Data Buku
Judul: Sang Patriot
Penulis: Irma Devita
Penyunting: Agus Hadiyono
Penerbit: Inti Dinamika Publisher
Cetakan: I,
Februari 2014
Ukuran: 13
× 20,5 cm
Tebal: 280 hlm.
ISBN: 978-602-14969-0-9
ISBN: 978-602-14969-0-9
“Mbah,
Irma janji, suatu saat kelak Irma akan menuliskan cerita tentang Mbah Kakung…”.
Begitulah janji Irma Devita kepada Rukmini, neneknya. Meskipun waktu itu, dia
tak tahu caranya. Dia masih belia. Tapi, tujuannya mulia. Irma berharap bahwa
dengannya perjuangan kakeknya, mbah kakung-nya
dalam bahasa Jawa, dapat dikenang. Generasi kini dan mendatang beroleh warisan
keteladanan.
Rupanya Irma tak lupa. Novel Sang Patriot adalah wujud pemenuhan atas janjinya itu. Menurut pengakuannya, novel tersebut ditulis berdasarkan kisah nyata dan telah melalui riset yang cukup panjang (hlm. ix). Irma tak menjelaskan lebih lanjut. Tetapi beruntung, istri kawan saya, R.Z. Hakim, membuka cerita. Sebelum menulis novel, Irma telah menelusuri data-data lama dan mewawancarai banyak orang. Di antaranya, Lettu Suroso, dr. Halim Danuatmodjo, Letjen Purbo S. Suwondo, dan Mayjen (Purn) Suhario Padmowirjono. Masih banyak yang belum dia sebut.
Rupanya Irma tak lupa. Novel Sang Patriot adalah wujud pemenuhan atas janjinya itu. Menurut pengakuannya, novel tersebut ditulis berdasarkan kisah nyata dan telah melalui riset yang cukup panjang (hlm. ix). Irma tak menjelaskan lebih lanjut. Tetapi beruntung, istri kawan saya, R.Z. Hakim, membuka cerita. Sebelum menulis novel, Irma telah menelusuri data-data lama dan mewawancarai banyak orang. Di antaranya, Lettu Suroso, dr. Halim Danuatmodjo, Letjen Purbo S. Suwondo, dan Mayjen (Purn) Suhario Padmowirjono. Masih banyak yang belum dia sebut.
Irma sengaja menuliskan cerita kepahlawanan kakeknya, Letkol.
Mochammad Sroedji, dalam bentuk novel. Sebuah pilihan jitu, saya kira. Novel
lebih menjanjikan keluwesan bertutur dibandingkan disiplin sejarah. Jauh dari
kesan berat karena sarat angka dan fakta. Selain itu, dewasa ini novel sejarah
kembali mendapatkan tempatnya di dunia sastra. Banyak yang meminatinya.
Dalam novel Sang Patriot ini, Irma Devita berhasil secara lugas
dan juga ringan menceritakan sisi-sisi lain perang kemerdekaan Indonesia pada
1942-1949. Dia membagi novel yang terdiri atas 252 halaman pokok ini menjadi 24
Bab. Beberapa bab dia bagi lagi dalam beberapa subbab. Menariknya, sebagian
besar judul subbab tersebut berupa keterangan tempat dan waktu. Misalnya, Kampung
Kauman, Gurah – Kediri, 1923 (hlm.
3) dan Karang Kedawung, 8 Februari
1949 (hlm. 233).
Judul berangka tahun itu segera membuat saya menduga bahwa novel
ini ditulis menggunakan alur maju. Urut sesuai pembabakan waktu. Nyatanya, saya
salah. Novel ini menggunakan alur campuran. Prolognya bertutur tentang jasad
Sroedji yang terbujur kaku. Itu terjadi pada Februari 1949. Lalu, pembaca
diajak mundur ke tahun 1923. Di Kauman, Gurah, Kediri, tepatnya. Tempat Hasan
dan Amni, orang tua Sroedji, hidup setelah meninggalkan Bangkalan, Madura. Saat
itu, Sroedji sekira 8 tahun umurnya.
Selanjutnya, Irma menceritakan soal Sroedji yang semangat
sekolah. Boleh dibilang terlalu semangat malah. Kesan ini menguat karena Irma
sampai berulang kali menyebutnya. Setidaknya di halaman 10, 11, 12, dan 14. Dan
Sroedji memang akhirnya berhasil mengenyam pendidikan di sekolah berbahasa
pengantar Belanda. Hingga kemudian, Sroedji berhasil lulus dan menjabat sebagai
mantri malaria di RSU Kreongan. Sroedji kemudian menikahi Rukmini, putri
priayi, dan mempunyai putra dan putri.
Saat Jepang membentuk PETA, Sroedji dan kebanyakan mantan
anggota Hizbul Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah, bergabung. Mereka
menjadi perwira terlatih. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Sroedji dan
perwira-perwira lain segera bergabung menjadi tentara republik dan gencar
bergerilya. Badan Keamanan Rakyat (BKR), namanya. Cikal bakal TNI sekarang.
Pada aras ini, Irma berhasil menggambarkan perang secara detail.
Pembaca dibuat hanyut dengan kepiawaiannya bertutur. Cerita memang belum usai.
Dikisahkan, Sroedji dan pasukannya memenangkan pertempuran demi pertempuran.
Irma mengisahkan juga soal pertempuran di Surabaya pada November 1945 dan
tragedi gerbong maut.
Kemenangan pasukan Sroedji disebabkan setidaknya oleh
kepemimpinan Sroedji dan semangat juang pasukan. Sroedji selalu dapat
menyemangati pasukannya. Ia tak menampilkan diri sebagai pemimpin yang gila
hormat. Ia hadir di tengah pasukan. Ia duduk bersama para prajurit, mendengar
keluh mereka, lalu menyuntikkan semangat untuk menang (misal, hlm. 210). Tak
ada kesan eksklusif. Biasa saja. Saat sakit pun, Sroedji berkeras untuk
memimpin pasukan (hlm. 220-224). Ia berada di garis depan. Pada aras ini,
mestinya pemimpin, juga semua saja, dapat berkaca.
Tapi, mata-mata. Ya, mata-mata. Dari bangsa sendiri pula. Irma
beberapa kali menyinggungnya. Di antaranya di halaman 161-163, 196-197, 210,
dan 251. Itu yang membuat Sroedji, Komandan Brigade III Devisi I, dan pasukan
elitnya terjebak. Ia dan sahabatnya, Letkol. dr. R.M. Soebandi, juga hampir
seluruh pasukannya gugur dalam pertempuran di Karang Kedawung pada 8 Februari
1949.
Saya tak mengira, sesekali Irma masih dapat menyisipkan bahasa
puitis, nyastra. Baca di
halaman 104 sebagai contohnya. Irma membuka cerita dengan: “Kodok riuh memperdengarkan
nyanyian, saling bersahutan seolah merayakan pesta kemenangan. Anak jangkrik
dan induknya tidak kalah seru menimpali senja yang syahdu.” Ini
tentu menggugurkan anggapan sebagian orang bahwa memasukkan unsur realitas ke
dalam karya sastra menjadikan karya tersebut kering. Saya setuju dengan
Pramoedya Ananta Toer, salah satu pengusung realisme sosial dalam sastra.
Menurutnya, keindahan karya sastra bukan terletak pada kemampuan pengarang
dalam mengutakatik bahasa, melainkan aspek kemanusiaannya.
Irma juga pandai mengaduk-aduk emosi pembaca. Beberapa bagian
dalam novelnya ini bahkan mampu membuat mata berembun. Misalnya, saat Rukmini
membohongi putranya yang sakit dan ingin makan nasi putih. Juga saat Rukmini
menyaksikan sendiri pusara suaminya (hlm. 250).
Dan, seperti telah saya sampaikan, dalam novel ini, Irma tak
hanya menyuguhkan detail perang. Sisi lain perang dia tulis secara sangat apik.
Saya menyebut sisi lain perang untuk semua hal kecuali perang itu sendiri.
Novel ini kaya nilai, atau setidaknya informasi, tentang peradaban, perjuangan,
persahabatan, kesetiaan, keberagamaan, nasionalisme, dan juga percintaan.
Masing-masing sebenarnya menarik untuk dikaji lebih lanjut, seperti dalam
novel-novel sejarah karya pendahulunya: Pramoedya Ananta Toer, Y.B.
Mangunwijaya, dan Remy Sylado.
Soal gender, misalnya. Oleh Irma, pembaca novel ini diajak
memahami situasi saat itu dengan cerita soal ketakmampuan Rukmini melawan
budaya. Perempuan tak perlu sekolah tinggi. Toh dia hanya ada di ruang privat;
kasur, sumur, dan dapur; bukan publik. Perempuan yang terlalu pintar akan
menakutkan bagi suami. Perempuan macam ini dikhawatirkan sulit jodoh dan
karenanya mempermalukan orang tua. Maka, cita-cita Rukmini untuk meraih gelar
sarjana hukum pun harus kandas. “Sayang
sekali dia perempuan. … Seandainya dia laki-laki, tentunya akan kusekolahkan
setinggi mungkin,” sesal bapak Rukmini. Bagaimana lagi, ia juga tak
kuasa menghadapi budaya (hlm. 23, 26-27).
Tetapi, perempuan mestinya memang harus pintar. Berikutnya,
hubungan suami-istri bukan berdasar relasi kuasa, melainkan kesetaraan.
Perempuan yang pintar dan terdidik menentukan sintasitas keluarga dalam
menghadapi hidup yang tak tentu. Soal itu disampaikan Irma melalui cerita
kecerdasan Rukmini. Sebagai istri, Rukmini adalah teman diskusi suaminya. Dalam
kondisi serbasulit, dialah yang justru memiliki peran dominan. Sroedji yang
tengah berjuang tak dapat selalu mendampinginya. Beberapa kali Rukmini terpaksa
menjual perabot dan kainnya. Pada tahun-tahun sebelum masa sulit, Rukmini
memang telah berpikir bahwa kain pun dapat bernilai investasi. Tentu saja
dengan motif tertentu (hlm. 24-25).
Sisi religiositas dalam novel ini juga tak kalah menarik. Irma
berkisah bahwa Sroedji, Rukmini, juga bapak-ibu mereka adalah penganut Islam
yang taat. Rukmini rajin mendoa. Sroedji juga. Bahkan dalam keadaan perang,
Sroedji tak lupa salat (hlm. 219). Tentang Sroedji, orang tuanya memang telah
memberikan dasar keagamaan yang cukup. Semasa kecil, Sroedji belajar mengaji
kepada Kiai Dullah, pemuka agama lulusan Perguruan Muhammadiyah asuhan K.H.
Ahmad Dahlan.
Dari Kiai Dullah pula, Sroedji belajar soal perjuangan dan cinta
tanah air. Kiai Dullah selalu menanamkan nilai-nilai itu melalui cerita tentang
Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Agung, Umar bin Khattab, dan lainnya. Ini
mengingatkan kita kepada peran Kiai Mojo dalam Perang Diponegoro. Dan berhasil.
Sroedji terinspirasi. Dalam permainan perang-perangan, Sroedji kecil selalu
memerankan Diponegoro. “Dor!
Dor! Kena! Mati kamu Belanda!” teriaknya (hlm. 5-6). Sikap
antipenjajahan, semangat juang, dan jiwa kepemimpinan ini terbawa hingga Sroedji
dewasa.
Semangat antipenjajahan juga memengaruhi sikapnya dalam hal
berbahasa. Sroedji berpesan kepada istrinya agar semua putra-putri mereka tak
menggunakan bahasa Belanda. Kata Sroedji, “Kita
hidup di tanah Jawa, Bu … Anak kita harus diajari bicara bahasa Jawa untuk
komunikasi sehari-hari, bukan bahasa penjajah, dan bukan juga bahasa Madura… (hlm. 35)“
Mungkin karena itu, dalam novel ini banyak dialog berbahasa
Jawa. Hanya ada satu dialog berbahasa Madura, saat Rukmini menolak menikah, dan
itu pun kurang tepat. Disampaikan oleh Rukmini, “Nyoon saporah, Pak. Delem ta poron abineh…
(hlm. 26)” Abineh berarti beristri. Mestinya, tokoh
Rukmini dalam novel ini menggunakan kata a lakeh atau lebih tepat lagi a
rakah dalam kalimat
penolakannya itu.
Saat menceritakan perlawanan Rukmini yang dikira Cina oleh
teman-temannya, sebenarnya Irma dapat menggunakan dialog berbahasa Madura (hlm.
129). Toh, di halaman berikutnya, Irma menjelaskan bahwa teman-teman dibuat
yakin bahwa Rukmini bukanlah Cina seperti sangkaan mereka setelah Rukmini
membentak mereka menggunakan bahasa Madura dengan dialek lokal yang kental.
Mungkin saja, Irma lebih menguasai bahasa Jawa daripada bahasa Madura.
Namun, dalam dialog berbahasa Jawa, ada salah tulis sedikit.
Pertama, kerancuan dalam menulis d dan dh. Soebandi
selalu dipanggil Ndhi atau Bandhi (misalnya, hlm. 89), kecuali di
halaman 220. Kudu tertulis khudhu (hlm. 79). Kedua, penulisan a dan o juga banyak tertukar. Misalnya, masak
dijarna ae tertulis mosok
dijarno ae (hlm. 75).
Dalam bahasa Jawa, a dan o harus tepat penggunaannya. Salah-salah
bisa berbeda makna. Contoh, lara (sakit) dan loro (dua). Pelafalan a seperti o dalam kata topi,
sedangkan o sendiri dilafalkan seperti menyebut
kata bola. Tapi, ini hampir merupakan
kesalahan umum, saya kira. Bukan hanya Irma.
Selain soal itu, salah ketik, salah ejaan, lompatan narasi,
salah logika, dan salah kata adalah beberapa kekurangan lain dalam novel ini.
Banyak kata yang seharusnya diawali huruf kapital terketik huruf kecil dan
sebaliknya. Contoh, Desa Pakisaji tertulis desa
Pakisaji (hlm. 140). Di sebagai awalan yang seharusnya ditulis
serangkai justru ditemukan terpisah dari kata dasarnya. Contoh, di
ikuti, di pimpinnya, dan di
minumkan di halaman
141. Seharusnya ditulis: diikuti, dipimpinnya,
dan diminumkan. Tradisional masih tertulis tradisionil (hlm. 141). Jenderal tertulis jendral (misalnya, hlm. 5, 41, 45, dan
137). Kiai juga tertulis kyai (misalnya, hlm. 139).
Salah kata terdapat di halaman 18. Tertulis, “Kapal berlabuh pelan
meninggalkan pelabuhan di iringi (sic) dengan
lambaian para pengantar.” Berlabuh secara leksikal berarti berhenti
atau menurunkan sauh. Agar tepat, kata berlabuh dalam kalimat itu dapat diganti dengan berlayar.
Kesalahan lain dalam novel ini tercermin dalam cerita ketepatan
analisis Sroedji mengenai lokalisasi pasukan republik melalui Perjanjian
Renville (hlm. 134). Namun selanjutnya, melalui monolog dalam hati, tokoh
Sroedji menyampaikan bahwa itu adalah buah pikir Rukmini (hlm. 154). Ini mirip
dengan salah sebut lainnya. Dikisahkan bahwa Sroedji masuk Kompi 1 Chuudancho
yang dipimpin oleh Lettu Nomura Shohichi yang juga merangkap sebagai pelatih
(hlm. 49). Masih di paragraf yang sama, tiba-tiba disebutkan bahwa Sroedji selalu
menyimak dan melaksanakan instruksi Si Kopral pelatihnya. Besar kemungkinan,
yang Irma maksud dengan Si Kopral adalah Kopral Nishikawa (hlm. 52).
Soal lain, disebutkan bahwa Desa Pakisaji adalah bagian dari
Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang (hlm. 140). Kondisi geografis saat ini,
Pakisaji adalah kecamatan tersendiri yang memang berbatasan dengan Kepanjen.
Ampelgading yang juga disebut sebagai kampung di novel ini (hlm. 190), sekarang
adalah nama kecamatan di wilayah Malang Selatan. Maka, secara administratif,
Desa Pakisaji dan Kampung Ampelgading pada periode yang diceritakan dalam novel
ini perlu dicek kembali.
Salah ketik terdapat di beberapa halaman. Kangean terketik Kagean (hlm. 14). Tahu terketik tau (hlm. 18). Satu
per satu terketik sat
per satu (hlm. 56).
Juga soal kepangkatan. Tertulis, “Brigadir Mayor Imam Sukarto mengambil
alih kemudi Brigade Damarwulan (hlm.
251)”. Mungkin yang dimaksud adalah Mayor Imam Sukarto. Sebelumnya ia memimpin
brigade yang diberi nama Brigade Mayor Imam Sukarto, bagian dari Brigade
Damarwulan. Berdasarkan pelbagai sumber, tak ada pangkat brigadir mayor dalam
sejarah TNI.
Catatan terakhir saya soal salah ketik, ada kesalahan atas syair
lagu Di Timur Matahari karya W.R. Soepratman. Terketik seluruh
pemuda Indonesia. Seingat saya, yang benar adalah pemuda
pemudi Indonesia. Entahlah, saya tak punya teks asli lagu yang
kabarnya digubah pada 1931 ini. Yang pasti, saya agak meragukan tentang
arak-arakan warga pengiring jenazah Sroedji yang serentak menyanyikan lagu
tersebut tanpa dikomando. Keraguan saya bisa saja tak terbukti benar. Tapi ada
dugaan lain, itu hanyalah alegori yang dibuat oleh Irma. Saya tak tahu.
Ya, novel ini masih memiliki kekurangan. Tetapi bukan berarti
novel ini tidak menarik dan tak penting dibaca. Kekurangan-kekurangan itu tak
sampai mengganggu keutuhan kisah apalagi mengurangi keterpukauan pembacanya.
Seperti kata Arief Budiwidayanto, “Novel
yang bagus. Alurnya yang lancar membuat orang ingin terus membaca. … Salut!
Jempol buat Irma.” Pujian itu sungguh tak berlebihan.
Novel Sang Patriot ini oleh Irma didedikasikan untuk
Rukmini, neneknya yang mulia dan berhati sekeras baja (hlm. v). Demi
mengabadikan kisah mbah kakung-nya,
Letkol. Mochammad Sroedji, dan patriot lainnya. Juga demi menunaikan janji masa
kecilnya kepada Sang Nenek. Dan saya pikir, dua hal itu telah dicapai oleh Irma
secara paripurna.•
Artikel
ini pernah dipublikasikan di https://makgradak.wordpress.com/2014/05/12/merawat-ingatan-tentang-mbah-kakung/ pada 12 Mei 2014 untuk diikutsertakan dalam lomba review novel Sang Patriot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar