Senin, 12 Juni 2017

Mencari Jalan Pintas Pemberdayaan Perempuan, Mungkinkah? [Resensi "Tiada Jalan Pintas" - Nicky May]




Data Buku
Judul: Tiada Jalan Pintas, Panduan untuk Pendamping Kelompok Perempuan
Penyunting: Nicky May & The Networkers
Penerbit: LKPSM, Yogyakarta
Cetakan: I, 1993
Ukuran: 16,5 × 23,6 cm
Tebal: vi + 206 hlm.




SETIAP pengalaman tak ada yang sia-sia. Rupanya, adagium itu yang mendorong Nicky May dan mitra kerjanya, The Networkers, menyunting buku bertajuk No Short Cuts A Starter Resource Book For Women’s Group Worker. Buku yang kemudian diterjemahkan oleh Tim LKPSM NU DIY dan diterbitkan pada 1993 dengan judul Tiada Jalan Pintas, Panduan untuk Pendamping Kelompok Perempuan itu sejatinya adalah catatan pengalaman relawan yang terlibat dengan kelompok-kelompok perempuan di Afrika.


"Perempuan belum menjadi subyek pembangunan di desanya. Mereka dilibatkan hanya sebatas formalitas belaka."

Dalam buku itu, May mengawali uraiannya dengan pertanyaan-pertanyaan kunci bagi relawan, pendamping, fasilitator, atau konsultan dalam mengelola program pemberdayaan perempuan khususnya di perdesaan. Melalui pertanyaan-pertanyaan itu, May berhasil merangsang pembacanya untuk memikirkan ulang tentang program yang sedang ia dampingi secara kritis. Lebih lanjut, sebagai jawabnya, May memberikan panduan praktis yang mudah dipahami dan diaplikasikan pada kelompok-kelompok perempuan lain. Maka, meski telah berumur lebih dari 2 dasawarsa, buku ini tetap relevan dalam fungsinya sebagai referensi komplementer.


Buku ini sesungguhnya May bagi menjadi 4 bagian pokok, yaitu: (1) peran pekerja lapangan dalam membantu kelompok perempuan, (2) pengorganisasian kelompok perempuan, (3) aktivitas kelompok perempuan, dan (4) sumber informasi untuk mendalami masalah lebih lanjut. Empat bagian pokok itu lalu dirinci menjadi 35 hal, di antaranya pendamping dan pelatihan, memilih aktivitas kelompok, tabungan dan pinjaman, pembiayaan, pemasaran, dan pendidikan.

Dalam salah satu bab—di halaman-halaman awal—disebutkan oleh May bahwa salah satu dari ciri utama peranan pekerja lapangan adalah membantu perempuan-perempuan untuk mandiri. Dia mengajukan pertanyaan menggugah, di antaranya: Apakah relevan jika perempuan ikut dalam sesi pelatihan? Apakah tidak lebih baik jika biaya pelatihan dibagikan saja kepada peserta? Mana yang lebih baik, kelompok berkembang secara alami atau yang pernah dilatih? Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa perempuan mesti diajak untuk merumuskan kebutuhan mereka atas suatu perlakuan pelatihan. Pendamping harus waspada terhadap suatu penyelenggaraan pelatihan yang hanya dilakukan demi kepentingan pelatihan itu sendiri atau yang lebih buruk lagi hanya untuk kepentingan donor saja. Memang, sesungguhnya pelatihan tak dengan serta-merta menjadi sesuatu yang baik bagi perempuan atau kelompok perempuan. (Hlm. 15)

Bagaimana pun, perempuan merupakan kekuatan potensial bagi suatu negara. Optimalisasi peran perempuan dalam aktivitas community development melalui pengelolaan kelompok-kelompok perempuan adalah pilihan tepat dan strategis. Seperti kata Presiden Tanzania Nyerere, “Jika Anda mendidik seorang laki-laki berarti Anda telah mendidik seorang person, tapi bila Anda mendidik seorang perempuan berarti Anda telah mendidik seluruh anggota keluarga.”

Sayangnya, meski kita meyakini bahwa pembangunan negara secara sangkil dan mangkus harus dimulai dari pinggiran, dari desa, program-program penanggulangan kemiskinan di perdesaan masih belum maksimal dalam memfasilitasi kelompok-kelompok perempuan. Perempuan belum menjadi subyek pembangunan di desanya. Mereka dilibatkan hanya sebatas formalitas belaka.

Maka, seperti dikatakan secara rendah hati oleh May dalam pengantar, buku ini sebenarnya disusun sebagai prasaran untuk memulai diskusi. Sama sekali bukan dimaksudkan sebagai kumpulan resep jitu yang siap pakai. Melalui buku ini, May justru mengajak relawan, pendamping, fasilitator, atau konsultan untuk berpikir ulang, mencari ide-ide baru yang lebih segar, menambah dan memperbarui isinya, serta tentu saja secara ikhlas pula berbagi pengalaman kepada lainnya. Bukankah itu mulia dan inti dari pemberdayaan yang sesungguhnya?●fgs



2 komentar:

  1. Gini katanya ndak bisa nulis resensi? Padahal tulisannya ini baguuus...

    Ayo ajari ^_^
    #SodorinBukuKesayangan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang nggak bisa nulis resensi kok. Kuajari hal lain saja ya. :P

      Hapus