Minggu, 16 April 2017

Leky

ORA oleh mengidolakan uwong sakliyane kangjeng nabi. Murtad kuwi! Kapir!” kata kawan SD saya.

Romannya serius. Saya cengengesan.

Sergahnya, “Heh, iya, kuwi jare kiaiku.”

Saya mengangkat bahu. Tersenyum. “Ngajimu durung jangkep,” kata saya.

Hatinya panas. Ia mengejek, “Kapir, kapir, kapir…

Namanya anak-anak. Bisa tengkar, tapi sebentar kemudian berderai tawa dalam permainan. Tak ada jabat tangan. Tak ada kata maaf. Tapi mereka sama tahu bahwa mereka telah saling memaafkan, bahkan sebelum kejadian tak mengenakkan itu terjadi. Begitulah kepolosan yang mereka punya.

Saya maklum. Perdebatan dengan kawan saya terjadi tanpa rencana. Ini hanya soal pujaan. Pemeluk Islam mafhum bahwa kangjeng nabi manusia utama. Ini mutlak dalam aras iman. Seperti waktu kawan saya itu saya tanya tentang sebabnya. Ia berkeras, “Ya, pokoke kudu ngunu!” Ya, pokoknya. Begitulah yang hingga kini jamak dianggap sebagai iman. Lugas. Tanpa syarat. Bebas dari intervensi nalar. Meskipun yang terakhir itu disebut-sebut sebagai nikmat Tuhan yang dapat meningkatkan derajat iman.


Mulanya…
Saya tak hendak berpolemik soal iman kali ini. Saya hendak memperjelas tentang mula perdebatan itu. Guru kami bertanya, “Siapakah idola kalian?” Semua berebut jawab.

“Nabi!” jawab kawan yang tadi saya ceritakan.

Saya jawil. Ia salah sangka. Ia kira saya tak suka. Bagaimana bisa, bahkan dalam The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, Michael H. Hart pun menempatkan nabi di urutan pertama dari 100 tokoh yang paling memengaruhi sejarah.

Seingat saya, waktu itu saya akan menjawab tokoh Semar-Gareng-Petruk-Bagong sebagai idola. Urung. Itu tokoh khayali. Ndak wujud. Kawan-kawan saya pasti terbahak.

Lo, jangan ikut tertawa dulu. Sebenarnya punakawan sarat nilai filsafati. Baru-baru ini, Remy Sylado sampai-sampai menyebut mereka dalam Perempuan Bernama Arjuna. Berikut katanya.

Masing-masing peran berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti maknawi syiar tersebut, yaitu Semar dari mismar artinya paku, maksudnya Islam harus terpaku kokoh di bumi Jawa; Petruk dari kalimat fatruq kullu man siwallahi maksudnya haruslah menyebarkan agama Illahi; Gareng dari nala-gariin maksudnya Islam mencari teman; dan Bagong dari bagha maksudnya Islam menghindar dari kekafiran.

Nah, karakter serius bukan? Kepalang. Manusia berkembang mendewakan yang kasatmata.

Lalu, saya cerita kepada kawan saya. Ada anak-bapak yang baik untuk teladan. Mestinya, juga bisa jadi idola. Kawan saya mencibir dan terjadilah perdebatan itu.

Tapi baiklah, saya ceritakan saja soal anak-bapak itu kepada sidang pembaca. Begini ceritanya.

Waktu kecil, anak bungsu itu dipanggil Leky oleh papi-maminya. Begitu ia memanggil bapak-ibunya. Kebelandabelandaan. Ia memang anak bangsawan. Ndara tulen kata orang Jawa. Maka, atas nama kepantasan sosial, sejak lahir ia tak boleh sembarang bergaul.

Bapaknya, Raden Achmad Isnain Wirjowidjojo, adalah cucu Bupati Probolinggo R.T. Wirjowidjojo dari pihak bapak dan cucu Bupati Bondowoso K.R.T.A.A. Kertosoebroto dari pihak ibu. Leky kecil masih sempat menyaksikan orang laku dodok, berjalan jongkok, ketika berada halaman rumahnya. Ia juga menyaksikan penghormatan serupa ketika ia berlibur ke ndalem kakeknya di Jember, di barat alun-alun, di belakang kantor Telkom dan masjid lama. Saat itu ia belum sadar tatanan sosial.

Seperti kebanyakan keluarga bangsawan, ia tak dapat terlalu dekat dengan bapaknya. Cerita tentang bapaknya justru lebih banyak ia dapatkan dari orang lain. Sama juga dengan cerita tentang kakeknya. Khusus tentang kakeknya, Leky sulit menyaring cerita. Lebih banyak bumbu mitos kiranya. Bayangkan, ini kata orang, kakeknya pernah mencelakai kaki pencuri hanya dengan memotong jejak si pencuri dengan telunjuk. Ada lagi, tongkat kakeknya pernah membelah Kali Bedadung. He, jangan harap dapat bermain-main dengan tongkat sakti itu sekarang. Ia lenyap. Tapi kali ini bukan soal gaib. Ujung tongkat azimat itu telah dijadikan pemberat kail dan badan tongkatnya dibiarkan berserak bagai barang tak guna oleh suami Raden Rara Lestari Kumalarukmi, kakak perempuan Leky.

Itulah. Leky menghormat kakeknya, bapak kakeknya, dan seterusnya pada galibnya saja. Ia lebih mencinta bapaknya.

Kembali menyoal bapak Leky. Bapaknya adalah Kepala Pekerjaan Umum (PU). Seharusnya, bapaknya dapat memperoleh penghasilan lain sesuai jabatannya. Bukankah semua hal terkait pembangunan kota adalah wewenangnya? Itu dapat dimainkan, kata orang-orang. Tetapi tidak. Leky ingat betul. Suatu sore, seseorang mengantar peti uang dan sepeda motor gres. Leky menaiki sepeda motor itu.

“Putra Bapak senang rupanya,” kata orang itu kepada bapaknya.

Bapaknya bergeming. “Bawa kembali,” perintahnya.

Kata orang, bapaknya memang berhati lurus. Ia tak dapat dibeli. Keteguhan sikap yang sulit ditandingi oleh umumnya pejabat pada masa kini.

Leky tahu, hampir setiap malam bapaknya bekerja di depan meja gambar; mengoreksi pekerjaan stafnya. Leky juga tahu, setiap sore bapaknya berkeliling. Memeriksa langsung semua proyek pembangunan dengan membawa meteran dan tabung ukur. Jika ada yang salah, bapaknya tegas memerintah untuk bongkar.

Hari ini semua hafal moto KPK, berani jujur hebat!. Tapi Leky tahu secara meyakinkan, bapaknya telah puluhan tahun lalu menerapkannya.

Kata orang, bapaknya zakelijk. Ya, memang. Dan itu justru membuat Leky boleh berbangga.

Tetapi Leky segera kehilangan teladan saat ia masih SMP. Bapaknya mati muda.

Lambat laun, Leky insaf akan perubahan sosial. Lalu, saat menjadi mahasiswa ekonomi di Malang, ia menanggalkan gelar kebangsawanannya. Sangat mungkin itu bukan pemikirannya yang orisinal. Ia terpengaruh bacaan dan zamannya.

Setelah beberapa tahun mengabdikan diri sebagai guru di Sekolah Perkebunan Menengah Atas (SPbMA) Blitar dan sekaligus wakil kepala sekolah, Leky mengajukan diri menjadi pegawai kecamatan di Situbondo. Itu terjadi pada 1985. Saat itu anaknya baru dua, laki-perempuan, dan istrinya sedang hamil.

Menjadi birokrat tak sertamerta membuat Leky tunduk. Leky mewarisi idealisme bapaknya. Ia menolak bungkam ketika menyaksikan ketertindasan. Seperti saat ia membela para petani tebu. Ketika itu ada kunjungan tim penilik dari pusat. Demi menyenangkan sang bapak yang jauh-jauh datang dari pusat itu, atasan Leky memerintahkan menyulap ladang tebu yang rusak. Targetnya, tebu tampak kembali cantik dan berdiri rapi. Maka, batang-batang tebu baru ditanam satu-dua jam menjelang kunjungan.

Singkat cerita, tim penilik pun tersenyum lebar dan berangguk-angguk. Mereka membayangkan kesuksesan pembangunan di sektor pertanian.

“Mari ikut saya,” kata Leky tiba-tiba seraya menyibak tebu-tebu yang keruan tumbang. Ia mengajak tim meninjau ke tengah ladang.

Tim kegerahan. Mereka kehilangan senyuman. Tak pelak, merah padam atasan Leky dibuatnya.

Maka, birokrasi tak tinggal diam. Beberapa kali Leky dipanggil dan mendapat teguran karena dianggap melawan atasan. Birokrasi memang punya tata dan cara sendiri. Lebih-lebih, itu terjadi dalam orde pemerintahan yang sering dinilai antikritik. Orde yang memaklumkan bahwa senyum pimpinan tak selalu berarti keberterimaan. Mau bagaimana lagi, Leky kadung tumbuh dengan mewarisi idealisme bapaknya. Seperti Gatotkaca yang mewarisi karakter Bima.

Tetapi Leky tak mewariskan kelugasan kepada anaknya seperti Bima mewariskannya kepada Gatotkaca. Entahlah. Bagaimana pun ia Jawa. Polah tingkah Bima yang tak pernah berbahasa halus dan bersembah kepada siapa pun kecuali kepada Dewa Ruci dianggapnya kurang Jawa. Mungkin lebih tepatnya adalah kurang mriyayeni. Sehingga, ia tetap berpesan kepada anaknya, “Kau boleh pintar dan menguasai ilmu setinggi langit. Tapi, Kau harus tetap njawani.”

Siapa pun harus menghormati hidup dan kehidupan. Melakoninya dengan menghayati asal dan tujuan adanya. Maka tak elok siapa pun berlaku adigang, adigung, adiguna. Itu semua juga filosofi Jawa, ajar Leky kepada anaknya.


Eh, sudah. Begitu saja ceritanya. Saya telah cukup banyak melantur.

Sebenarnya, saya kembali ingat soal idola itu setelah kawan saya, R.Z. Hakim, dan istrinya mengundang kawan-kawan Makgradak dan blogger umumnya untuk membincang, dan juga mendefinisikan ulang saya kira, tentang sosok patriot. Mereka membingkai perbincangan literer itu dengan tajuk Syukuran di Bulan Maret: Sang Patriot di Kehidupan Kami.

Patriot, kata istri R.Z. Hakim, “tak melulu diidentikkan dengan perang yang berdarah-darah … Bisa melalui tulisan, foto, lirik lagu, dsb.” Dengannya, sang patriot sangat mungkin tampil dengan wajah yang semadyanya. Ya, seperti umumnya manusia yang kisahnya bisa saja liris.

Begini saja, mestinya Leky bukan saja idola saya, tapi ia juga patriot dalam kehidupan saya. Dan seperti akhir perdebatan dulu itu, masa bodoh dengan comelan kawan yang tadi saya ceritakan. “Huh, masak mengidolakan bapak sendiri?!”•fgs




*Artikel ini pernah diikutsertakan dalam Syukuran di Bulan Maret: Sang Patriot di Kehidupan Kami dan dipublikasikan di https://makgradak.wordpress.com/2014/03/26/leky/ pada 26 Maret 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar