sosok yang hangat dan sangat setia. Psikolog Raimond B. Cattel, seperti dilansir oleh Kompas.com, mengatakan bahwa orang dengan gaya berjalan seperti itu banyak dipengaruhi oleh sistem saraf simpatetik.

Benarkah? Jika itu hanyalah kesan, tak mungkinkah ada penilaian lain dari orang dengan latar yang lain? Bagaimana dengan orang yang gayanya dibentuk sejak kecil, misalnya cenderung menunduk—bahkan membungkuk—demi sopan santun?

Zaman berubah cepat. Kini, manusia dapat berinteraksi di dunia maya dan menunjukkan dua karakter yang berbeda sama sekali. Di media sosial, seorang saleh yang dalam kesehariannya senantiasa menundukkan wajahnya saat berjalan ternyata kerap menulis kata-kata kotor. Di dunia nyata, orang yang menunjukkan kesalehan dan berasal dari partai berlatar agama kedapatan membuka video esek-esek di ruang sidang. Sebaliknya, orang yang gondrong, bertato—gaya yang pernah dilarang zaman Orde Baru—dan terkesan urakan, ternyata menunjukkan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan.

Omong-omong, beberapa hari yang lalu, saya membaca pesan dari seorang kawan bahwa Saut Situmorang—seorang penyair, esais, dan kurator sastra yang gondrong dan terkesan urakan—batal memberikan kuliah umum di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jember. Dalam pesan yang ia tulis di atas kereta Ranggajati,  Saut menyebutkan bahwa pembantu dekan III yang juga seorang dosen di Jurusan Ilmu Sejarah membatalkan agenda secara sepihak menyusul beredarnya isu bahwa Saut Situmorang adalah seorang PKI. Simpulan tersebut, sayangnya, hanya didasarkan pada foto lama Saut yang mengenakan kaos hitam bergambar palu arit saat ia menghadiri sebuah acara sastra internasional di Afrika Selatan dan Zimbabwe. Apakah ini telah sesuai standar etika akademik?

Menanggapi tuduhan itu, Saut menulis, “Sangat historis akademis ya betapa seorang Dosen Sejarah Universitas Negeri Jember, Jawa Timur menuduhku PKI padahal PKI sudah dimusnahkan tahun 1965 dan aku lahir di pertengahan 1966!” Ah, waktu dan kekuasaan memang ancaman bagi pengetahun, sikap kritis, dan ... ya, ingatan.

Saut tentu saja kecewa. Ia menulis di media sosial, “UNEJ = Universitas Ecek-Ecek Jember.” Saya kira, ia tidak sendiri.fgs



Tidak ada komentar:

Posting Komentar