“SAYA tak punya HP sendiri. Pakai HP anak saya,”
jawabnya ketika salah seorang dari kami menanyakan tentang kepemilikan telepon
seluler kepadanya. Tampaknya, dia tak terlalu ambil peduli soal gawai. Tak
seperti galibnya orang kekinian. Mungkin aktivitas kesehariannya memang tak
menuntutnya untuk memilikinya. Bahkan untuk yang berfitur terbatas. Sekadar
untuk telepon atau mengirim pesan pendek, maksud saya.
Begitulah. Kasri namanya. Dia biasa dipanggil Sri. Perbincangan
soal telepon seluler itu terjadi saat kami bertemu dengannya pada kali pertama.
Dia menemui kami di ruang tamu dengan memakai babydoll biru tua berbintik
putih. Ada gambar hello kitty di bagian depan. Dia irit bicara. Dia hanya
menjawab sekadarnya ketika kami bertanya. Bukan berarti tak ramah. Kesan saya,
dia canggung dan malu-malu.
Kemudian, saya tahu bahwa usia Kasri 36 tahun. Dia punya dua anak. Yang sulung, lelaki berusia sekira 17 tahun, sedangkan yang bungsu perempuan berusia kurang dari 5 tahun. Artinya, dulu Kasri telah menikah saat masih berusia 16 tahun atau boleh jadi malah kurang dari itu. Memang jamak terjadi di desa, anak perempuan lebih cepat dinikahkan oleh orang tuanya. Perempuan yang tak segera menikah segera saja menjadi buah tutur. Tapi, jangan tanya saya tentang cara Kasri bertemu pria yang kini jadi suaminya itu. Saya tak tahu. Bisa jadi ala Siti Nurbaya, bak kisah sinetron, atau seperti perempuan yang baru-baru ini dinikahi oleh anak ustaz berusia 17 tahun itu. Entahlah. Lagian, kepo amat!
Kembali menyoal Kasri. Selain bertani, sehari-hari suaminya membuat tempe, sedangkan Kasri membantu menjualnya. Tak hanya tempe, Kasri juga menjual sayur-mayur. Pagi-pagi dia kulak sayur ke pasar, pulang mengambil tempe yang telah dibuat oleh suaminya, kemudian menjajakan tempe dan sayur itu secara ider. Berkeliling desa. Katanya, sekira pukul 10.00 WIB dia telah sampai rumah.
Penghasilan Kasri dan suaminya lumayan. Rerata Rp50.000 per hari atau Rp353.000 per minggu. Itu baru dari jualan tempe dan sayur. Belum hasil dari bertani dan beternak sapi. Kasri memang merasa bahwa membeli dan kemudian memelihara sapi adalah pilihan tabungan yang pas baginya. Selain menabung melalui arisan PKK tentu saja. Kasri mengaku menabung Rp65.000 tiap minggu melalui kegiatan tersebut.
“Sekarang tabungannya tambah banyak, Pak,” kata Yulaikah sembari mendorong lengan Kasri. Kasri tertawa.
Kasri, Yulaikah, dan 2 perempuan lainnya—Juwariyah dan Kadarukmi—memang semakin akrab akhir-akhir ini. Mereka sama-sama menjadi peserta pelatihan pengelolaan keuangan yang diberikan oleh salah satu lembaga kemanusiaan lokal. Kasri mengaku, sejak membincangkan keuangan keluarga dengan suaminya, pengeluaran keluarganya lebih terkontrol. Dia bahkan berhasil memangkas biaya rokok suaminya. Semula, suaminya menghabiskan 1 bungkus rokok per hari atau 7 bungkus per minggu. Sekarang, pengeluaran untuk rokok hanya 2 bungkus per 3 hari atau 4 bungkus per minggu. Hemat 3 bungkus per minggu!
Sayangnya, saya lupa bertanya tentang merek rokok kesukaan suami Kasri. Katakanlah rokok suami Kasri itu seharga Rp10.000 per bungkus. Berarti, Kasri berhasil memangkas anggaran rokok Rp120.000 per bulan.
“Ditabung di rumah,” terang Kasri tentang uang pangkasannya itu.
Ah, sudah saya duga. Bagi Kasri, bentuk tabungan yang pas memang tak banyak. Dia bahkan mengaku belum pernah pergi ke bank. Kelopak matanya melebar dan bibirnya berkecumik saat kami tanya alasannya. Tetapi, tak satu kata pun keluar dari bibirnya. Mungkin dia merasa asing dengan bank.
Semula saya hendak bertanya kepadanya tentang kemungkinan menggunakan uang tabungan untuk membeli telepon seluler. Bukankah dia telah kami kenalkan dengan salah satu produk perbankan berbasis telepon seluler? Urung. Saya sangsi. Tampaknya, menambah jumlah sapi atau menyicil material—semen, keramik, apa pun—untuk menyelesaikan pembangunan rumahnya lebih masuk akal baginya. Saya masih ingat, sambil tersenyum malu-malu, dia pernah bilang, “Jelek (rumah saya), Pak. Belum dikeramik juga.”
Bagi perempuan macam Kasri memang perlu deret perlakuan yang lebih panjang untuk sampai pada tahap pemanfaatan tabungan berbasis telepon seluler. Tak cukup dengan meyakinkan bahwa jenis tabungan itu adalah solusi jitu.
“Ini Pak, coba-coba saya kerjakan. Belajar kelompok,” kata Kasri sambil menunjukkan buku kas yang telah terisi.
Memang ada satu-dua yang salah catat dan salah hitung dalam buku kas itu. Tak mengapa. Setidaknya ada perubahan pascapelatihan yang kami lakukan: efisiensi anggaran rumah tangga, penambahan jumlah tabungan, pencatatan keuangan, dan perencanaan keuangan bersama keluarga. Lumayan bukan? (fgs)
Suka sekali dengan paragraf yang ini >>>> "Bagi perempuan macam Kasri memang perlu deret perlakuan yang lebih panjang untuk sampai pada tahap pemanfaatan tabungan berbasis telepon seluler. Tak cukup dengan meyakinkan bahwa jenis tabungan itu adalah solusi jitu."
BalasHapusSuka sekali tulisan asal begini sampean baca sampai akhir. Hahaha.
Hapus