“ORA oleh mengidolakan uwong sakliyane kangjeng
nabi. Murtad kuwi! Kapir!” kata kawan SD saya.
Romannya serius. Saya
cengengesan.
Sergahnya, “Heh, iya,
kuwi jare kiaiku.”
Saya mengangkat bahu.
Tersenyum. “Ngajimu durung jangkep,” kata saya.
Hatinya panas. Ia
mengejek, “Kapir, kapir, kapir…”
Namanya anak-anak. Bisa
tengkar, tapi sebentar kemudian berderai tawa dalam permainan. Tak ada jabat
tangan. Tak ada kata maaf. Tapi mereka sama tahu bahwa mereka telah saling
memaafkan, bahkan sebelum kejadian tak mengenakkan itu terjadi. Begitulah
kepolosan yang mereka punya.
Saya maklum. Perdebatan
dengan kawan saya terjadi tanpa rencana. Ini hanya soal pujaan. Pemeluk Islam
mafhum bahwa kangjeng nabi manusia utama. Ini mutlak dalam aras iman. Seperti
waktu kawan saya itu saya tanya tentang sebabnya. Ia berkeras, “Ya, pokoke
kudu ngunu!” Ya, pokoknya. Begitulah yang hingga kini jamak dianggap sebagai
iman. Lugas. Tanpa syarat. Bebas dari intervensi nalar. Meskipun yang terakhir
itu disebut-sebut sebagai nikmat Tuhan yang dapat meningkatkan derajat iman.
Mulanya…
Saya tak hendak
berpolemik soal iman kali ini. Saya hendak memperjelas tentang mula perdebatan
itu. Guru kami bertanya, “Siapakah
idola kalian?” Semua berebut jawab.
“Nabi!” jawab kawan yang tadi saya ceritakan.
Saya jawil. Ia salah
sangka. Ia kira saya tak suka. Bagaimana bisa, bahkan dalam The 100: A
Ranking of the Most Influential Persons in History, Michael H. Hart pun
menempatkan nabi di urutan pertama dari 100 tokoh yang paling memengaruhi
sejarah.
Seingat saya, waktu itu
saya akan menjawab tokoh Semar-Gareng-Petruk-Bagong sebagai idola. Urung. Itu
tokoh khayali. Ndak wujud. Kawan-kawan saya pasti terbahak.
Lo, jangan ikut tertawa
dulu. Sebenarnya punakawan sarat nilai filsafati. Baru-baru ini, Remy Sylado
sampai-sampai menyebut mereka dalam Perempuan Bernama Arjuna.
Berikut katanya.
Masing-masing peran berasal dari bahasa Arab yang mengandung
arti maknawi syiar tersebut, yaitu Semar dari mismar artinya
paku, maksudnya Islam harus terpaku kokoh di bumi Jawa; Petruk dari
kalimat fatruq kullu man siwallahi maksudnya haruslah
menyebarkan agama Illahi; Gareng dari nala-gariin maksudnya
Islam mencari teman; dan Bagong dari bagha maksudnya Islam
menghindar dari kekafiran.
Nah, karakter serius
bukan? Kepalang. Manusia berkembang mendewakan yang kasatmata.
Lalu, saya cerita kepada
kawan saya. Ada anak-bapak yang baik untuk teladan. Mestinya, juga bisa jadi
idola. Kawan saya mencibir dan terjadilah perdebatan itu.
Tapi baiklah, saya
ceritakan saja soal anak-bapak itu kepada sidang pembaca. Begini ceritanya.
Waktu kecil, anak bungsu
itu dipanggil Leky oleh papi-maminya. Begitu ia memanggil bapak-ibunya.
Kebelandabelandaan. Ia memang anak bangsawan. Ndara tulen kata
orang Jawa. Maka, atas nama kepantasan sosial, sejak lahir ia tak boleh
sembarang bergaul.
