SEJAK akhir
Februari 2017 hingga akhir Desember 2017, LSM kami melakukan serangkaian
kegiatan di Tuban, Bojonegoro, dan Ngawi. Pada caturwulan terakhir 2017, kami
memperluas jangkauan wilayah kegiatan hingga ke Lamongan dan Gresik.
Ada 3
kegiatan utama yang kami lakukan, yaitu rekrutmen agen, pelatihan agen, dan
pelatihan perempuan wirausaha—kami menyebutnya sebagai training for female entrepreneur. Masing-masing saling berkaitan (boleh
kita kategorikan sebagai tahapan) dan harus urut. Pelatihan perempuan wirausaha
tak boleh mendahului pelatihan agen dan lebih-lebih rekrutmen agen.
Program kami kali ini memang cukup
menarik dan menantang. Biasanya, program pelatihan didesain menggunakan pendekatan
pemberdayaan berdasarkan dokumen hasil PRA dan lain-lain sebagai acuan awal.
Anggota masyarakat diajak berembuk melalui kelompok kewilayahan (musyawarah
RT/RW, musyawarah dusun, musyawarah desa, dan seterusnya), kelompok
sosial-ekonomi (arisan, PKK, tahlilan, yasinan, dibaan, dan lain-lain), dan
sebagainya. Mereka difasilitasi untuk merumuskan permasalahan yang mereka
hadapi, alternatif solusi yang paling mungkin mereka tempuh, dan prioritas
keduanya. Melalui pelbagai tahap itu, pelatihan benar-benar sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Program kami didesain—harus kami
katakan demikian, karena kami tak dilibatkan dalam proses desain programnya—menggunakan
pendekatan yang lain. Tak murni pemberdayaan. Ada penelitian sebagai salah satu
aspek. Dengannya, kami tak leluasa berimprovisasi dalam melatih peserta.
Pelatih
harus taat panduan. Hal ini ditempuh agar seluruh peserta mendapatkan perlakuan
seragam: materi, durasi, interval, perhatian, dan lain-lain. Kami mengganggap
kemampuan pelatih, waktu kegiatan, kondisi sosial-ekonomi, dan lain-lain seolah
nihil meski sesungguhnya kami menyadari bahwa hal itu dapat berpengaruh. Kami
juga menafikan perbedaan peserta berdasarkan tingkat pendidikan, status sosial-ekonomi,
kepentingan, pengalaman, dan lain-lain. Pada akhirnya, hasil pelatihan tak
menjadi demikian penting. Peserta tak harus paham materi, apalagi menerapkannya
dalam hidup sehari-hari. Yang penting, prosesnya, yaitu pelatih menyampaikan
materi tertentu—yang dicantumkan dalam modul—dalam waktu yang tertentu pula.
Titik.
Awalnya, hal ini tentu menjadi
masalah bagi pelatih. Sebagian besar pelatih memiliki latar pemberdayaan.
Mereka mantan fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan. Sulit bagi mereka membiarkan
peserta latih tak paham materi yang mereka sampaikan. Namun, melalui beberapa
kali evaluasi, akhirnya mereka mulai membiasakan diri. Asal tahu saja, percayalah,
sesungguhnya ini tak baik bagi mereka.
Di Tuban, kami melatih 405 perempuan
wirausaha yang berasal dari 72 desa. Idealnya, kami melatih 7 perempuan
wirausaha di tiap desa. Namun, kenyataannya tak semua pelatihan dihadiri oleh perempuan
wirausaha secara lengkap. Hanya 79,88% perempuan wirausaha yang menghadiri
pelatihan awal. Mereka yang tak hadir memiliki alasan beragam, yaitu: 87,64%
sibuk mengurus usaha, 3,37% sibuk mengurus keluarga, dan 8,99% alasan lainnya. Artinya,
mereka memilih untuk mengurus usaha, keluarga, dan lainnya karena mereka tak merasa
bahwa pelatihan adalah kebutuhan mereka; solusi atas persoalan yang mereka
hadapi.
Dalam pelatihan awal, kami
mengenalkan konsep tabungan dan pencatatan transaksi keuangan. Kami menyarankan
pendapatan dibagi menjadi 3 pos utama, yaitu 60% untuk biaya hidup, 30% untuk membayar
utang, dan 10% untuk tabungan.
Setelah pelatihan awal, kami masih memberikan
3 sesi pelatihan lanjutan tiap 14 hari. Kami menyebutnya sebagai Mentoring I, Mentoring II, dan Mentoring
III. Apakah peserta mampu bertahan mengikuti sesi berikutnya? Persis,
tidak. Hanya 72,35% peserta pelatihan awal yang bersedia melanjutkan sesi Mentoring
I. Alasannya: 70,51% mengaku sibuk mengurus usaha, 8,97% sibuk mengurus
keluarga, 3,85% mengaku kecewa karena tak diberi modal/kredit setelah pelatihan
berakhir, 3,85% mengaku materi terlalu sulit, 3,85% alasan lainnya (seperti
sakit, melahirkan, bepergian, dll.), 2,56% menganggap bahwa materi tak bermanfaat,
2,56% ikuti teman lainnya, 1,28% tidak dapat baca/tulis, 1,28% karena tak
diizinkan oleh suami, dan 1,28% tak diberi uang saku.
Sesi Mentoring II dan Mentoring III
tentu lebih menggembirakan. Berdasarkan data per 4 Desember 2017, sesi ini
diikuti oleh masing-masing 92,83% dan 93,01% dari peserta sesi sebelumnya. Data
peserta relatif stabil di angka itu, sebab yang hadir pasti memiliki tujuan
tertentu.
Patut dicatat dan diapresiasi, 253
perempuan wirausaha (62,47%) memilih bertahan mengikuti seluruh sesi pelatihan.
Apa pun latar belakang yang menjadikan mereka demikian. Masih ingat Mbak Sri
yang pernah saya ceritakan (di sini) sebelumnya? Ya, beliau adalah peserta pelatihan ini.
Kami percaya bahwa di antara perempuan-perempuan yang bertahan itu pasti ada
yang mempraktikkan ilmu yang mereka dapat dari pelatihan. Sama dengan yang Mbak
Sri lakukan, mereka tekun menghitung anggaran rumah tangga agar lebih efisien, menambah
jumlah tabungan, mencatat keuangan, dan merencanakan keuangan bersama keluarga.(fgs)
"Pada akhirnya, hasil pelatihan tak menjadi demikian penting. Peserta tak harus paham materi, apalagi menerapkannya dalam hidup sehari-hari. Yang penting, prosesnya, yaitu pelatih menyampaikan materi tertentu—yang dicantumkan dalam modul—dalam waktu yang tertentu pula. Titik." <<< ini mengingatkan pada kegiatan yang kemarin baru saja (dan akan segera) dilaksanakan.
BalasHapusYang penting terlaksana. Titik.
Agak kecewa, karena ternyata tidak sesuai dengan harapan yang dipengin saat sebelum memulai kegiatan, supaya bisa lebih bermanfaat dari imi