Selasa, 26 Desember 2017

Catatan (Singkat) Pelatihan Perempuan Wirausaha

SEJAK akhir Februari 2017 hingga akhir Desember 2017, LSM kami melakukan serangkaian kegiatan di Tuban, Bojonegoro, dan Ngawi. Pada caturwulan terakhir 2017, kami memperluas jangkauan wilayah kegiatan hingga ke Lamongan dan Gresik.

Ada 3 kegiatan utama yang kami lakukan, yaitu rekrutmen agen, pelatihan agen, dan pelatihan perempuan wirausaha—kami menyebutnya sebagai training for female entrepreneur. Masing-masing saling berkaitan (boleh kita kategorikan sebagai tahapan) dan harus urut. Pelatihan perempuan wirausaha tak boleh mendahului pelatihan agen dan lebih-lebih rekrutmen agen.

Program kami kali ini memang cukup menarik dan menantang. Biasanya, program pelatihan didesain menggunakan pendekatan pemberdayaan berdasarkan dokumen hasil PRA dan lain-lain sebagai acuan awal. Anggota masyarakat diajak berembuk melalui kelompok kewilayahan (musyawarah RT/RW, musyawarah dusun, musyawarah desa, dan seterusnya), kelompok sosial-ekonomi (arisan, PKK, tahlilan, yasinan, dibaan, dan lain-lain), dan sebagainya. Mereka difasilitasi untuk merumuskan permasalahan yang mereka hadapi, alternatif solusi yang paling mungkin mereka tempuh, dan prioritas keduanya. Melalui pelbagai tahap itu, pelatihan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.




Program kami didesain—harus kami katakan demikian, karena kami tak dilibatkan dalam proses desain programnya—menggunakan pendekatan yang lain. Tak murni pemberdayaan. Ada penelitian sebagai salah satu aspek. Dengannya, kami tak leluasa berimprovisasi dalam melatih peserta.

Pelatih harus taat panduan. Hal ini ditempuh agar seluruh peserta mendapatkan perlakuan seragam: materi, durasi, interval, perhatian, dan lain-lain. Kami mengganggap kemampuan pelatih, waktu kegiatan, kondisi sosial-ekonomi, dan lain-lain seolah nihil meski sesungguhnya kami menyadari bahwa hal itu dapat berpengaruh. Kami juga menafikan perbedaan peserta berdasarkan tingkat pendidikan, status sosial-ekonomi, kepentingan, pengalaman, dan lain-lain. Pada akhirnya, hasil pelatihan tak menjadi demikian penting. Peserta tak harus paham materi, apalagi menerapkannya dalam hidup sehari-hari. Yang penting, prosesnya, yaitu pelatih menyampaikan materi tertentu—yang dicantumkan dalam modul—dalam waktu yang tertentu pula. Titik.

Awalnya, hal ini tentu menjadi masalah bagi pelatih. Sebagian besar pelatih memiliki latar pemberdayaan. Mereka mantan fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan. Sulit bagi mereka membiarkan peserta latih tak paham materi yang mereka sampaikan. Namun, melalui beberapa kali evaluasi, akhirnya mereka mulai membiasakan diri. Asal tahu saja, percayalah, sesungguhnya ini tak baik bagi mereka. 

Di Tuban, kami melatih 405 perempuan wirausaha yang berasal dari 72 desa. Idealnya, kami melatih 7 perempuan wirausaha di tiap desa. Namun, kenyataannya tak semua pelatihan dihadiri oleh perempuan wirausaha secara lengkap. Hanya 79,88% perempuan wirausaha yang menghadiri pelatihan awal. Mereka yang tak hadir memiliki alasan beragam, yaitu: 87,64% sibuk mengurus usaha, 3,37% sibuk mengurus keluarga, dan 8,99% alasan lainnya. Artinya, mereka memilih untuk mengurus usaha, keluarga, dan lainnya karena mereka tak merasa bahwa pelatihan adalah kebutuhan mereka; solusi atas persoalan yang mereka hadapi.

Dalam pelatihan awal, kami mengenalkan konsep tabungan dan pencatatan transaksi keuangan. Kami menyarankan pendapatan dibagi menjadi 3 pos utama, yaitu 60% untuk biaya hidup, 30% untuk membayar utang, dan 10% untuk tabungan.

Setelah pelatihan awal, kami masih memberikan 3 sesi pelatihan lanjutan tiap 14 hari. Kami menyebutnya sebagai Mentoring I, Mentoring II, dan Mentoring III. Apakah peserta mampu bertahan mengikuti sesi berikutnya? Persis, tidak. Hanya 72,35% peserta pelatihan awal yang bersedia melanjutkan sesi Mentoring I. Alasannya: 70,51% mengaku sibuk mengurus usaha, 8,97% sibuk mengurus keluarga, 3,85% mengaku kecewa karena tak diberi modal/kredit setelah pelatihan berakhir, 3,85% mengaku materi terlalu sulit, 3,85% alasan lainnya (seperti sakit, melahirkan, bepergian, dll.), 2,56% menganggap bahwa materi tak bermanfaat, 2,56% ikuti teman lainnya, 1,28% tidak dapat baca/tulis, 1,28% karena tak diizinkan oleh suami, dan 1,28% tak diberi uang saku. 

Sesi Mentoring II dan Mentoring III tentu lebih menggembirakan. Berdasarkan data per 4 Desember 2017, sesi ini diikuti oleh masing-masing 92,83% dan 93,01% dari peserta sesi sebelumnya. Data peserta relatif stabil di angka itu, sebab yang hadir pasti memiliki tujuan tertentu.

Patut dicatat dan diapresiasi, 253 perempuan wirausaha (62,47%) memilih bertahan mengikuti seluruh sesi pelatihan. Apa pun latar belakang yang menjadikan mereka demikian. Masih ingat Mbak Sri yang pernah saya ceritakan (di sini) sebelumnya? Ya, beliau adalah peserta pelatihan ini. Kami percaya bahwa di antara perempuan-perempuan yang bertahan itu pasti ada yang mempraktikkan ilmu yang mereka dapat dari pelatihan. Sama dengan yang Mbak Sri lakukan, mereka tekun menghitung anggaran rumah tangga agar lebih efisien, menambah jumlah tabungan, mencatat keuangan, dan merencanakan keuangan bersama keluarga.(fgs)




1 komentar:

  1. "Pada akhirnya, hasil pelatihan tak menjadi demikian penting. Peserta tak harus paham materi, apalagi menerapkannya dalam hidup sehari-hari. Yang penting, prosesnya, yaitu pelatih menyampaikan materi tertentu—yang dicantumkan dalam modul—dalam waktu yang tertentu pula. Titik." <<< ini mengingatkan pada kegiatan yang kemarin baru saja (dan akan segera) dilaksanakan.

    Yang penting terlaksana. Titik.

    Agak kecewa, karena ternyata tidak sesuai dengan harapan yang dipengin saat sebelum memulai kegiatan, supaya bisa lebih bermanfaat dari imi

    BalasHapus