Bapaknya, Raden Achmad
Isnain Wirjowidjojo, adalah cucu Bupati Probolinggo R.T. Wirjowidjojo dari
pihak bapak dan cucu Bupati Bondowoso K.R.T.A.A. Kertosoebroto dari pihak ibu.
Leky kecil masih sempat menyaksikan orang laku dodok, berjalan
jongkok, ketika berada halaman rumahnya. Ia juga menyaksikan penghormatan
serupa ketika ia berlibur ke ndalem kakeknya di Jember, di
barat alun-alun, di belakang kantor Telkom dan masjid lama. Saat itu ia belum
sadar tatanan sosial.
Seperti kebanyakan
keluarga bangsawan, ia tak dapat terlalu dekat dengan bapaknya. Cerita tentang
bapaknya justru lebih banyak ia dapatkan dari orang lain. Sama juga dengan
cerita tentang kakeknya. Khusus tentang kakeknya, Leky sulit menyaring cerita.
Lebih banyak bumbu mitos kiranya. Bayangkan, ini kata orang, kakeknya pernah
mencelakai kaki pencuri hanya dengan memotong jejak si pencuri dengan telunjuk.
Ada lagi, tongkat kakeknya pernah membelah Kali Bedadung. He, jangan harap
dapat bermain-main dengan tongkat sakti itu sekarang. Ia lenyap. Tapi kali ini
bukan soal gaib. Ujung tongkat azimat itu telah dijadikan pemberat kail dan
badan tongkatnya dibiarkan berserak bagai barang tak guna oleh suami Raden Rara
Lestari Kumalarukmi, kakak perempuan Leky.
Itulah. Leky menghormat
kakeknya, bapak kakeknya, dan seterusnya pada galibnya saja. Ia lebih mencinta
bapaknya.
Kembali menyoal bapak
Leky. Bapaknya adalah Kepala Pekerjaan Umum (PU). Seharusnya, bapaknya dapat
memperoleh penghasilan lain sesuai jabatannya. Bukankah semua hal terkait
pembangunan kota adalah wewenangnya? Itu dapat dimainkan, kata orang-orang.
Tetapi tidak. Leky ingat betul. Suatu sore, seseorang mengantar peti uang dan
sepeda motor gres. Leky menaiki sepeda motor itu.
“Putra Bapak senang rupanya,” kata orang itu kepada bapaknya.
Bapaknya bergeming. “Bawa kembali,” perintahnya.
Kata orang, bapaknya
memang berhati lurus. Ia tak dapat dibeli. Keteguhan sikap yang sulit
ditandingi oleh umumnya pejabat pada masa kini.
Leky tahu, hampir setiap
malam bapaknya bekerja di depan meja gambar; mengoreksi pekerjaan stafnya. Leky
juga tahu, setiap sore bapaknya berkeliling. Memeriksa langsung semua proyek
pembangunan dengan membawa meteran dan tabung ukur. Jika ada yang salah,
bapaknya tegas memerintah untuk bongkar.
Hari ini semua hafal moto
KPK, berani jujur hebat!. Tapi Leky tahu secara meyakinkan,
bapaknya telah puluhan tahun lalu menerapkannya.
Kata orang,
bapaknya zakelijk. Ya, memang. Dan itu justru membuat Leky boleh
berbangga.
Tetapi Leky segera
kehilangan teladan saat ia masih SMP. Bapaknya mati muda.
Lambat laun, Leky insaf
akan perubahan sosial. Lalu, saat menjadi mahasiswa ekonomi di Malang, ia
menanggalkan gelar kebangsawanannya. Sangat mungkin itu bukan pemikirannya yang
orisinal. Ia terpengaruh bacaan dan zamannya.
Setelah beberapa tahun
mengabdikan diri sebagai guru di Sekolah Perkebunan Menengah Atas (SPbMA)
Blitar dan sekaligus wakil kepala sekolah, Leky mengajukan diri menjadi pegawai
kecamatan di Situbondo. Itu terjadi pada 1985. Saat itu anaknya baru dua,
laki-perempuan, dan istrinya sedang hamil.
Menjadi birokrat tak
sertamerta membuat Leky tunduk. Leky mewarisi idealisme bapaknya. Ia menolak
bungkam ketika menyaksikan ketertindasan. Seperti saat ia membela para petani
tebu. Ketika itu ada kunjungan tim penilik dari pusat. Demi menyenangkan sang
bapak yang jauh-jauh datang dari pusat itu, atasan Leky memerintahkan menyulap
ladang tebu yang rusak. Targetnya, tebu tampak kembali cantik dan berdiri rapi.
Maka, batang-batang tebu baru ditanam satu-dua jam menjelang kunjungan.
Singkat cerita, tim
penilik pun tersenyum lebar dan berangguk-angguk. Mereka membayangkan kesuksesan
pembangunan di sektor pertanian.
“Mari ikut saya,” kata Leky tiba-tiba seraya menyibak tebu-tebu
yang keruan tumbang. Ia mengajak tim meninjau ke tengah ladang.
Tim kegerahan. Mereka
kehilangan senyuman. Tak pelak, merah padam atasan Leky dibuatnya.
Maka, birokrasi tak
tinggal diam. Beberapa kali Leky dipanggil dan mendapat teguran karena dianggap
melawan atasan. Birokrasi memang punya tata dan cara sendiri. Lebih-lebih, itu
terjadi dalam orde pemerintahan yang sering dinilai antikritik. Orde yang memaklumkan
bahwa senyum pimpinan tak selalu berarti keberterimaan. Mau bagaimana lagi,
Leky kadung tumbuh dengan mewarisi idealisme bapaknya. Seperti Gatotkaca yang
mewarisi karakter Bima.
Tetapi Leky tak
mewariskan kelugasan kepada anaknya seperti Bima mewariskannya kepada
Gatotkaca. Entahlah. Bagaimana pun ia Jawa. Polah tingkah Bima yang tak pernah
berbahasa halus dan bersembah kepada siapa pun kecuali kepada Dewa Ruci
dianggapnya kurang Jawa. Mungkin lebih tepatnya adalah kurang mriyayeni.
Sehingga, ia tetap berpesan kepada anaknya, “Kau boleh pintar dan menguasai ilmu setinggi langit. Tapi, Kau harus
tetap njawani.”
Siapa pun harus
menghormati hidup dan kehidupan. Melakoninya dengan menghayati asal dan tujuan
adanya. Maka tak elok siapa pun berlaku adigang, adigung, adiguna. Itu semua
juga filosofi Jawa, ajar Leky kepada anaknya.
…
Eh, sudah. Begitu saja
ceritanya. Saya telah cukup banyak melantur.
Sebenarnya, saya kembali
ingat soal idola itu setelah kawan saya, R.Z. Hakim, dan istrinya mengundang
kawan-kawan Makgradak dan blogger umumnya untuk membincang,
dan juga mendefinisikan ulang saya kira, tentang sosok patriot. Mereka
membingkai perbincangan literer itu dengan tajuk Syukuran di Bulan
Maret: Sang Patriot di Kehidupan Kami.
Patriot, kata istri R.Z.
Hakim, “tak melulu diidentikkan dengan perang yang berdarah-darah … Bisa
melalui tulisan, foto, lirik lagu, dsb.” Dengannya, sang patriot sangat
mungkin tampil dengan wajah yang semadyanya. Ya, seperti umumnya manusia yang
kisahnya bisa saja liris.
Begini saja, mestinya
Leky bukan saja idola saya, tapi ia juga patriot dalam kehidupan saya. Dan
seperti akhir perdebatan dulu itu, masa bodoh dengan comelan kawan yang tadi
saya ceritakan. “Huh, masak
mengidolakan bapak sendiri?!”•fgs
*Artikel
ini pernah diikutsertakan dalam Syukuran di Bulan Maret: Sang
Patriot di Kehidupan Kami dan dipublikasikan di https://makgradak.wordpress.com/2014/03/26/leky/ pada 26 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar